Sepanjang sarapan, Yasa bersenandung. Hari ini moodnya sangat baik. Dia menyelesaikan sarapan dengan cepat. Membawa piring bekasnya ke wastafel lalu mencucinya tanpa disuruh.
Abi dan Nisa sampai saling lirik. Ada apa dengan anak perawan mereka?
Tapi kemudian, Nisa tersenyum. Kenapa dia harus bertanya-tanya? Harusnya bersyukurlah, akhirnya Yasa mengerti; usianya sudah cukup dewasa untuk bersikap mandiri.
"Yasa ke kamar lagi ya, Yah, Bu. Ada tugas."
"Tumben banget inget tugas. Lagi masa sekolah aja kamu gak pernah inget, apalagi di hari libur panjang gini. Masuk sekolah masih lama juga."
Nisa yang biasanya menegur mulut ringan suaminya itu, sekarang ikut tertegun. Sembari mengunyah pelan sarapan, dia kembali mempertanyakan perubahan sifat putrinya yang terlalu tiba-tiba. Emang mukjizat banget sih kalau putri semata wayangnya itu tiba-tiba jadi ingat pada tugas-tugas sekolahnya.
Berhubung mood Yasa sedang baik, jadi dia menanggapi ucapan menyebalkan sang ayah, dengan senyuman termanisnya.
"Yasa harus pinter, biar gak disebut mirip Ayah mulu," sahutnya kemudian, diakhiri dengan senyuman super manis.
"Yaudah, Yasa ke kamar dulu ya, Ayah, Ibu." Lalu Yasa pamit dengan nada manisnya dan melangkah riang meninggalkan ruang makan.
Abi melirik Nisa. "Emang kalo mirip gue, kenapa, Yang? Kan gue bapaknya."
Nisa memutar bola mata. "Rusak, Bi, keturunan gue kalo mirip lo semua," tukasnya, menohok.
-
"Udah makannya?"
Yasa menutup pintu, mengangguk dengan bibir tersenyum. Berjalan mendekati omnya, yang sedang tiduran di lantai--memiringkan badan dengan tangan menopang kepala, menatap Yasa yang baru masuk ke dalam kamar.
"Kenyang banget."
"Masakan Ibu Nisa enak, ya?" tanya Jeno, jadi teringat masakan Nisa--yang selalu terasa enak. Temannya itu sejak dulu memang jago masak.
Yasa mengangguk. "Enak banget. Om, kalo hantu makan, gak?" tanyanya. Dia duduk di kursi belajar, menghadap Jeno.
Jeno merebahkan diri kembali, menatap atap. "Nggaklah, gak pernah ngerasa laper," sahutnya.
Yasa mengangguk-angguk. Tiba-tiba kepalanya penuh dengan pertanyaan.
"Om, emang kalo mati, kita gak terbang ke atas, ya?" Dari dulu dalam pemikiran Yasa, orang yang meninggal itu akan terbang menembus langit sampai ke tempat Tuhan.
Jeno tampak berpikir. "Kayaknya... harusnya sih terbang. Normalnya, orang-orang ninggalin bumi pas mereka mati. Orang-orang yang tetep tinggal, mungkin karena ada yang belum selesai. Kayak orang yang bunuh diri, dibunuh; mereka belum sampe takdirnya."
Yasa mengernyit. "Terus, Om kenapa masih di sini?"
Jeno meliriknya, mengedikan bahu. "Sejak kamu lahir, tiba-tiba Om di sini. Liat kamu yang masih jadi bayi merah, di kamar ini juga, tapi dulu kamarnya bukan gini sih."
Mata omnya menilik sekeliling. Iyalah, kamar Yasa, kan, diperbarui seiring pertumbuhan usia.
"Berarti Om udah mau 17 tahun dong di sini?" Mata Yasa membola.
Jeno mengangguk.
"Kok bisa gitu?" tanya Yasa kembali. Dia masih janggal dengan keberadaan omnya, walaupun sangat senang.
Kalau ditanya seperti itu... Jeno menghela napas. "Gak tau, Sa. Om aja kaget. Kirain pas Om bangun deket kamu yang masih bayi merah itu, Om belum mati. Tapi ternyata gak ada yang liat Om. Cuma kamu aja sih kayaknya, yang pas bayi matanya selalu liat Om. Tapi pas udah mulai gede, mata kamu juga jadi gak pernah natap Om lagi."
KAMU SEDANG MEMBACA
He's Jeanno (Selesai)
General Fiction**Jangan plagiat nyerempet copy paste** "JE-JE, JEN, JENO, ANJIR, JANGAN KENCENGAN!!" Teriakan dan suara tawa menggema di parkiran supermarket yang sepi. Hanya ada seorang pria berjas abu-abu yang hendak menyalakan mesin mobil, tapi urung saat mend...