Di warung emper pinggir jalan, mereka sedang menikmati tusuk demi tusuk sate bumbu kacang.
"Mas, mau nambah lagi, gak?" tawar si penjual, pria berumur 40 tahunan yang sudah mengenal dua pelanggan setianya itu, yang pas awal Jeno dan Abi datang tadi, langsung ditodong dengan pertanyaan, kenapa mereka jarang mampir?!
Jeno menelan kunyahan satenya, melirik beberapa tusuk yang tersisa.
"1 porsi lagi, dah, Bang!" teriaknya seraya mengacungkan jari telunjuk.
Si penjual tersenyum lebar. "Okeh, siapp, Mas Jeno."
Abi di sampingnya melirik. "Lo udah makan dua porsi, anjir," katanya diakhiri desahan.
"Ya, kan kemaren-kemaren gue gak bisa makan, Bi. Jadi hari ini, tiga porsi pat porsi, gak pa-palah," sahut Jeno santai.
Abi mendelik. "Gak pa-pa, gak pa-pa, gue yang bayar, nying!" ucapnya menekan pelan sembari melengos.
Asal kalian tahu, ini tuh tempat sate yang walaupun pinggir jalan, tapi rasa dan kualitasnya ngalahin resto bintang tujuh. Dagingnya kualitas super dan empuk. Bumbunya mantap parah. Ya, harganya pun kalian tebak sendiri. Beda sangat dengan abang-abang yang lain. Kualitas super. Bukan apa-apa, coi, tapi ini tanggal tua, anjir. :'). Jeno acuh saja memainkan setusuk sate dalam bumbu, lalu melahapnya santai. Tidak memikirkan kondisi dompet hitam Abi yang bernapas kembang-kempis.
"Ya, makanya itu gue makan banyak, kan lo yang bayarin," celetuk Jeno disela kunyahannya.
"Si anying kan!" Abi hanya bisa mengumpat. Ingin ikut menangis dengan dompetnya.
--
"Ngelamun dulu, ah, gue." Jeno bersandar pada dinding. Menselonjorkan kaki pada bangku panjang setelah menuntaskan keinginannya untuk menyesap sebatang rokok lagi setelah sekian lama. Hari ini Jeno ingin menikmati sore hari dengan duduk selonjoran, tak melakukan apa-apa, hanya memandang lurus taman yang tak jauh di depannya. Dan Abi duduk di bangku seberang, terpisah oleh meja panjang, masih menyesap rokok yang kedua.
Sehabis makan tadi, mereka memutuskan pergi ke tempat sumber wifi. Cuma numpang nongkrong gak ada niat beli voucher, kebetulan tempatnya sedang sepi hanya ada beberapa anak SMP yang sepertinya sedang fokus main game online.
"Lo beneran mau cuti dulu di Sound?" Pertanyaan keluar dari mulut Abi setelah beberapa lama hanya menghening.
Jeno menghela napas panjang. Mengangguk. "Ya, gimana lagi, badan gue lagi gak dukung," sahutnya berat hati.
"Udah ada juga yang gantiin gue, si Ray, kan?"
Abi mengembuskan asap rokok dari mulutnya ke arah atas. Mengeluarkan segala penat. "Ya, tapi beda feel-nya kalo sama lo," katanya seraya melirik Jeno.
Jeno terkekeh. "Ya kan secara ... Lo-Gue-Sohib!" ucap Jeno sembari menunjuk Abi dan dirinya lalu diakhiri menepuk dada. Abi ikut terkekeh.
"Tapi selo, Bi, tar gue balik lagi. Istirahat bentar doang kok gue. Sampe badan enakkan aja."
Abi memajukan bibir bawah. Menekan ujung rokoknya yang tinggal seperempat ke dalam asbak.
"Gue jadi pulang sendiri, anjir. Serem, di belokan Villa green gue ngacir, gila! Berasa kek ada setan di belakang gue."
"Mampus!!! Berdua aja serem apalagi sendirian," sela Jeno.
Abi mengangguk. "Ya, makanya!"
Jadi gini, di perjalanan dari kosan ke Sound ada jalanan yang kalo dilewati jam 3 pagi -jam pulang Sound- pasti sepinya terasa beda, apalagi di belokannya yang walaupun ada gerbang sebuah perumahan mewah di sana, tapi malah menambah kesan seram. Kalo kata Abi, itu gerbang setan. Gigi satpam penjaganya glowing in the dark, orangnya gak keliatan di waktu malam, tahu-tahu ada deretan putih mengambang. Sumpah, sering buat Abi dan Jeno kaget, dikira apa tahunya gigi .
KAMU SEDANG MEMBACA
He's Jeanno (Selesai)
General Fiction**Jangan plagiat nyerempet copy paste** "JE-JE, JEN, JENO, ANJIR, JANGAN KENCENGAN!!" Teriakan dan suara tawa menggema di parkiran supermarket yang sepi. Hanya ada seorang pria berjas abu-abu yang hendak menyalakan mesin mobil, tapi urung saat mend...