PART 13

8K 747 27
                                    

"Je-Jeno."

Joan menggoyang-goyangkan bahu Jeno yang terlelap. Merasa terusik, Jeno pun terbangun, menyipitkan mata.

"Hh? Paan?"

"Mau nginep di sini?" tanya Joan.

Membuat Jeno langsung membuka mata lebar, memandang Joan di depannya, lalu beralih ke tangannya yang sudah terbebas dari selang-selang hemodialisis.
Diliriknya jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 21.00.

"Gue tidur kelamaan, ya? Kenapa lo gak ngebangunin dari tadi, sih. Lo pasti kesel nungguin gue," kata Jeno beruntun, diakhiri dengan desahan keras. Proses cuci darah pasti sudah selesai dari 2 jam yang lalu.

"Gue juga tadi ketiduran," ucap Joan santai.

Jeno melirik, lalu mendecih pelan. Rambut Joan masih terlihat rapi, kemeja birunya juga tidak ada tanda-tanda kusut karena ketiduran, dan wajahnya tidak seperti orang bangun tidur. Dusta.

"Besok-besok, lo pulang aja deh, Jo. Gak usah nungguin gue cuci darah," kata Jeno, lagi-lagi tak enak hati.

"Gue gak enak kalo lo ngurusin gue terus," tambahnya kemudian, sembari bangun, mendudukan diri di tepi ranjang, berucap tanpa melihat Joan.

Joan memandang Jeno lurus. "Gue gak suka lo ngomong gitu terus," katanya dengan suara tegas. Sangat menandakkan ketidaksukaannya.

Jeno tersenyum tipis, lalu melirik dengan cengiran lebar. "Maaf, Jo. Makasih."

Respon yang tak diduga. Dikira, Jeno akan membalas ucapan Joan dengan panjang lebar. Wajah datar Joan, jadi tersenyum.

--

"Yaelah, manja banget. Nginep aja di kosan Yongki. Najis lo! Lo kemaren kan bikin kunci serep kamar gue. Tinggal masuk aja napa sih, Bi? Biasanya juga lo gak tahu diri. Heeh, bacot, ah. Bye."

Jeno mematikan teleponnya, lalu sibuk membalas beberapa pesan yang masuk.

"Kalo gak ada lo. Abi nge-DJ sendirian?" tanya Joan yang sedang menyetir. Dari tadi hanya diam mendengarkan obrolan Jeno dengan Abi via telepon.

Jeno mengangguk. "Iya, makanya gue gak boleh absen lama-lama. Kasian si babi."

Di lampu merah mobil berhenti, Joan melirik Jeno yang masih tampak sibuk dengan handphonenya.

"Je," panggilnya.

"Hm." Jeno menyahut dengan gumaman, tanpa menoleh.

Sebenarnya ragu untuk bertanya, tapi Joan harus tahu. "Keluarga lo dulu gimana?"

Jeno mendongak, mendengar pertanyaan Joan, sejenak melongo.

"Ah, gue belom pernah cerita tentang keluarga gue ke elo, ya? Lupa." Jeno menepuk jidat, kemudian kedua ujung bibirnya terangkat, menyunggingkan senyum yang melengkung sempurna.
Jeno memandang lurus ke depan, lampu merah sudah berganti, mobil melaju kembali. Sedikit menerawang, mengingat tentang keluarganya dulu.

"Keluarga gue. Papa Kiel itu, dulu DJ, mama Ellen, punya bisnis online, tapi pas gue SMP, mereka bikin usaha travel gitu, dan puji Tuhan sukses. Beberapa bulan jalan, mereka udah punya gedung sendiri, berhasil kerjasama sama beberapa perusahaan juga. Kita jadi sering liburan bertiga, dan itu asik banget. Bokap sering ngajarin gue DJ, nyokap selalu manggil gue my lovely son. Mereka gak pernah bilang gue anak angkat, mereka selalu bilang gue anak titipan Tuhan buat mereka. Semuanya berjalan baik, sampee ... ya, gitu." Jeno terkekeh, merasa miris sendiri dengan akhir ceritanya.

"Lo bahagia sama mereka?" tanya Joan, nyeplos begitu saja.

Jeno tertawa kecil. Ah, kalo ngomongin bahagia mah, Jeno suka sedih, mengingat batapa bahagianya dia dulu.

He's Jeanno (Selesai) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang