Ada kalanya kita merasa begitu dekat dengan apa itu mati. Terbayang bagaimana kalau satu jam kemudian jantung kita tiba-tiba berhenti berdetak. Tiba-tiba tubuh terbujur kaku. Tiba-tiba meninggalkan dunia yang rasanya sama sekali belum siap. Kadang terbayang surga dan neraka. Takut dilempar ke neraka, tapi sadar diri tak masuk kategori penghuni surga. Pernah gak sih ada di fase sakit dikit terus takut banget bakal mati? Badan meriang dan ujung kaki terasa dingin sedikit saja, langsung overthinking. Gimana kalau ini pertanda mau dicabut nyawa? Kita yang sakit dikit saja sering overthinking, apalagi yang sakit, benar-benar sakit.--
Beberapa menit berlalu Jeno hanya memandang sekeliling ruangan yang hanya disinari lampu tidur. Hening. Suara detik jam menambah kesan mencekam.
"JO," panggil Jeno. Lumayan nyaring pada Joan yang tertidur di sofa bed. Tak ada pergerakan. Joan sepertinya tidur sangat nyenyak.
"JO!" Jeno memanggil Joan lagi. Lebih keras.
"JO!!" Semakin keras karena Joan tidak juga terbangun.
"Apa, sih, Je??? Tidur."
Jeno tersenyum. Bangun juga akhirnya. Tapi sepertinya tidak sepenuhnya terbangun. Dari kejauhan mata Joan terlihat masih terpejam.
"Jo, nyalain lampunya. Jo, bangun. Jo, anjir, udah siang. Jo, bangun dulu. Jooo!!! Ayoklahhh!!" Jeno terus meracau. Benar-benar ingin Joan bangun.
Joan melenguh panjang. Bangun dari posisi tidurnya. Terduduk memandang Jeno. Menghela napas. Kemudian beranjak. Menyalakan lampu.
"Baru jam setengah satu, Je," kata Joan. Melirik jam di dinding.
"Kenapa, sih? Laper?"
Joan tampaknya sangat mengantuk. Wajahnya sangat datar, seperti menahan kesal.
"Gue kebangun gak bisa tidur lagi," adu Jeno.
"Terus mau diapain biar lo bisa tidur?"
Joan duduk di kursi samping ranjang. Melipat tangan di dada."Dimpok-mpokin, yakali, gue bukan bocah," sahut Jeno. "Sana lo tidur lagi aja, gue minta dinyalain lampu doang, gak minta ditemenin," usirnya kemudian.
Joan menatap. "Gue tau lo ngantuk, Je. Mata lo merah minta dimeremin. Mata lo capek, tapi lo yang gak mau tidur."
Jeno mendecak. Iya, dia ngantuk, tapi kalau merem, pikirannya jadi aneh-aneh.
"Gue mau tidur di kosan," katanya."Iya, besok," ucap Joan.
Jeno diam. Memandang tak tentu arah dengan Joan yang masih setia duduk di dekatnya, beberapa kali menguap menahan kantuk. Lama pandangnya beredar sampai kemudian kembali memandang Joan.
"Gue mau tidur, tapi di sofa sama lo," pintanya kemudian. Mata cekung yang tampak lelah itu memandangnya sayu.
Joan tersenyum. "Pengen banget tidur sama gue??" godanya.
Jeno mendelik. "Bodo amat, Jo."
Joan terkekeh. Bangkit dari duduk.
"Tapi tidur, ya? Jangan melek terus. Masih malem banget ini."
Jeno menyibakkan selimut. Menurunkan kaki. Berdiri memegang tiang infus. Kenapa sih kalau rebahan badannya serasa sehat-sehat saja, tapi pas berdiri barulah terasa keleyengan. Hampir saja Jeno jatuh kalau tidak ada tiang infus yang dia pegang. Saat Joan akan membantu. Jeno menepis pelan.
"Biarin gue sendiri, masih bisa," katanya menolak tangan Joan yang akan bantu memapah.
Joan membiarkan. Hanya mengikuti langkah Jeno yang pelan dari belakang. Jeno mendudukkan diri perlahan di atas sofa bed yang berukuran cukup besar itu, kemudian Joan meletakan bantal Jeno di sisi bantalnya.
"Dimatiin gak lampunya?" tanya Joan saat Jeno sudah di posisi tidur.
"Matiin."
Joan beranjak mematikan lampu utama. Lalu mengambil selimut di ranjang. Sebelum ikut berbaring. Dia menyelimuti Jeno terlebih dulu. Jeno menatap langit-langit kamar yang temaram.
"Merem, Je," titah Joan.
Tapi Jeno belum ingin memejam. "Jo, gue takut mati," lirihnya tiba-tiba.
"Wajar, Je. Lo lagi sakit, pasti pikiran lo arahnya ke sana terus. Tapi jangan takut, itu cuma pikiran lo. Lo bakal sembuh kok," Joan menyahut. Memberikan keyakinan.
Jeno melirik ke samping, menatap Joan. "Yakin banget. Siapa lo? Tuhan?" tanyanya, diakhiri kekehan. Kekehan yang terdengar miris, dan syarat akan pesimis.
"Bukan. Gue Abang lo yang bakal lakuin apa pun biar lo sembuh."
Joan yang semula sama-sama menatap langit-langit kamar, tiba-tiba melirik. Mata mereka bertemu.
"Malaikat mana yang berani nyabut nyawa lo. Temuin gue dulu," ucap Joan terdengar seperti candaan, tapi dia berucap dengan nada serius.
Ketakutan Jeno terasa langsung runtuh. Tawanya menyembur, menghempaskan segala ketakutan. "Laga lo, Jo. Dosa lo nantang takdir Tuhan," katanya disela tawa.
"Siapa yang tau takdir Tuhan, Je. Bisa aja yang sehat mati duluan, yang sakit panjang umur, kayak kata lo waktu itu, kan?" Joan menyahut.
Bibir Jeno mengatup. "Makanya HP gue mana?"
Kening Joan mengkerut. Gak nyambung banget alur pembicaraan mereka.
"Napa jadi HP?"
"Ya, biar gue lupa mati. Fokus gue kan cuma strategi matiin musuh," sahut Jeno.
"Iya, besok gue ambil," janji Joan.
"Eh, tapikan besok lo bilang gue pulang, Jo."
"Gak ada pulang. Lo tadi jalan aja masih sempoyongan."
"Ya'elah, Jo. Besok juga gue udah bisa lari lagi."
"Dokter yang mutusin boleh pulang kapan. Bukan lo."
Jeno mendengus. Menatap kembali langit-langit kamar. Sekarang pikirannya tiba-tiba memutar ingatan beberapa tahun ke belakang.
"Gue mau tidur lagi di kosan sama Abi, pulang dari Sound jam 3 pagi, terus paginya langsung ke cafe, pulang jam 4, terus jadi joki game, atau bantu orang push rank, gue dapet bayaran. Habis itu tidur. Bangun malem, pergi ke Sound lagi, paginya ke cafe lagi."
Langit-langit kamar yang temaram, dalam penglihatannya kini seperti proyektor yang menampilkan film-film hidupnya di masa yang telah lalu.
"Waktu itu gue udah sakit, tapi gue baik-baik aja. Kenapa sekarang jadi gini? Lemah! Gue gak suka kayak gini, Jo."
Joan diam mendengarkan. Mood Jeno sedang naik turun. Kata dokter, jika dia meracau ke sana-ke sini, cukup dengarkan. Di dalam tubuhnya ada penumpukan racun yang tidak bisa terkeluarkan, mempengaruhi hormon, yang membuat moodnya tak stabil. Tak hanya pada penderita gagal ginjal sebenarnya. Semua orang sakit pun, tak hanya fisik mereka yang sakit, kondisi psikis mereka akan merasa lebih sakit. Merasa tak berguna dan gelisah yang akhirnya akan membuat suasana hatinya berantakan. Kalau sudah begitu, orang-orang di sekitarnya yang harus bisa menangani, sebisa mungkin membuatnya bangkit kembali. Jangan sampai ikut terbawa emosi apalagi sampai membuat mentalnya semakin hancur.
"Besok cari udara segar, yuk, Je," ajak Joan.
Jeno melirik. "Ke mana?"
"Terserah lo."
Jeno tampak berpikir. "Mau nengok bokap-nyokap," katanya kemudian.
Joan tersenyum. Mengangguk lembut.
"Oke, besok kita ke sana, tapi sekarang meremin dulu mata lo. Biar cepet besok."
Seperti biasa Joan mengusap pelan mata Jeno dari atas ke bawah agar kelopak mata sayu itu memejam."Jangan takutin apa pun, Je. Ada gue, ada Abi, ada banyak orang yang akan selalu doain lo."
"Jo ... gimana kalo gue tidur terus besoknya gak bangun lagi?"
"Cukup lo inget kata-kata gue tadi, belum tentu yang sakit yang meninggal duluan. Besok lo pasti bangun lagi. Gue yang bangunin."
"Jangan ke mana-mana, ya, Jo."
"He'em, gue di sini. Gak akan tidur, sebelum lo tidur."
---
🙏
🙂
💕
![](https://img.wattpad.com/cover/159929023-288-k318454.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
He's Jeanno (Selesai)
General Fiction**Jangan plagiat nyerempet copy paste** "JE-JE, JEN, JENO, ANJIR, JANGAN KENCENGAN!!" Teriakan dan suara tawa menggema di parkiran supermarket yang sepi. Hanya ada seorang pria berjas abu-abu yang hendak menyalakan mesin mobil, tapi urung saat mend...