"Ini jagoan Tante kok mondok lagi di sini, sih." Seperti biasa ibunya Abi yang selalu paling gercep kalau Jeno masuk rumah sakit. Kali ini perempuan yang mengenakan kerudung itu membawa Dila dan Ringga.
Joan menyalami Mey seraya tersenyum. "Gak dianter Om Ray, Tan?"
"Nggak. Om Ray lagi ada kerjaan. Tuh, dianter Ringga sama Dila, masih jalan di luar, kayak keong lama."
"Ibu yang jalannya kecepatan."
Ucapannya langsung disahut oleh remaja lelaki yang baru saja masuk.
"Bang, ini makan dulu, Bang." Adik lelaki Abi itu menyodorkan sebuah lunch bag.
"Iya, Jo. Makan, Jo. Tante, coba-coba bikin bubur menado. Eh, enak. Tapi gak tahu deh rasanya mirip apa nggak. Coba kamu yang dari Manado rasain. Mirip gak sama yang aslinya."
"Mau makan juga gak, Sayang?"
Jeno yang ditawari menggeleng. Ibu Abi itu kalau ada yang sakit pasti memang dipanggil sayang.
"Bang Jeno." Dila berdiri di samping ranjang, di sisi ibunya dengan senyum manis. Untung saja wajahnya tak mirip Abi, jadi Jeno dengan senang hati membalas dan menatap lama senyuman itu.
"Bang, gue udah gold, gold V, bentar lagi ke platinum." Ringga mendekati Jeno. Memperlihatkan game yang sedang dia mainkan.
"Udah jago lo," sahut Jeno dengan suara napas berat. Kondisi tubuhnya belum baik. Hidungnya pun masih dihiasi nasal kanul dengan kabel-kabel yang menempel di dada dan oxymeter yang masih menjepit jari. Tapi syukurnya, cairan dalam paru-parunya sudah berhasil disedot.
"Nanti kita maen lagi sama Bang Abi, ya," kata Ringga.
Jeno mengangguk dengan senyum tipis.
--
--
"Diem-diem, tar kuping lo kegunting." Abi dengan gunting kecil di tangannya fokus menggunting rambut Jeno yang panjang di belakang telinga.
Sudah 5 hari Jeno belum juga diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Setiap waktu terus mengeluh mau potong rambut karena rambutnya sudah panjang, tapi dokter tidak juga membiarkan Jeno pulang. Akhirnya Abi yang turun tangan, membeli gunting kecil, melilit tubuh Jeno dengan selimut, kemudian dengan meragukan mulai memotong sedikit-sedikit rambut Jeno yang menjuntai melewati telinga.
"Kalo selangnya kepotong gimana?" tanya Abi. Belum selesai juga dengan rambut di belakang telinga.
"Mati, goblok! Sesek dada gue."
Sudah 5 hari juga sesaknya tak hilang, membuat nasal kanul tak juga lepas dari hidungnya.
"Nah, Udeh."
Akhirnya.
"Cakep gak?" Jeno bertanya.
"Cakep-cakep." Abi membuka selimut yang melilit tubuh Jeno. Melipatnya bersama rambut-rambut yang terjatuh pada selimut itu, lalu menyimpannya ke keranjang cucian. Buang rambutnya nanti saja. Kemudian Abi mengambil selimut baru. Memberikannya pada Jeno.
"HP gue mana? Pengen ngaca."
"Gak usah, udah cakep."
"Mencurigakan lu." Jeno meraih handphone yang ada di atas nakas. Bercermin menggunakan kamera depan.
Mengangguk-angguk. "Ya, lumayan. Kalo dasarnya cakep mah, digimanain juga tetep cakep," katanya pede.
Abi mendelik. Dari sofa dia memandang Jeno yang terus mengacungkan tangannya, memegang handphone ke depan. Tapi fokus Abi bukan pada wajah Jeno atau handphone Jeno. Pergelangan tangannya. Bikin salah fokus. Terlihat kecil sekali. Entah berapa kilo, bobot tubuh Jeno yang terus hilang. Habisnya sekali makan paling hanya 3 sendok yang masuk, itu juga kemarin-kemarin. Belakangan ini, terhitung dari hari kemarin, dan hari ini, Jeno sama sekali tak bisa makan ataupun minum obat. Apa pun yang masuk ke mulutnya selalu termuntahkan kembali. Obat-obatannya pun sudah diganti jadi injeksi. Nutrisi dan gizi yang dibutuhkan oleh tubuh, disalurkan lewat cairan infus.
KAMU SEDANG MEMBACA
He's Jeanno (Selesai)
General Fiction**Jangan plagiat nyerempet copy paste** "JE-JE, JEN, JENO, ANJIR, JANGAN KENCENGAN!!" Teriakan dan suara tawa menggema di parkiran supermarket yang sepi. Hanya ada seorang pria berjas abu-abu yang hendak menyalakan mesin mobil, tapi urung saat mend...