Rendy menghampiri Joan yang duduk di kantin rumah sakit dengan sekaleng kopi di hadapannya.
"Tumben lo ngopi."
Joan bukan tipe pria yang suka kopi, hanya sekali dua kali, itu pun jika terpaksa harus membuka mata atau saat banyak pikiran dan butuh penenang. Diliriknya Rendy dengan senyuman tipis. Sahabatnya itu tahu lah kenapa sekarang Joan memilih sekaleng kopi daripada minuman bervitamin yang biasanya dia ambil.
Rendy duduk di samping Joan, meletakan tas ransel ukuran sedang di atas meja. "Baju lo. Gue ambilin dari apartement. Mandi sana, ganti baju, kusut banget, anjir."
Joan terkekeh. "Makasih, Ren," katanya.
Tanpa diminta. Rendy selalu punya inisiatif yang bagus.
"Gimana?" tanya Rendy.
Joan menghela napas. Memainkan kaleng kopi yang isinya tinggal seteguk. Menjeda sejenak sebelum menjawab.
"Nanti siang kateterisasi buat liat di pembuluh darah mana aja, sama berapa persen penyempitannya. Tapi pemeriksaan itu beresiko, karena ginjal Jeno rusak ... cairan yang disemprot pas kateterisasi bisa makin ngeberatin kerja ginjalnya." Joan kembali menghela napas. Lebih panjang. "Gue gak mau tahu, Ren. Apa pun resikonya, itu harus diperkecil."
Rendy mengangguk. "Jadi gimana?"
Joan tidak memandang Rendy. Tatap matanya menerawang entah ke mana.
"Dokter bilang, udah kateterisasi Jeno mau langsung cuci darah. Gue gak tau jadwalnya hari itu juga atau besoknya, Jeno pasang ring. Kata dokter, prosesnya gak lama, cuma operasi kecil doang. Obat-obat baru Jeno juga nanti dokter pastiin yang gak akan tambah ngeberatin kerja ginjalnya. Habis pasang ring. Tinggal jaga pola hidup lebih ketat, dan olahraga ringan. Jeno bakal baik-baik aja."
Bola mata Joan beralih ke Rendy. Pandangan matanya sarat akan ambisi.
Rendy mengangguk. "Mm, Jeno pasti baik-baik aja, Jo," katanya yakin. "Ngomong-ngomong, lo udah makan belom?" tanyanya kemudian.
Joan menggeleng. Bagaimana bisa dia nafsu makan. "Gak kepengen," sahutnya, acuh.
"Ah, elah. Jeno sembuh, lo yang sakit, gak lucu. Gue pesenin pokoknya." Rendy beranjak. Kakinya melangkah tanpa harus menunggu kata 'iya' dari Joan. Dia berjalan menuju tempat-tempat penjual makanan yang berjajar.
Joan tersenyum melihat punggung temannya itu. Yang sekarang ada di tempat penjual nasi goreng. Ya, makanan favorit Joan adalah nasi goreng.
--
"Aaaa ... Sayang ... aaaa, sekali lagi aja. Katanya mau bubur ketan item. Ini udah Tante buatin spesial lho."
Mau tak mau Jeno membuka mulut untuk ketiga kalinya. Menerima suapan dari ibunya Abi, Tante Mey.
"Ini rambutnya udah gondrong jadi keliatan kurus banget kamu, Je. Besok-besok potong pokoknya," ucap Mey sembari mengusap-ngusap rambut Jeno ke belakang, yang memang sudah agak panjang di bagian depan.
Sehari setelah pemasangan ring pada satu pembuluh darahnya yang mengalami penyumbatan di atas 50 %. Semua berjalan lancar. Dan Jeno dipindahkan ke ruang rawat. Sekarang sudah hari kedua. Keadaannya sudah jauh lebih baik. Sudah bisa duduk tegak. Dan napasnya berangsur pulih. Tidak lagi sesak. Hari ini ruangan rawatnya cukup ramai. Ada keluarga Abi. Ibu, Ayah, juga kedua adiknya.
"Bang Joan, Tante bikinin kue-kue juga, cobain, deh. Enak lho."
Mey melirik Joan yang baru selesai mandi. Keluar dengan setelan training dan handuk yang melingkar di lehernya.
Memang dasarnya keluarga Abi itu supel. Baru dua kali bertemu. Saat waktu itu Jeno masih di ICCU, dan hari ini. Tapi Joan sudah seperti mengenal keluarga itu lama, termasuk pada Ringga dan Dila yang baru pertama kali bertemu dengannya, tapi tidak ada rasa canggung sama sekali di antara mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
He's Jeanno (Selesai)
General Fiction**Jangan plagiat nyerempet copy paste** "JE-JE, JEN, JENO, ANJIR, JANGAN KENCENGAN!!" Teriakan dan suara tawa menggema di parkiran supermarket yang sepi. Hanya ada seorang pria berjas abu-abu yang hendak menyalakan mesin mobil, tapi urung saat mend...