Bulan Desember. Penghujung tahun yang diberkahi rintik hujan. Tak hanya bumi yang merasa diberkahi, tapi juga Jeno. Merasa bulan-bulan kemarin adalah bulan terburuknya dan penghujung bulan di tahun ini diharapkan akan menutup segala hal buruk di kehidupannya. Sudah satu bulan semenjak kejadian collapsenya sampai harus masuk ICCU. Kini Jeno tak pernah lagi menginjakan kaki di rumah sakit dalam keadaan mengenaskan. Ya, palingan cuci darah dan check up rutin yang sudah biasa.
Hari-harinya kini berjalan dengan normal. Senang sekali. Jeno bisa makan dengan baik tanpa mual. Bisa tidur dengan nyenyak tanpa sesak, dan tidak ada lagi demam menggigil yang biasanya selalu saja mampir hampir setiap minggu. Jeno merasa sehat. Dan itu menyenangkan.
--
"Hoammmmmmmmm ...." Lelaki bermata sipit itu menguap lebar seraya merentangkan tangannya. Matanya mengerjap, melihat pemandangan luar di balik dinding kaca yang membatasi kamar dengan balkon. Sekarang Jeno lebih sering tidur di apartement Joan dari pada di kosannya. Soalnya Abi. Ah, iya, sebentar tentang Abi.
Tidak hanya Jeno yang menganggap akhir tahun ini penuh berkah, Abi juga. Gelar S.Ds. yang tercantum di belakang namanya, di penghujung tahun ini akhirnya berguna. Dua minggu lalu Abi memutuskan untuk menyebar lamaran pekerjaan. Karena berniat serius pada Nisa, artinya dia harus punya modal untuk masa depan yang lebih panjang. Setelah menunggu beberapa hari, salah satu advertising agency menghubunginya. Lalu berbagai tes dan interview Abi lewati, sampai kata selamat bergabung, dia terima lewat email. Dan sudah tiga hari ini, Abi mengikuti seminar perusahaan di luar kota untuk mendalami pekerjaan bagi karyawan baru.
Selama Abi tidak ada, Jeno lebih memilih tidur di apartement Joan. Kosan tidak asik kalau tidak ada manusia satu itu.
-
Hari ini hari kedua Jeno menginap. Senin pagi gerimis. Dari semalam bumi memang dihiasi rintik hujan. Alih-alih beranjak dari tempat tidur, Jeno lebih memilih mengubah posisi tidurnya membelakangi dinding kaca yang memperlihatkan gerimis lebat. Joan sudah tidak ada di sampingnya. Pasti sudah bangun dari pagi buta. Dan biasanya jam segini sedang sibuk menyiapkan sarapan.
"Akh!" Jeno menggeliat kesal. Baru saja akan memejamkan mata kembali. Perutnya berbunyi. Mengganggu. Dengan mata setengah terbuka Jeno menyalakan handphone. Pukul 11.00. Pantas saja minta diisi. Jeno akhirnya bangun. Terduduk, mengumpulkan kesadaran. Kemudiam disibakannya selimut yang sebenarnya enggan, karena hawa dingin seperti menelusup melewati celah-celah jendela. Menyapa kulitnya yang kering. Matanya juga masih enggan terbuka. Berat. Tapi perutnya terus berbunyi.
Jeno beranjak, memaksakan kaki menapak lantai. Saat membuka pintu kamar. Terlihat Joan sedang berkutat di dapur. Terdengar bunyi pisau yang beradu dengan papan talenan.
"Masak apaan?" tanya Jeno tiba-tiba.
Joan sedikit terperanjat. "Kaget gue," katanya sembari melirik.
Jeno acuh. Memutar langkah. Mendudukkan diri di kursi meja makan. Mengambil selembar roti tawar lalu memakannya tanpa diolesi slai apa pun, padahal di depannya berjajar slai dengan berbagai rasa, tapi, ya, tahulah Jeno mah males.
"Gue bikin sup. Hujan-hujan gini enak, biar anget," Joan baru menyahut pertanyannya tadi.
"Oh." Jeno kemudian beranjak dengan sepotong roti tawar di mulutnya. Beralih duduk di sofa. Menyalakan televisi. Seperti Desember pada umumnya. Iklan-iklan di TV mulai diakhiri dengan ucapan Merry Christmas and Happy new year. Disusul iklat potongan film-film yang akan menemani hari natal dan tahun baru para kaum rebahan di rumah.
"Jo," Jeno memanggil.
"Hm." Joan yang masih sibuk dengan supnya menyahut seadanya.
"Lo gak natalan, kan, ya?" tanya Jeno yang sebenarnya tak perlu ditanya lagi. Cuma buat basa-basi.
KAMU SEDANG MEMBACA
He's Jeanno (Selesai)
General Fiction**Jangan plagiat nyerempet copy paste** "JE-JE, JEN, JENO, ANJIR, JANGAN KENCENGAN!!" Teriakan dan suara tawa menggema di parkiran supermarket yang sepi. Hanya ada seorang pria berjas abu-abu yang hendak menyalakan mesin mobil, tapi urung saat mend...