PART 5

10.5K 921 24
                                    

"Lo beneran gak apa-apa?" tanya Abi untuk kesekian kalinya.

Sekarang pukul 3 pagi. Nereka baru saja pulang dari Sound. Abi mencabut kunci motor lalu menghampiri Jeno yang sedang membuka kunci kamar. Di bawah temaram lampu kosan, wajah Jeno terlihat loyo. Selama perjalanan tadi, dia juga banyak diam hanya menyahut celotehan Abi dengan gumaman seadanya.

"Je, lo gak apa-apa?" Tak juga mendapat jawaban. Abi bertanya lagi, kali ini sembari memegang lengan Jeno.

"Apaan sih, Bi? Gue ngantuk!" Jeno menoleh jengah. Mata sipitnya memicing.

Abi menghela napas, mendorong pelan bahu sahabatnya itu. "Yaudah sana molor. Jangan lupa cuci kaki, cuci muka, gosok gigi, kencing dulu," cerocosnya.

Jeno mendengus. "Awas, ya! Lo ketuk pintu gue. Numpang tidur lagi. Gue getok pala lo!" katanya mengancam.

"Iyaa, gak sampe hatilah gue bangunin lo."

Mendengarnya. Jeno mendecih. 'Gak sampe hatilah!' Apaan. Hampir setiap malam manusia satu itu gedor pintu di saat Jeno baru banget terjun ke dunia mimpi. Selalu numpang tidur dengan alasan: Abi gak bisa tidur di kamarnya yang sumpek. Padahalkan kamarnya dengan kamar Jeno sama saja.

Tak peduli pada Abi yang masih berdiri di tempatnya. Jeno masuk ke dalam kamar. Menutup pintu pelan lalu berjalan menuju ranjangnya dengan lunglai. Tanpa cuci muka, cuci kaki, gosok gigi, ataupun kencing dulu, seperti kata Abi tadi. Jeno memilih langsung menghempaskan tubuh ke ranjang, bahkan sepatu pun masih melekat di kakinya. Entah, hari ini Jeno merasa tubuhnya teramat lemas, pinggangnya pun terasa sakit sejak di podium tadi.

Jeno melenguh. Matanya terpejam dengan dahi mengkerut. Tidak ada obat yang tersisa untuk mengurangi rasa sakitnya. Tadinya sepulang dari café. Jeno akan pergi ke apotek dulu. Membeli beberapa obat yang kira-kira sangat dia butuhkan karena tadi siang Jeno sempat mimisan juga membuatnya sedikit waswas, tapi niatnya pergi ke apotek urung karena tak disangka-sangka Joan menemuinya. Dan Sekarang, Jeno hanya bisa menarik napas dalam--mengembuskannya perlahan. Membiarkan sakitnya menyerang sampai rasa sakit itu lelah sendiri, dan Jeno pun bisa terlelap dengan damai.

--

"Je, meja nomer 13."

"Okeh."

Jeno mengambil nampan berisi kue dan minuman itu lalu melangkah menuju meja yang disebutkan.

"Cheese cake, ice coffee latte, hot cappuccino, silahkan. Selamat menikmati." Jeno tersenyum tipis, setelah itu dia melangkah kembali dengan berusaha terlihat normal. Bibirnya terkatup rapat menahan erangan. Sekali kakinya melangkah,
sakit di perut sampingnya berdenyut, nyeri.

"Lo gak apa-apa, Je?" Fira yang sedang berdiri di counter bertanya melihat ada yang aneh dari cara berjalan temannya itu.

Jeno tersenyum. "Gak apa-apa, gue ke toilet dulu, ya," izinnya. Kakinya kemudian melangkah pelan menuju toilet dengan satu tangan yang terus memegang perut bagian samping.

"Kenapa lo?" Dikta yang akan ke toilet menepuk pundak Jeno yang ada di depannya, sedang membungkuk menekan perut.

"Sakit perut gue," sahut Jeno disela desisannya.

"Mau gue mintain obat?" tawar Dikta. Dia sedikit membungkuk untuk melihat wajah Jeno yang menunduk. Kernyitan dalam di kening temannya itu membuat Dikta merasa khawatir.

Jeno menggeleng. "Gak usahlah. Lo mau ke toilet? Masuk aja. Gue gak jadi," ucapnya lalu menegakkan tubuh perlahan. Tersenyum tipis. Mempersilahkan Dikta untuk masuk ke dalam toilet.

"Yakin lo gak mau gue mintain obat?" Dikta masih menatap khawatir.

Jeno mendecak. "Iya, biar gue ambil sendiri aja kali."

He's Jeanno (Selesai) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang