PART 18

6.8K 727 7
                                    

Pria paruh baya berbadan tinggi tegap dengan garis wajah yang masih menyiratkan betapa tampannya dia di masa muda. Uban putih yang mendominasi rambut hitamnya tidak membuat dia terlihat begitu tua. Jeno bahkan tidak bisa menebak berapa umur pria di hadapannya itu. Joan saja sudah hampir berusia kepala tiga. Umur ayahnya pasti sudah lewat kepala lima, tapi tubuh dan penampilannya tak terlihat melebihi kepala empat. Jeno melengkungkan senyum dengan anggukan sopan, melirik satu per satu orang yang ada di sana, kemudian tatapnya berakhir pada pria paruh baya yang tadi menghampiri.

Berdiri di hadapan Jeno. Hanya berdiri, sembari terus menatap dengan senyum tipis dan mata yang tampak berkaca-kaca. Jeno jadi bingung, apa yang harus dia lakukan. Haruskah memeluk? Atau mencium tangannya Atau ... AKH, apa yang harus dia lakukan? Jeno tidak tahu. Dia hanya berdiri canggung dengan bibir yang sudah mulai pegal untuk tersenyum. Lalu tiba-tiba tangan kekar itu memeluknya. Jeno sedikit tersentak. Diam mematung. Tak membalas. Terdengar isakan kecil. Ayahnya terus mengucapkan kata maaf dengan suara pelan, terisak sembari terus memeluknya. Lagi-lagi, Jeno bingung apa yang harus dia lakukan. Suasana ini begitu canggung. Sampai Jonathan melepaskan pelukan, Jeno masih terdiam, hanya menyunggingkan senyum tipis.

"Kita makan dulu," ajak Jonathan berusaha memecah kecanggungan, dengan wajah yang masih basah oleh jejak air mata. Senyum di bibirnya tak hilan-hilang. Begitu banyak yang ingin dia sampaikan, selain kata maaf, tapi bibirnya kelu.

"Ini, Bunda." Jonathan memegang lembut punggung wanita paruh baya yang berdiri di belakangnya.

Berhijab, cantik, dan terlihat lemah lembut. Jeno tersenyum lebar menyalami tangan lembut itu. Senyum di bibir Tyana pun terbit tak kalah lebar, kala Jeno mencium tangannya. Entah, merasa terharu. Ingin memeluk, tapi merasa tak berhak. Di wajah Jeno, Tyana melihat jelas rupa Reyne, wanita yang seharusnya ada di posisinya sekarang, wanita yang tak seharusnya pergi. Seketika Tyana merasa sesak. Rasa bersalah itu seakan mengapung kembali, muncul ke permukaan. Andai saja Jonathan tak pernah menahannya. Dia pasti akan dengan sadar diri melupakan rasa cintanya. Air mata Tyana menetes begitu saja. Tubuhnya tak bisa ditahan lagi untuk memeluk Jeno. Tanpa bicara, dia peluk erat tubuh jangkung kurus di hadapannya.

Jeno tersentak untuk kedua kali. Wanita paruh baya di hadapannya tiba-tiba saja menangis dan memeluknya. Berbeda dengan Jonathan yang menangis dengan isakan sangat pelan. Isakan Tyana tedengar sangat jelas. Punggung hangatnya bergetar membuat Jeno perlahan menggerakkan tangan membalas pelukan itu. Ah ... Jeno punya Mama, Ibu, dan Bunda.

"Kak Jeno, Zara."

Setelah Tyana melepaskan pelukan. Gadis yang tampak periang itu menyodorkan tangan dengan senyuman lebar. Jeno mengekeh. Menjabatnya ramah. Mengingatkan pada Keny.

"Pengen dong dipeluk Kak Jeno jugaa," rengekan manja memecah suasana canggung. Membuat semua orang terkekeh melihat sifat manja si bungsu yang menggemaskan. Tyana terkekeh seraya menghapus air matanya.

"Sini." Jeno merentangkan tangan ke arah Zara. adis SMA itu langsung merekahkan senyum, mengayunkan kaki, langsung memeluk tubuh kakak barunya. Zara tersenyum lebar menempelkan kepala di dada Jeno, karena tingginya yang tak seberapa, hanya sebatas dada bidang Jeno.

"Zara seneng jadi punya 4 kakak," ucapnya.

Entah, mendengar ucapan itu, rasanya hati Jeno menghangat.

"Eh, bocah! Udah dong biarin abangku makan."

Suara nyaring membuyarkan haru. Zara mendelik. Melirik orang yang mengeluarkan suara itu.

"Apaan, sih, ih!" kesalnya memicingkan mata. Melepas pelukan.

"Bang, sini makan samping aku." Lio berucap semangat menggeser kursi sampingnya yang kosong.

"Eh, iya, Jeno. Ayok makan dulu." Tyana memegang lengan Jeno membawanya ke tempat duduk samping Lio.

"Luky."

Begitu Jeno duduk, seseorang di hadapannya mengulurkan tangan. Jeno tersenyum menjabatnya.

"Jeno," ucapnya.

Luky tersenyum tipis.

"Eh, Bang. Abang, DJ, ya?"

Jeno langsung mengalihkan pandang, melirik anak laki-laki di sampingnya.

"Lupa." Anak itu menepuk jidat. "Aku Lio, adik abang yang ke satu. Kakaknya Zara," kenalnya.

Jeno mengangguk-angguk. "Masih SMA?"

Lio mengangguk, tersenyum penuh.

"Iya, kelas dua. Abang, DJ, kan?" Lio mengulang pertanyaan awal. Tampak antusias menunggu jawabannya.

"Ya, kok tau?" Jeno menaikkan alis. Lio orang Bandung, dan tak mungkin dia anak dugem. Dari mana dia tahu tentang kerjaan Jeno. Ya, kecuali Joan yang menceritakan.

Lio tersenyum lebar. "Tahulah, temen-temen aku yang doyan Jep-ajep sering nyebut nama Abang, awalnya aku gak tau ... eh, ternyata ... Abang Jeno, Abangku." Lio tertawa tampak gembira,
"seneng banget deh. Bisa aku sombongin," tambahnya, yang kemudian tawanya berubah jadi cengiran lebar.

"Sombongin? Sombongin apaan?" Kening Jeno mengkerut.

Lio menatap dengan mata melebar. "Bang, asal, Abang tahu, ya. Di kelasku semuanya fans Abang Jeno sama Bang Yabi."

"Abi?" Kening Jeno semakin mengkerut.

"Iya, pokoknya Bang Jeno sama Bang Yabi itu duo DJ terbaik katanya. Aku udah 17 tahun. Mau banget maen ke club tempat kalian manggung tetap, tapi Bunda sama Ayah gak bolehin." Lio melirik ayah dan bundanya. Kedua orang tuanya itu tersenyum.

"Nanti Bunda bolehin, deh. Kalo perginya sama Bang Jeno."

"Beneran????"

Tyana mengangguk. Yang membuat Lio kemudian memekik girang.

Jeno menggeleng-geleng. "Gak boleh, gak boleh. Bukan tempat anak kecil kayak kamu," Larangnya. Rasanya dia tak mau Lio mengenal dunia malam.

"Ya Allah, Abang, aku udah 17 tahun," ucap Lio dengan bibir cemberut.

Zara tertawa melihat wajah ditekuk kakaknya. "Iya, tapi kelakuannya masih kayak anak kecil. Bang Jeno aja bisa liat."

Lio mendengus. Setelah itu suasana mencair. Mereka terus bercengkrama. Pertengkaran antara Lio dan Zara, selalu membuat Jeno dan yang lainnya tertawa.
Si kalem Luky, seperti yang biasa dia lakukan, hanya melengkungkan senyum tipis. Joan tak bersuara, sepenuhnya membiarkan Jeno berkenalan sendiri dengan keluarganya. Dan diam-diam senyum Joan mengembang lebar. Seperti yang dia rasakan waktu itu, awalnya akan canggung, tapi akhirnya Jeno akan menjadi Jeno. Tidak sulit untuk menjadi dekat dengannya.


--

He's Jeanno (Selesai) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang