PART 17

7.4K 727 11
                                    

I don't need a telescope to see that you're the one
But I do need your time, and if ain't yours, I'd rather have none
I don't need a fortune teller to tell me my fortune
I have a million signs that my fortune just begun

🎶🎶🎶

Jeno mengetuk-ngetuk jari di atas paha dengan kepala mengangguk-angguk menikmati dentum musik. Mulutnya refleks ikut menyanyikan lirik.

"Je."

Dialihkannya pandangan yang semula fokus ke jalanan di luar. Jeno melirik Joan yang sedang menyetir.

"Apaan?" tanyanya dengan kening sedikit mengkerut. Sudah menjadi kebiasaannya, sering mengerutkan kening.

"Nggak, manggil doang," sahut Joan membuat Jeno mendecih pelan.

"Gak jelas," katanya lalu kembali memandang ke luar jendela. Lanjut menyenandungkan lagu yang sudah berganti. ‌Jeno yang semalaman demam dengan perut mual tak karuan. Keesokkan harinya langsung sembuh.
Imun tubuh nya benar-benar jago. Tadi malam setelah dia makan bubur kacang ijo yang dibelikan Abi dan minum beberapa obat. Jeno kemudian tidur. Dan begitu bangun di pagi hari. Sudah tak ada lagi demam. Tak ada lagi mual dan tubuhnya pun terasa bugar hanya sedikit menyisakan lemas. Ahh, terkadang Jeno begitu bangga dengan kemampuan tubuhnya dalam hal menyembuhkan diri.

Karena Jeno sudah sehat. Siang menjelang sorenya Joan membawa Jeno.
Seperti kata Joan waktu itu ... sang Ayah akan datang ke Jakarta bersama anggota keluarganya yang lain untuk makan bersama. Tepat hari ini. Dengan tujuan utama untuk bertemu Jeno. Untuk pertama kalinya. ‌Joan menjemput Jeno tepat waktu, tapi adiknya itu malah masih terlelap. Alhasil mereka ngaret setengah jam. Berangkat dengan rambut Jeno yang masih basah. Terburu-buru, bahkan Jeno mengambil asal baju yang akan dikenakannya.

‌"Jo."

‌Joan menoleh sekilas sembari bergumam, "Hm," menyahut panggilan Jeno. Lalu Jeno hanya diam.

"Lo mau ngomong apa?" Joan melirik lagi.

Jeno menggeleng. "Gak jadi," sahutnya. Sama saja seperti Joan tadi, tapi Jeno sebenarnya ingin ... akh! Ingin mengatakan sesuatu, tapi tak tahu harus mengatakannya bagaimana.

"Kenapa?" tanya Joan melihat Jeno yang malah memandang keluar jendela lagi. Kali ini mulutnya rapat, tak lagi ikut bersenandung dengan musik yang diputar di mobil.

Mendengar Joan bertanya Jeno langsung menoleh. "Emang gue kenapa?!" sahutnya. Balik bertanya dengan nada tiba-tiba sewot.

"Lah, kenapa lo jadi sewot gitu?" Joan melirik. Alisnya terangkat. Perasaan dia tidak salah apa-apa. Tiba-tiba kena semprot.

Jeno mengembuskan napas panjang. Sadar sendiri moodnya tiba-tiba tidak bagus.

"Salah lo! Ganggu tidur gue yang lagi enak. Gue tuh gini kalo mimpi indah gue kepotong." Jeno mendengus. "Gue harus minum kopi dulu biar mood gue balik," katanya.

"Gak ada kopi buat lo. Beli minuman yang seger aja. Kebetulan ada Alfa di depan," ucap Joan. Melaju sedikit lalu membelokkan mobilnya menuju parkiran Alfamart.

Jeno segera turun begitu mobil berhenti. Memasuki pintu kaca berplat merah-kuning yang khas itu. Langsung menuju tempat minuman dingin. Satu yang dia tuju, black coffee dalam kaleng dengan merk yang selalu menjadi kesukaan papanya. Jeno mengambil dua. Dan meraih satu kaleng susu beruang. Setelah membayar dia kembali ke mobil.

Joan yang menunggu di balik kemudi. Menoleh. "Udah?" tanyanya.

"Udah," Jeno menyahut.

Joan mengangguk. Menyalakan mesin mobil. Melajukan mobil kembali menuju tujuan. Joan sesekali melirik Jeno yang memegang kopi di tangan kanannya dan susu di tangan kirinya. Meneguk dua minuman itu secara bergantian. Joan hanya melirik. Tidak ingin berkomentar sebelum mood Jeno membaik. Meskipun dia ingin sekali mengomel karena Jeno tak mendengar ucapannya untuk tidak membeli kopi.

"Masih jauh, Jo?"

Setelah beberapa kali tampak meneguk kedua minuman itu bergantian dalam diam. Akhirnya Jeno mengeluarkan suara. Kali ini dengan nada biasa. Berarti moodnya sudah membaik.

"Deket kok di depan," sahut Joan.

"Kenapa gak di Lee's aja, sih? Lebih deket padahal kan. Tempat punya lo juga jadi gratis."

"Lee's gak ada masakan India. Yang jadi tempat makan kita kan restoran India."

Alis Jeno terangkat. "Lo suka masakan India? Gue gak pernah liat lo makan."

"Bukan gue, tapi Bunda yang suka."

Jeno membulatkan bibirnya menggumamkan, 'oohh,' kemudian meneguk sisa kopinya lalu susunya yang sama-sama tersisa satu teguk.

"Minum satu-satu bisa kali, Je. Lagian, lo seharusnya gak banyak minum. Apalagi kopi," ucap Joan. Telat sebenarnya, karena dua kaleng minuman di tangan Jeno sudah kosong dan kini sama-sama berakhir di kantong kresek putih yang di dalamnya masih tersisa satu kaleng kopi lagi. Jeno meluruhkan punggung pada sandaran mobil. Mengembuskan napas teratur sembari memandang ke depan.

"Itu kopi yang selalu bokap minum. Kalo Bearband, susu yang selalu nyokap stock buat gue. Tadi gue tidur, mimpiin mereka. Kayak nyata banget, sih, Jo. Mereka ketawa bahagia depan mata gue."

Lama Jeno hanya menatap ke depan. Lalu dia mendesah panjang. "Hahhhhh ... yaudahlah, ya. Mereka udah sama Tuhan. Kenapa gue jadi melow, anjir," serunya diakhiri kekehan kecil yang terdengar miris.

"Kayaknya gue lagi kangen. Udah lama gak nengok mereka. Kapan-kapan ke pemakaman ... lo mau kan ikut gue, Jo?"

Tentu Joan mengangguk dengan senang hati. Bibirnya tersenyum tipis. "Gue juga pengen bilang makasih ke bokap-nyokap yang udah pernah jagain lo dan sesayang itu sama lo."

Jeno menunduk. Tersenyum.

"Eh, Je," panggil Joan. Jeno langsung mendongak. "Lo juga mau kan nanti ikut gue ke makam Ibu?"

Ibu. Ah, iya. Ibunya. Seketika Jeno merasa berdosa hampir lupa pada wanita yang sudah berjuang mempertaruhkan nyawa untuk melahirkannya ke dunia itu.

"Ah, maafin gue, Jo. Gue lupa ada ibu." Jeno meringis. Benar-benar merasa bersalah.

Joan tersenyum tipis. "Wajar sih lo lupa. Lo masih kecil waktu itu."

Jeno mengangguk. Mengulum bibir. Jadi diam. Pandangannya kembali mengarah ke depan. Menerawang. Dicari-cari sejauh apa pun ingatannya. Tetap tak ada memori sedikit pun tentang sang ibu. Wajahnya saja Jeno tidak tahu. Dia baru tahu saat melihat fotonya yang ada di kamar apartement Joan. Wanita berkulit putih bersih dengan mata sipit dan eyesmile sempurna, senyum lebarnya membuat mata sipitnya menghilang menjadi segaris kelopak mata. Mirip dengannya, Jeno akui.

-

'Iya, ini udah di depan. Iya-iya. Kakak masuk sekarang.'

Joan memasukkan kembali handphonenya ke dalam saku celana. Adiknya menelepon menanyakan keberadaannya. Mobil sudah terparkir di parkiran restoran. Joan melepas sabuk pengaman kemudian melirik Jeno dengan senyum tipis.

"Ayo, Je," ajaknya sebelum membuka pintu mobil.

Jeno melepas sabuk pengamannya. Membuka pintu lalu mengikuti langkah Joan. Memasuki restoran bergaya klasik dengan suasana India yang kental, bahkan pelayannya pun menggunakan pakaian khas negara sana. Mata Jeno melirik kanan-kiri. Ini adalah restoran keluarga dengan meja lebar yang dibatas oleh sekat-sekat. Penuh dengan orang orang yang sedang berkumpul bersama, tertawa, dan mengobrol heboh. Dia terus mengekor di belakang Joan terus berjalan memasuki restoran lebih dalam.

"Kak Joan!"

Suara seseorang berteriak terdengar samar di tengah riuh. Refleks Jeno menoleh. Seorang gadis di meja pojok tampak melambaikan tangan dengan senyuman lebar. Joan pun membalas senyuman itu tak kalah lebar kemudian menoleh pada Jeno yang ada tepat di belakangnya.

Gadis itu semakin tersenyum saat Joan berjalan mendekat. Begitu pun yang lainnya yang menghuni meja di pojokkan itu. Jeno mengekor saja di belakang Joan.
Jonathan serasa sesak melihat si bungsu yang sudah setinggi itu. Benar kan yang melangkah di belakang si sulung adalah bungsunya? Ya, tak akan salah. Garis wajahnya itu mengingatkan Jonathan pada Reyne. Jonathan langsung berdiri walaupun Joan dan Jeno masih jauh di depan sana. Dia tersenyum tipis dengan air mata yang siap menetes.

----

He's Jeanno (Selesai) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang