PART 41

6K 622 85
                                    

Katanya sakit itu rahmat dari Tuhan. Bisa jadi penggugur dosa dari seberat-beratnya dosa yang telah kamu lakukan. Jika tuhan menghendaki, dan jika kamu mensyukuri bukan merutuki apalagi malah menyalahi.

-

Jeno pernah merutuki, pernah menyalahi. Sampai akhirnya sadar sendiri, sakitnya adalah akibat dari perbuatannya sendiri, dan setelah itu dia menerima dengan lapang hati, sambil berharap apa kata orang itu benar ... sakit bisa jadi penggugur dosanya yang bejibun.

-

Dan akhir-akhir ini, hari ke hari sakitnya tak kunjung membaik, Jeno kembali ingin merutuk, tapi teringat lagi pada dosa-dosa yang telah dia lakukan. Mayan dengan menerima sakitnya secara ikhlas hati, barangkali itu bisa dikit-dikit nebus tiket masuk surga, semoga aja, ya'kan.

Jeno bangun dari posisi berbaringnya. Ini sudah malam. Lampu kamar sudah dimatikan. Di tengah gelap, dia membungkuk sendiri. Malam ini Abi pergi ke Sound setelah seminggu dia izin. Jika dihitung semuanya, tidak seminggu, sih. Abi sering banget izin sekarang. Malah hari ini, dia bilang, terakhir kali jadi Disc Jockey tetap di Sound. Besok-besok Abi hanya akan jadi freelance yang kata bosnya, boleh datang kapan saja saat dia ingin. Ya, sebebas itu, karena Jeno dan Abi memang sudah dekat dengan si pemilik klub.

Jeno menarik napas dalam, sedalam-dalamnya. Ada rasa nyeri di dada. Dengan kuat dia menggigit bibir bawah. Ingin menangis, tapi masa menangis.bSudah beberapa hari ini, napasnya memang terasa sedikit sesak. Kemarin saat hemodialisis Jeno bilang lagi pada dokternya. Dokter hanya menganjurkan untuk mengurangi asupan air. Dari kemarin sudah semakin dikurangi, tapi tetap saja tidak ada perubahan. Malah sekarang dadanya terasa sakit, ditambah suhu tubuh yang terasa jadi amat dingin.

Jeno kembali meringkuk. Posisi begini membuat napasnya jadi makin sesak, tapi dia hanya bisa meringkuk, melungker seperti ulat untuk menahan nyeri. Jeno memejamkan mata dengan rapat, berharap dunia mimpi segera meraup kesakitannya di dunia nyata.

-

"Rumah sakit aja, yok, Je?" Abi duduk di tepi ranjang.

Tubuh Jeno ditutupi selimut sampai leher. Meringkuk. Sesekali terdengar menarik napas kuat lalu setelahnya meringis sambil memegangi dada. Seolah rutinitas menarik napas kini jadi hal yang menyakitkan. Terus berulang seperti itu. Jeno sendiri tidak mengerti. Dia terbangun dari tidurnya karena sesak, saat mencoba menarik napas, itu jadi terasa sakit sekali.

Abi bahkan tidak tidur sejak pulang dari Sound. Begitu pulang jam 3 dini hari tadi, dan melihat Jeno yang tampak tidak nyaman dalam tidurnya, itu langsung mengenyahkan kantuk. Sampai sekarang menjelang matahari terbit, Abi tidak merasa kantuk sama sekali. Semakin cemas melihat Jeno yang beberapa menit yang lalu terbangun, terlihat sulit bernapas dan kesakitan. Jeno menelan ludah. Meringis ingin menangis.

"Ma-afhh sa-lahh gu-ehh, y-yahh, Bi," ucapnya dengan terbata. Air mata akhirnya lolos juga dari sudut matanya. Yang ada dipikirannya sekarang hanya takut.

"Ghuee Ud-dahh mha-uh ma-thhih, sak-hit. Da-dha g-gueh, Bi, sa-khit ba-ngethh."

Abi tidak menanggapi racauan Jeno. Terfokus pada handphone.

"Bhi ... Bilang Jho-an, y-yahh ...," Jeno terus meracau. Terbata dan diiringi ringisan.

"Gak usah ngomong yang aneh-aneh lo. Gue udah pesen grab, bentar lagi nyampe," kata Abi, kemudian dia beranjak mengambil ransel maroon Jeno. Memasukan beberapa baju ke dalamnya dan beberapa barang yang mungkin dia butuhkan. Kalau Abi wanita, mungkin sudah meraung tak karuan di hadapan sahabatnya yang kini tampak sekarat itu. Tapi Abi lelaki, sebisa mungkin dia mempertahankan diri agar tidak menjadi bodoh. Abi pernah melihat langsung kakeknya di ambang maut, dan bukan seperti itu. Jeno belum akan meninggal. Abi yakin Jeno akan sembuh lagi. Dia hanya butuh dokter.

He's Jeanno (Selesai) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang