PART 14

8.1K 696 14
                                    

Harum menggiurkan langsung menyapa hidung begitu matanya terbuka. Jeno menggeliat menguap lebar. Melirik ke sisi kanannya yang sudah kosong. Bunyi gesekan wajan terdengar dari arah luar berdenting merdu beradu dengan spatula. Sudah pasti si chef professional sedang memasak. Jeno bangkit melangkah keluar kamar. Menggaruk-garuk kepalanya dengan mulut yang terus menguap. Sejujurnya jam segini, bukan jam bangun Jeno. Yaa, akhir-akhir ini, setelah tidak bekerja lagi di cafe, Jeno selalu bangun siang.

"Kalo nguap, tutup mulut lo," tegur Joan saat melihat Jeno keluar kamar dengan langkah sempoyongan dan mulut yang terus menguap. Duduk di kursi meja makan. Wajahnya masih tampak mengantuk. Celingukan kanan-kiri tak mengindahkan perkataan Joan, sepertinya masih setengah bermimpi.

"Jam berapa, dah?" tanya Jeno setelah beberapa detik hanya tengok kanan-kiri tak bersuara.

Joan melirik jam dinding. "Baru jam setengah 8."

"Hoo, masih pagi banget. Lo masak apa, Jo?" tanya Jeno. Matanya menyipit. Melihat Joan yang mulai menyajikan sarapan. Sebuah piring diletakan di atas meja, berisi nasi goreng kecap yang terlihat menggugah selera ditambah potongan daging dan sayuran yang beraneka warna, tak lupa dihias garnis, tomat, selada, dan daun-daunan entah apa itu. Membuat Jeno mengekeh.

"Lo itu emang chef, ya. Di rumah aja pake garnisan segala. Jo, tapi gue gak suka--"

"Iya, gue tahu. Lo gak suka nasi, makanya gue buatin lo ini."

Joan tampak sedang menyajikan masakannya yang kedua. Mengambil dari dalam microwave dan lagi-lagi sepertinya sedang memperindah tampilannya terlebih dahulu sebelum meletakan ke atas meja. Jeno antusias. Menegakan badan menunggu makanannya disajikan. Untuk pertama kalinya, dia sarapan dimasakin chef langsung.

Setelah selesai, Joan berbalik. Berjalan ke meja makan. Meletakan semangkuk, entah apa Jeno tidak tahu, yang pasti warnanya kuning dengan atas kecoklatan. Sepucuk daun atau sayuran hijau disimpan di tengah-tengahnya dan ditaburi keju parut yang dicampur bubuk nori, menambah cantik. Tampilan makanan restoran berbintang. Tapi Jeno malah mengembuskan napas panjang seakan kecewa.

"Ah, krim sup panggang yang di atasnya keju pasti, nih. Gak suka makanan lembek gue, tuh, Jo." Jeno mundur. Menyandarkan punggung.

Joan baru saja mengambil dua gelas jus segar yang tadi dibuatnya. Meletakan satu di samping piringnya dan satu lagi di hadapan Jeno. Kemudian duduk, bersiap menyantap sarapan.

"Dirasain dulu, Je. Baru komentar," ucap Joan.

Jeno melirik. Udah susah-susah Joan buat sarapan. Tidak sopan kalau dia tidak memakannya. Jeno memajukkan kembali badannya.

"Iya-iya." Mengambil sendok kemudian menyendok krim sup panggang di hadapannya itu. Menyuapkan ke dalam mulut dengan ragu. Makanan lembek selalu terasa menjijikkan di lidahnya. Setelah dirasa. Jeno melebarkan mata. Ternyata di dalamnya tidak lembek dan polos, seperti yang sempat dia bayangkan, malah padat dan penuh dengan isian ... Jeno terus mengunyah, sepertinya ada daging, sayuran, dan tidak tahu apa. Enak. Sangat enak. Jeno melahap sendok kedua dengan lebih penuh. Membuat mulutnya mengembung dan matanya jadi benar-benar melebar sekarang. Dia lupa, yang bikin bukan chef abal-abal.

"Gimana?" tanya Joan.

Tanpa ragu Jeno mengacungkan dua jempol. Kalo bisa jempol kakinya juga akan dia acungkan.

"Beruntung, sih, cewek yang nanti jadi istri lo, Jo. Dimasakin enak tiap hari. Serasa punya restoran bintang lima pribadi," kata Jeno. Melahap lagi dengan semangat. Joan tersenyum. Menyuap nasi gorengnya. Tak menanggapi.

"Eh, tapi ngomong-ngomong, Jo. Lo udah ada pacar? Tunangan? Atau calon istri? Gue belum pernah liat lo bawa cewek."

Joan mengedikan bahu. "Gue belum mikirin ke situ," sahutnya santai.

He's Jeanno (Selesai) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang