5 hari berlalu. Mata itu tetap terpejam. Joan dengan sabar menunggu di sana. Walaupun jam besuk sudah tertulis jelas di luar pintu ICU, hanya boleh dua kali membesuk dalam satu hari, itu pun diberi batas waktu. Tapi Joan, tetap seharian berada di rumah sakit, menunggu di ruang tunggu, hanya sesekali pergi ke kantin dan beribadah saat waktunya tiba. Sementara Abi, Joan meyakinkan dia untung bekerja seperti biasa.
Dengan terpaksa, Abi juga tak bisa meninggalkan tanggung jawabnya begitu saja. Orang tua Abi setiap hari ke rumah sakit. Mey selalu membawa makanan untuk Joan makan. Reymond sering mengajak Joan untuk menikmati waktu di luar, sejenak menghirup udara segar. Di tengah kesibukannya, Rendy juga selalu menyempatkan diri untuk menemani Joan setiap harinya. Menggantikan Joan menunggu Jeno di rumah sakit, saat Joan pulang dulu ke apartement.
"Bangun, yuk, Je. Lo mau sembuh, kan? Kita berobat ke tempat yang lebih bagus, yuk. Gue selalu bilang ke ayah kalo lo baik-baik aja. Lo harus bangun. Dan beneran jadi baik-baik aja."
Di alam bawah sadarnya Jeno bisa mendengar, seperti kita tidur, tapi tak nyenyak. Sekilas suara-suara dari luar samar-samar masuk ke dalam mimpi. Namun, Jeno terjebak, dalam ruang yang kosong.
-
Ada tangan yang tiba-tiba menggenggam. Perlahan mengerat.
"Je"
Tak jelas. Siluet tinggi itu terduduk di depannya. Tertutup cahaya. Lalu pelan-pelan cahaya itu memudar, dan perlahan wajah itu nampak.
-
Tangan Jeno bergerak dalam genggaman Joan. Keningnya mengernyit seolah tak nyaman.
"Je."
Joan menegak. Sigap meraih tombol darurat. Hanya butuh hitungan detik. Dokter masuk. Joan mundur, melepaskan tangan Jeno yang tadi mulai bergerak.
--
Butuh waktu satu hari sampai kelopak mata itu akhirnya terbuka sempurna. Bola matanya bergerak ke segala arah. Menatap Joan seakan ingin menyampaikan ketidaknyamanannya. Joan ada di sana saat perawat dan dokter mempersiapkan untuk melepas ventilator di mulut Jeno. Joan tersenyum saat manik Jeno menatapnya.
Rasanya mengganjal, mengganggu, ingin dimuntahkan, tapi tak keluar.
"Kayak batuk aja, dikeluarin," kata dokter setelah beberapa prosedur dilakukan. Sekarang tinggal selangnya saja yang harus dikeluarkan, dengan bantuan Jeno terbatuk. Oke, mudah.
Seorang perawat memegang kepala dan dagu Jeno, sementara dokter memegang selangnya.
"Yuk, coba," katanya.
"Uhuk."
Jeno mencoba. Terbatuk. Dikira sepele, tapi ternyata sakit. Wajahnya langsung memerah dengan air mata menetes di sudut mata. Sialan. Dadanya sakit. Tenggorokannya sakit. Mana selangnya masih ada di tenggorokan, tidak keluar sepenuhnya. Rambutnya diusap oleh seorang perawat bermasker itu, matanya menandakan, dia tengah memberikan senyum, menyemangati mungkin.
Jeno menengadah. Matanya terpejam. Menahan perih. Gila.
"Sekali lagi, ya," ucap dokter lembut.
Jeno menatap. Wajahnya kini benar-benar memerah dengan mulut terbuka dan selang yang masih menyangkut di sana.
"Ohokk!"
"Ya, bagus." Dokter itu tersenyum lebar. Menarik selang yang berhasil keluar kemudian membersihkan lendir di tenggorokan Jeno yang sempat dia muntahkan.
Rasanya sakit, tapi lega. Tidak ada lagi yang mengganjal. Dokter memasangkan masker oksigen lalu membereskan peralatan.
"Udah enakkan?" Si perawat tersenyum mengelap keringat di wajah Jeno.
KAMU SEDANG MEMBACA
He's Jeanno (Selesai)
Narrativa generale**Jangan plagiat nyerempet copy paste** "JE-JE, JEN, JENO, ANJIR, JANGAN KENCENGAN!!" Teriakan dan suara tawa menggema di parkiran supermarket yang sepi. Hanya ada seorang pria berjas abu-abu yang hendak menyalakan mesin mobil, tapi urung saat mend...