Di siang menjelang sore, dengan panas matahari yang mulai menghilang, dua makhluk tuhan di antara triliunan, yang berinisial A dan J itu sedang menikmati semilir angin di bawah pohon rindang taman kota. Abi bersandar di badan pohon besar sembari memegang handphone, terus mengetik dengan senyum yang tak hilang-hilang. Tak jauh di sampingnya, tentu ada Jeno yang berbaring di rerumputan sedang menatap langit biru dengan awan putih yang bergerak perlahan.
"Je, menurut lo, gue langsung tembak Nisa aja, apa gimana?" tanya Abi melirik Jeno yang tiduran. Kencan pertamanya tadi bisa dibilang sukses. Nisa bahkan melambaikan tangan dengan senyuman lebar saat Abi meninggalkan café. Itu berarti lampu hijau dari Nisa, hehe. Tinggal konsultasi dengan Pak comblang. Apakah Abi harus gas kencang atau melaju santai.
"Sikat."
Hanya itu sahutan Jeno. Satu kata dengan nada datar pula. Tentu Abi tak puas. Decakan keras keluar dari mulutnya.
"Yang jelaslah, anjir! Masa gue langsung sikat, agresif banget kesannya gue," kata Abi dengan nada tak setuju.
Jeno mengembuskan napas kasar. Aktivitasnya melihat awan yang bergerak dengan penuh kekhidmatan. Harus terhenti gara-gara celotehan Abi.
Jeno bangun. Menatap Abi dengan pandangan jengah."Gini, ya, Bi ... kalo lo gak ngegas kenceng, lo bakal kesalip. Sekarang tuh, olinya pada canggih. Apalagi yang di kejar Nisa, coy! Saingan lo banyak, anjir! Cepe-an, dah ma gue, kalo lo ga ngegas dari sekarang, seminggu ke depan Nisa udah ada gandengan."
"Mahal banget cepe-an," kata Abi, melengos, kemudian dia terdiam. Lalu mengangguk-angguk."Tapi, iya, sih. Belajar dari pengalaman lo," ucapnya.
Jeno memicing. "Bangke!" Mengumpat sembari mendorong Abi yang malah cekikikan.
Drrtttt ... drrttttt ...
Handphone di sakunya bergetar. Jeno mengambilnya. Langsung menggeser ikon hijau saat melihat siapa yang menelepon.
"Gue lagi di luar. Kenapa? Lo di kosan gue? Iya, gue balik."
"Ck," Jeno mendecak setelah mematikan telepon. Memasukkan handphonenya kembali ke dalam saku celana.
"Siapa Je?" tanya Abi.
"Joan," Jeno menyahut singkat. Membaringkan kembali tubuhnya di atas rerumputan dengan kedua tangan bertumpu sebagai bantal.
"Joan ada di kosan?" tanya Abi lagi.
"Iyak."
"Lah, kenapa lo malah tiduran lagi? Ayok, balik!"
"Bentar, anjir. Lo gak denger, sih, Bi. Suara Joan ketus banget. Ada salah lagi, nih, gue, pasti! Males gue diomelin." Jeno tetap pada posisinya, kmbali menatap awan-awan yang bergerak.
"Ah, ayok balik cepet kalo gitu. Suka gue liat lo diomelin," ajak Abi bersemangat.
Jeno melirik. "Gitu banget lu jadi temen," katanya melebarkan mata, kecewa.
Abi tersenyum menyebalkan. Mengangkat kedua ujung bibirnya tinggi-tinggi. Mengekeh seperti kakek sihir. Tapi tak lama, ujung bibirnya mendatar kembali.
Abi menatap Jeno dengan mimik serius.
"Ngomong-ngomong, Je. Bokap lo gimana?" tanyanya teringat hal itu. Dari kemarin ingin tahu tentang pertemuan Jeno dan sang ayah yang untuk pertama kalinya. Belum sempat Abi tanyakan."Gak gimana –gimana," sahut Jeno.
Abi mendengus. Kapan sih jawaban dari mulut Jeno bisa memuaskan.
"Gak guna, sih. Gue nanya ke lo." Abi berucap sebal, matanya berkeliling malas memandang kesekitar. Lama diam.
Jeno tiba-tiba berdecak. "Ya, harus gimana? Emang gak gimana-gimana. Kenal aja kagak gue sama bokap Joan."
"Bokap lo juga, Jeno!!!!" Abi meralat, menambahkan, dan mengingatkan dengan gemas.
"Ah, udahlah! Gue gak suka idup gue jadi rumit," tukas Jeno, nada suaranya jadi ketus. Satu tangannya bergerak menutupi mata. Kali ini Abi yang dibuat berdecak. Pasti ada yang mengganggu pria 23 tahun, di sampingnya itu, sampai-sampai moodnya jadi buruk.
"Lo kenapa sih, Je? Ada yang sakit?" Abi bertanya dengan nada suara sebersahabat mungkin. Kalau lagi gini bisa bahaya jika Jeno tersentil sedikit saja. Mode senggol bacot. Beberapa detik tak menyahut. Abi setia menunggu.
"Gue sadar apa yang terjadi sama gue sekarang itu akibat dari kelakuan buruk gue sebelumnya, tapi kelakuan buruk gue, itu akibat dari kelakuan buruk siapa?... dari kelakuan buruk mereka ... Anjing!!!"
Untung Jeno dan Abi meneduh di pojok taman yang sepi. Tidak ada orang di sana. Ada beberapa orang, tapi lumayan jauh dari tempat mereka, jadi aman tidak ada yang terganggu. Tidak ada yang mendengar umpatan Jeno. Ya, itulah sisi lain Jeno. Jika sakitnya menyerang terlalu menyakitkan, mulutnya akan auto nyeplos, terkadang tanpa sadar, seperti sekarang. Saat nanti sakitnya hilang, dan Jeno tersadar, dia tidak akan ingat kalimat apa yang telah dia ucapkan.
Angin berembus, memainkan anak rambut Abi yang memilih diam, memandang sekitaran taman. Jeno juga tak bersuara lagi tangan kanannya masih menyilang menutupi mata.Hingga beberapa menit kemudian Jeno kembali bersuara.
"Gue mau pulang sama Joan," katanya.
Abi mengembuskan napas panjang. Nada suara Jeno sekarang lirih, padahal tadi mengumpat penuh emosi. Memang senaik turun itu moodnya.
"Yaudah, gue telepon Joan dulu." Abi melirik Jeno sekilas sebelum menyalakan handphone. Sampai lupa sebelumnya Abi sedang chatan dengan Nisa. Ada balasan masuk yang belum terbaca, tapi Abi abaikan begitu saja. Dicarinya nomor Joan dan menekan ikon panggil. Tak butuh banyak kata, Joan langsung bilang dia jalan sekarang.
Abi melirik Jeno. "Joan langsung jalan," ucapnya memberitahu.
Jeno menyingkirkan tangan. Membuka mata. Perlahan mencoba untuk bangun. Sakit di pinggang samping belakangnya, seperti menjalar ke tulang punggung, jadi terasa ngilu tak karuan. Sigap Abi membantu Jeno bangun, pelan-pelan, menyandarkan tubuh Jeno ke badan pohon.
"Barusan aja lo gak pa-pa, Je," kata Abi menghela napas melihat Jeno yang berkali-kali tampak meringis.
"Banyak dosa kali gue, Bi," Jeno menyahut dengan nada seperti biasa lagi diiringi kekehan samar pula. Itu berarti, sakitnya sudah mulai berkurang. Jeno sudah mulai sadar.
"Iya, gue tahu dosa lo banyak, jangan sombong lo. Lo kira gue dikit," Abi menyahut.
Jeno terkekeh kemudian kembali meringis. "Sssshhhh, argh ...." Dipijat-pijat pun pinggangnya malah semakin terasa sakit, tapi tangannya terus refleks memijat-mijat pelan.
"Sakitnya kayak gimana, sih, Je?" tanya Abi penasaran. Karena jika sakit itu datang Jeno selalu tampak tersiksa.
Jeno membuka matanya yang dipejamkan. Melirik Abi, kemudian terkekeh lagi. "Lo mau ngerasain?"
"Ya, kalo bisa, sih. Gue pengen tahu apa yang lo rasain." Seringkali Abi juga merasa tersiksa, melihat Jeno meringis tanpa bisa melakukan apa pun, dan sering terpikir, mungkin akan lebih adil jika Abi juga bisa merasakan apa yang Jeno rasakan.
Jeno terkekeh untuk kesekian kali. "Jangan dah, Bi, berat biar gue aja, lo gak akan kuat."
Alis Abi terangkat. "Eh--kata-kata lo familiar, dah. Gue pernah denger, di mana, ya?" Abi menatap ke atas tampak berpikir.
"Katro," cetus Jeno pelan. "Ah, Joan di mana dah??? Sumpah, gue pengen cepet balik."
Abi menyerah dengan dokumen-dokumen memori usang di otaknya. "Bentar gue telepon lagi." Meraih handphone untuk menelepon Joan kembali. Sumpah, di luar Abi memang tampak tenang, padahal di dalam dadanya, dia tak tenang sama sekali, jantungnya berdegup kencang.
--
KAMU SEDANG MEMBACA
He's Jeanno (Selesai)
General Fiction**Jangan plagiat nyerempet copy paste** "JE-JE, JEN, JENO, ANJIR, JANGAN KENCENGAN!!" Teriakan dan suara tawa menggema di parkiran supermarket yang sepi. Hanya ada seorang pria berjas abu-abu yang hendak menyalakan mesin mobil, tapi urung saat mend...