Beberapa detik Jeno hanya menatap ke langit-langit. Lalu beralih menatap bawah, melihat punggung tangan kirinya yang dipasangi infus, terhubung dengan kantong berisi cairan merah pekat yang menggantung. Kemudian bola matanya bergerak. Menilik sekeliling. Pandangnya bertemu dengan sepasang mata milik insan yang sedang duduk di sofa, depan ranjang.
"Gak kenyang lo tidur mulu," ucap orang itu.
Jeno memejamkan mata kembali. Tanpa menyahut. Kepalanya masih pusing. Terdengar suara derit pintu yang dibuka lalu ditutup kembali.
"Belum bangun?"
Suara Joan.
"Udah barusan, tapi merem lagi."
Joan mengangguk-angguk. "Besok libur, Bi?" tanyanya sembari duduk di samping Abi. Melirik sahabat adiknya itu.
"Nggak, Bang. Gue ambil libur hari ini jadi besok ke kantor, beresin kerjaan."
"Lo anak baru kayaknya bebas, ya, Bi? Gak ada tuntutan kayak senioritas gitu."
"Syukur sih, Bang. Tempat kerja gue orangnya asik-asik. Pada ngerti. Gak mandang orang dari anak baru apa lamanya."
"Syukur kalo gitu. Beruntung lo, gak gampang cari tempat kerja yang nyaman kayak gitu."
Abi tersenyum. Dia juga tiap hari mengucap syukur.
"Oh, ya. Gimana projeknya? Lo kepilih mimpin?"
Alis Abi terangkat. "Hn, projek? Kok lo bisa tahu, Bang?"
"Dari Jeno."
"Hoooo." Abi mengangguk-angguk. "Kirain lo ada turunan cenayang. Itu, sih, nanti, Bang. Bulan depanan gitu. Sekarang masih penilaian kinerja."
"Jangan push diri lo sampe segitunya, Bi. Kantong mata lo sampe keliatan item gitu. Badan juga kurusan. Makan, gak, lo?"
Abi nyengir. "Kadang lupa, sih," sahutnya.
"Emang batu sih lo!"
Suara ketus itu bukan berasal dari Joan. Abi melirik sumber suara. Mendecih, melihat mata Jeno yang terbuka. Menatapnya dengan tatapan galak.
"Udah tidur lu, berisik!" kata Abi.
Jeno mendelik. Bergerak meringkuk. Memunggungi.
-
Hari ini Jeno masih di rumah sakit. Demamnya sudah turun, tapi HB-nya pagi tadi tiba-tiba lagi sampai dia harus transfusi dua labu darah. Yaa, tidak membuat HB-nya ada di angka normal, tapi setidaknya naik ke angka aman.
Demam sudah turun. HB sudah aman. Harusnya Jeno bisa pulang, tapi dokter menahannya karena Jeno lemas. Tak mau makan. Sepele, kan? Resek banget emang!
"Abisin, Je, susunya."
Segelas susu sudah Joan buatkan. Susu khusus yang direkomendasikan dokter untuk memenuhi kebutuhan protein, vitamin, dan lain-lain, dikhususkan untuk penderita gangguan ginjal yang sedang melakukan terapi dyalisis agar kebutuhan tubuhnya tetap terpenuhi dalam porsi yang tepat. Joan langsung membeli susu itu begitu dokter memberikan saran. Katanya susu itu bisa jadi penolong juga kalau perut Jeno lagi gak bisa masuk makanan, seperti sekarang ini.
"Tapi gue gak suka susu, Jo."
Joan menghela napas. Masih nolak juga.
"Suka gak suka mulai sekarang lo harus minum, Je!" sahutnya. Menegas.
Jeno memandang enek segelas susu yang diletakan di papan meja makan di depannya. Melihatnya saja dia mual. Satu-satunya susu yang bisa Jeno minum hanya susu kotak rasa coklat, tidak dengan susu yang lain, apalagi yang ini. Jeno mengambil gelas itu dengan enggan. Tapi mengingat Joan. Dia merasa harus bisa memaksakan. Dengan mencapit hidungnya, Jeno meneguk langsung susu itu dengan cepat. Tak banyak sebenarnya, hanya sekitar empat tegukan.
KAMU SEDANG MEMBACA
He's Jeanno (Selesai)
Fiction générale**Jangan plagiat nyerempet copy paste** "JE-JE, JEN, JENO, ANJIR, JANGAN KENCENGAN!!" Teriakan dan suara tawa menggema di parkiran supermarket yang sepi. Hanya ada seorang pria berjas abu-abu yang hendak menyalakan mesin mobil, tapi urung saat mend...