PART 24

7K 727 32
                                    

"Kerasa, kan, Je? Kalau kelakuan lo kayak gitu. Sakit juga lo yang rasain. Gak ngerti, sih, gue sama pemikiran lo." Joan terus mengeluarkan omelannya dengan nada ketus sejak mobil melaju sampai aekarang sudah jalan sekitar 10 menit. Jeno yang meluruh lemas di bangku samping hanya mendengarkan, tak terlalu mengindahkan. Matanya sedikit menutup, tapi tidak tertidur.

"Lo yang gak tau rasanya tangan kebas, ditusuk-tusuk jarum, mending diem, deh." Jeno membuka mata. Menoleh ke arah Joan sekilas, kemudian menggerakkan kepala ke samping, melihat pemandangan di luar jendela.

Mendengarnya, Joan pun sedikit berdecih. Melirik Jeno dengan ujung mata. Dia memang tidak tahu bagaimana rasanya, tapi Joan hanya tidak ingin Jeno berpasrah begitu saja.

"Banyak orang yang lebih parah dari lo, Je, tapi mereka masih terus berjuang. Malah bocah aja banyak yang dikasih cobaan lebih berat dari lo, dan mereka gak pernah ngeluh."

Jeno terkekeh. Merasa lucu dengan ucapan Joan barusan. Digerakkannya badan, menghadap ke si pengemudi. Memandang Joan yang sedang fokus menyetir.

"Gini, ya, Jo. Jangan kebiasaan lo banding-bandingin hidup orang. Kita semua itu beda. Dia mungkin gitu, ya, gue gini. Entah dari lingkungan sosial atau dari dalam diri, yang buat kita beda, yang pasti, lo gak seharusnya ngedorong orang dengan cara kayak gitu," ucap Jeno.

Joan hanya fokus menyetir, tak menyahut. Suasana dalam mobil jadi hening. Jeno menggerakan kembali badannya membelakangi Joan. Ocehannya barusan, sepertinya terlalu panjang dan menggebu. Membuat badannya terasa semakin lemas, dan ngilu di pinggang belakang sampai ke tulang punggungnya terasa semakin menusuk.

Tapi lama-lama suasana hening ini terasa aneh. Jeno menghela napas. Jadi sedikit memikirkan ucapannya. Apa dia salah? Salahkan rasa sakitnya yang membuat pikirannya kacau.

"Maaf, Jo," ucap Jeno kemudian. Ya, dia merasa, dia salah.

Joan melirik. Joan diam bukan karena marah. Joan juga sedang memikirkan ucapannya. Apa dia sudah keterlaluan? Dan kalimat dari Abi tadi, terpikir. Kalau Jeno dalam keadaan kayak gini, dengarkan saja celotehannya. Bukan hatinya yang berbicara, tapi rasa sakitnya.

"Kita ke rumah sakit, ya?" Suara Joan melembut tak lagi ketus.

"Terserah lo," Jeno menyahut.

Joan tersenyum. "Maaf, Je. Gue juga salah," ucapnya kemudian sembari melajukan mobil lebih cepat.

Jeno tersenyum tanpa Joan lihat. Mereka berdua, punya energi emosi yang sama.

-

Setelah tiga jam menunggu kadar hemoglobin naik, dibantu transfusi dan injeksi. Sekarang Jeno kembali terbaring di ruangan hemodialisis dengan tangan yang sudah terjulur kaku ditusuk jarum-jarum. Seperti yang dia duga, selain kena marah Joan, Jeno juga kena marah dokter. Yaa, ternyata Joan diam-diam berteman dengan dokter paruh baya itu. Kejadian Jeno bolos cuci darah seminggu kemarin, dilaporkan oleh oknum D ke oknum J. Dasar tukang ngadu. Lagipula, sejak kapan Joan berhubungan dengan dokter itu. Jeno yang sudah setahun lebih, rutin bertemu dengannya saja tak pernah saling menghubungi. Tak ada hubungan lebih, selain sebagai dokter dan pasien yang bertemu hanya saat check up.

"Uhukk ... uhukk." Jeno menarik napas dalam kemudian mengembuskannya perlahan. Mengusap-ngusap dadanya dengan tangan yang bebas dari selang-selang. Bagian perut Jeno sedikit membengkak, kata dokter sudah terisi sedikit air,  dan sepertinya paru-parunya juga sedikit terendam, itu yang membuat Jeno sering merasa sesak apalagi saat sedang berbaring begini. Jeno bangun perlahan merubah posisinya menjadi duduk. Suara gerasak-gerusuk membuat Joan yang sedang fokus pada handphonenya, mendongak.

"Mau ngapain?" tanya Joan.

"Duduk."

Joan memperhatikan, sampai Jeno berhasil duduk. Lalu dia kembali fokus ke handphonenya.

"Abi mau ke sini beli makan. Lo mau apa?"

"Kopi," sahut Jeno tanpa harus berpikir panjang. Menyesap kopi sepertinya nikmat.

"Lo gak boleh minum air banyak, apalagi kopi."

Ah, iya. Jeno terdiam. Air putih saja sudah sangat dibatasi apalagi minuman berkafein itu.

"Yaudah, gue lagi gak pengen apa-apa," ucapnya kemudian dengan datar. Sedikit kesal saat terbayang kopi cup hangat dengan bau harum khas yang akan nikmat jika diteguk di saat seperti ini.

"Yaudah, lo makan makanan rumah sakit aja."

"Ih, ogah gue makan gituan." Jeno mengedikan bahu. Tak pernah suka makanan rumah sakit.

"Ya, terus mau makan apa?"

Tak usah memikirkan makanan apa yang ingin disantap. Membayangkannya saja Jeno mual, sekalipun itu makanan enak yang muncul di pikirannya.

"Gak mau gue. Lo berdua aja yang makan," sahutnya.

"Gak usah nyari penyakit lagi. Kata Abi, lo belom makan dari pagi." Joan memandangnya tajam.

Jeno menghela napas. Bukannya tidak lapar. Bukannya tidak mau. Bukannya nyari penyakit. "Gue lagi gak bisa makan, Jo. Bakal percuma, tar juga gue muntahin lagi."

"Lo paksain dikitlah, Je."

Nah, ini, nih, yang suka buat Jeno sebal. Orang-orang suka nyuruh paksain-paksain. Tak tahu saja bagaimana rasanya dipaksakan.

"Lo kira enak dipaksain?! Muntah-muntah itu gak enak, Jo. Pait lidah gue," sahut Jeno sebal.

"Ya, gimana lagi. Kalo perut lo dibiarin kosong terus juga tar malah makin mual, nambah sakit."

Jeno mendecih, iya juga. Penyakit satu aja belum membaik, nambah lagi tar. Ah, serba salah, masalah makan aja serunyam ini.

"Yaudah, gue mau makan, tapi lo yang masak. Gak guna banget gue pikir-pikir, punya Abang jago masak, punya restoran, tapi makan masih aja beli di pinggir jalan," ucapnya. Melirik Joan.

Joan terkekeh. Kalo dipikir-pikir iya juga, sih. Dia jarang masak untuk Jeno. Selalu beli di luar.

"Nunggu Abi dulu, tar gue pulang, masak buat lo. Mau makan apa?"

"Ya'elah, ngapain harus nunggu Abi, sih! Sana, pulang aja sekarang," titah Jeno. Secara langsung tanpa basa-basi, mengusir.

Joan melirik. Mendecih. "Ya, terserah gue, dong! Gue yang mau masak," sahutnya jadi ngegas.

"Dihh." Bibir Jeno mengatup. Tak menyahut. Hanya melirik dengan ujung mata.

Joan tersenyum sangat tipis,  tak terlihat. Dalam hati tertawa puas melihat Jeno tak lagi menyahut. Benar kata Abi, ngomong sama Jeno itu memang harus agak digas. Jangan terlalu nyelo.

--

He's Jeanno (Selesai) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang