Suara detik jam terdengar jelas di ruangan yang hening. Sekarang pukul 22.00. Jeno belum juga bangun dari tadi siang, di ruangannya ada Joan yang duduk setia, menunggu di kursi samping tempat tidur, memandang Jeno lurus, dan ada Abi juga yang terlelap di sofa dengan posisi duduk, cowok itu langsung tancap gas begitu mendengar suara Joan yang mengangkat telepon di handphone Jeno. Joan bergerak saat melihat mata Jeno yang perlahan mulai terbuka.
Jeno melihat sekeliling dengan bingung, lalu matanya berhenti di Joan yang sedang menatapnya.
"Kok gue--" ucapannya terhenti saat sekelebat kejadian tadi siang melintas di pikirannya.
"Aaargggghhhhh, gue collaps di café." Jeno mendesah berat, mengusap wajahnya kasar. Pasti tadi dia sangat merepotkan.
"Tidur lagi, masih malem," Joan bersuara dengan wajah datar dan nada bicara tanpa intonasi. Jeno menggigit bibir, siang tadi, sebelum tak sadarkan diri sepenuhnya, dia sempat membuka mata, melihat samar orang yang membopongnya.
"Maaf, ya, Jo. Ngerepotin lo. Kok lo bisa ada di cafe?"
"Tidur. Besok aja ngomongnya," sahut Joan, dengan raut wajah yang tetap datar.
Bau-baunya ada yang tidak beres, perasaan kemarin Joan bahkan tersenyum lebar padanya. Jeno mendecak. "Lo kenapa ?"
Joan tak menyahut, berdiri lalu menaikan selimut Jeno,
"Tidur lagi, gue juga mau tidur," ucapnya, kemudian beranjak melangkah ke arah sofa yang ada di samping ranjang, berbaring seadanya, lalu memejamkan mata.
Jeno mendengus, dia melirik ke sofa lain, Abi yang tampak tertidur pulas walaupun dalam posisi duduk. Kenapa manusia satu itu bisa selalu ada di mana pun. Tak ada pilihan, Jeno mencoba memejamkan mata kembali, menapik tanda tanya yang tiba-tiba mengecoh pikirannya.
--
Keesokan hari. Jeno duduk di ranjang memainkan handphone, menunggu Abi membawakan pakaian dari kosan. Dokter memperbolehkan dia pulang hari ini dengan syarat harus rajin chek up seminggu sekali, cuci darah seminggu sekali, minum obat teratur, dan sebelum pulang harus cuci darah terlebih dahulu, tidak ada pengingkaran lagi karena kondisi Jeno bisa dibilang tidak baik. Kini ginjalnya hanya berfungsi sekitar 15 %. Ya, Jeno sudah tahu itu akan terjadi lambat laun apalagi dia tak mentaati perkataan dokter. Dan ternyata sekarang Joan sudah tahu bagaimana keadaannya. Mungkin karena itulah dari semalam dia tidak banyak bicara. Mungkin marah pada Jeno yang teledor pada kesehatannya, atau karena Jeno tidak memberitahukannya pada Joan.
Entahlah, tapi Jeno tidak pernah berniat merahasiakan kondisinya, hanya saja dia tidak akan bilang kalau Joan tidak bertanya. Lagi pula mereka baru bertemu sekali kemarin.
Cklekkk. .
Pintu rawat terbuka. Jeno menoleh. Joan kembali dengan pakaian yang sudah berganti dan wajah yang lebih segar.
"Lo udah makan?" tanya Joan, masih dengan wajah tanpa ekspresi dan nada bicara datar, seperti pertanyaan itu hanya sekadar basa-basi.
Jeno menghela napas pelan. Sejak semalam sampai sekarang Joan tetap seperti itu. Datar tidak ada ekspresi. Lama-lama membuat Jeno risih.
"Lo kenapa, sih, Jo?"
Joan melirik mangkuk bubur yang diberikan rumah sakit, masih terisi penuh, begitu pun mangkuk buah dan segelas jus di sampingnya.
"Lo gak makan?" Joan bertanya lagi tak menghiraukan pertanyaan Jeno.
Jeno melengos, berdecak pelan, lalu menatap Joan yang duduk bersandar di sofa, melipat tangan di dada.
"Lo marah sama gue?"
"Lo mau makan apa? Gue beliin."
Jeno menghela napas kasar, tak mendapat sahutan, Joan malah terus mengalihkan topik.
KAMU SEDANG MEMBACA
He's Jeanno (Selesai)
General Fiction**Jangan plagiat nyerempet copy paste** "JE-JE, JEN, JENO, ANJIR, JANGAN KENCENGAN!!" Teriakan dan suara tawa menggema di parkiran supermarket yang sepi. Hanya ada seorang pria berjas abu-abu yang hendak menyalakan mesin mobil, tapi urung saat mend...