Hanya suara televisi yang terdengar. Jeno sedang menonton serial kartun yang sedang tayang. Tiduran di sofa dengan selimut tebal yang menutupi tubuhnya."Lo makan mie?" Kepalanya memutar. Sedikit terangkat melihat ke arah dapur, tempat Joan duduk di meja makan sana. Baru selesai memasak sesuatu, yang rupanya mie instan. Baunya menggelitik masuk ke hidung Jeno.
"He'em, gue lagi pengen. Kenapa?"
"Gak." Jeno mencoba kembali acuh, menatap layar TV. Sialan. Harum mie bikin perut keroncongan.
"Jo, gue mau." Jeno kembali memutar kepala, kali ini bersama tubuhnya yang mengangkat. Hasratnya ingin mengecap makanan instan bermicin itu lagi, ternyata tak bisa ditahan.
"Lo gak boleh makan mie," sahut Joan tanpa melihat Jeno sedikit pun, fokus menyeruput kuah mie yang pasti gurih itu.
"Dosa lo, Jo. Gue udah nyium bau mie yang lo bikin. Lo gak tahu ada hadist. Janganlah kamu menyakiti tetanggamu dengan bau masakan kuah yang direbus di dalam periukmu, kecuali kamu memberi kuah kepada tetanggamu sekadarnya."
Joan melirik. Mendengar Jeno yang menceramahi dengan panjang dan jelas. Belajar dari mana dia.
"Tahu dari mana lo?"
"Si Abi sering ceramah gitu."
Joan terkekeh. Dasar. Abi ternyata.
"Lagian, lo bukan tetangga gue," kata Joan. "Lo gak boleh makan mie instan," tegasnya kemudian.
Tatapan mata Jeno menjadi tajam. Joan balas menatapnya lurus, tak takut sama sekali. Kemudian tatapan tajam itu berubah menjadi sayu. Memelas.
"Dikit aja, Jo, dikit," pintanya. "Cacing gue kasian tar ileran."
"Mana ada cacing ileran."
Jeno mendesah. Ingin menyerah. Tapi indomie.
"Dikit aja, Jo. Lima centi dah mienya, lima centi. Kuahnya setengah sendok aja. Jooooo ...." Jeno menatapnya dengan tatapan sangat melas.
Oke. Kasihan juga. Tar cacingnya beneran ileran. Joan akhirnya beranjak membawa mangkuk mienya. Menghela napas panjang. Senyum Jeno langsung mengembang. Joan berdiri di depan sofa, sedikit membungkuk mensejajarkan tubuh dengan Jeno.
Dililitnya mie yang kriting itu dengan garpu. "Dikit aja," katanya sembari menyodorkan ke mulut Jeno.
Jeno tersenyum begitu si kriting kuning yang gurih itu dikunyah di dalam mulutnya. "Kuahnya, dong. Pake kornet sama telornya, pelit amat lo."
Joan menurut. Memotong telor dan remahan daging sapi olahan itu, sedikit.
Jeno membuka mulut lebar. Mengunyah. Kemudian mengacungkan dua jempol.
"Indomie di tangan chef rasanya makin juara, ya," pujinya."Nih, sayurnya." Joan menyendok pakcoy hijau segar yang sengaja tak dia potong.
"Ogah." Jeno menolak. Menjauhkan kepalanya.
"Udah, ya. Lo jangan mau lagi. Gue mau abisin di sana."
"Satu sendok lagi." Jeno mengacungkan jari telunjuk.
"Gak ada," sahut Joan sembari berjalan kembali ke meja makan tanpa menoleh.
"Dih, pelit! Gue cari sinetron azab biar tahu." Jeno mengambil remot. Mencari channel yang dimaksud.
--
"Lo beneran gak apa-apa?"
"Gak pa-pa."
"Tapi hasil check up lo gak bagus."
KAMU SEDANG MEMBACA
He's Jeanno (Selesai)
General Fiction**Jangan plagiat nyerempet copy paste** "JE-JE, JEN, JENO, ANJIR, JANGAN KENCENGAN!!" Teriakan dan suara tawa menggema di parkiran supermarket yang sepi. Hanya ada seorang pria berjas abu-abu yang hendak menyalakan mesin mobil, tapi urung saat mend...