Perlahan matanya terbuka. Mengerjap-ngerjap. Menajamkan penglihatan yang masih sedikit buram.
Kening Jeno mengernyit menyadari itu bukan kamarnya. Semakin mengernyit begitu melihat Joan yang duduk bersandar di kursi dengan tangan terlipat di dada, sedang menatapnya lurus. Jeno mengerjapkan mata lagi, kali ini lebih rapat, memastikan ini mimpi atau bukan. Tapi bau khas rumah sakit, tercium nyata di hidungnya."Kenapa?"
Jeno menoleh. Suara Joan juga terdengar nyata.
"Gue mimpi?" tanyanya polos.
Joan mendecih, kemudian memajukan badan, menyentil kening Jeno lumayan keras. Refleks Jeno mengerang. Mengusap-usap keningnya. Joan nyentil gak pake hati.
"Sakit, anjir, Jo. Lo nyentil orang sakit gak kira-kira."
"Gak mimpi, kan?" tanya Joan. Mengangkat sebelah alisnya santai, lalu menyandarkan punggungnya kembali ke sandaran kursi.
"Perasaan tadi malem gue tidur di kosan." Jeno mencoba mengingat. Benar, seingatnya semalam dia meringkuk di ranjangnya, tidur dengan hawa dingin yang menusuk.
"Iya, awalnya lo emang di kosan, tapi kata Rendy lo demam tinggi sampe kejang-kejang. Rendy langsung bawa lo ke sini. HB lo juga turun drastis. Tuh, habis sekantong."
Jeno melirik kantong darah yang tergantung di tiang infus, lalu mendesah keras. Merepotkan lagi dia.
"Guekan suruh lo jaga kesehatan, Je."
"Kok lo bisa ada di sini?" tanya Jeno, tak menghiraukan ucapan Joan. Baru teringat, pria itu kan masih ada di Bandung dan belum pulang.
"Gue langsung ke sini pas Rendy nelpon," sahut Joan.
"Lo ke sini jam berapa?"
"Jam 3."
Mata sipit Jeno melebar. Baru tersadar Joan yang biasanya tampil rapi, sekarang duduk di depannya, hanya dengan celana training panjang dan tshirt polo pendek.
"Bego sih, Jo. Ngapain lo langsung jalan dari Bandung ke sini jam 3, anjir. Bahaya tau. Kalo lo ngantuk gimana?" Jeno tak habis pikir.
"Gara-gara lo."
Mendengar sahutan datar itu. Bibir Jeno langsung mengatup. "Maaf."
cklekk ...
Joan refleks menoleh ke belakang saat mendengar suara pintu dibuka, seorang Dokter dan perawat masuk menghampiri mereka dengan senyuman hangat. Joan berdiri, mempersilahkan dokter untuk memeriksa Jeno.
"Gimana ada yang dirasa? pusing, mual?" tanya dokter. Seorang perawat sedang mengecek suhu tubuh dan tensi darah Jeno.
Jeno menggeleng. "Cuma lemes doang, Dok."
"Seperti biasa kamu pulih dengan cepat."
Dokter itu tersenyum menurunkan stetoskop dari telinganya. Jeno sudah sering collaps dan ditangani oleh dokter muda itu, anak didiknya dokter Andre, sama-sama spesialis nefrologi.
"Nanti dua jam lagi HD. Sekarang jadwal HD kamu jadi dua kali seminggu, ureum sama kreatin kamu udah gak terkendali."
Mendengarnya, Jeno mendesah.
"Gimana sih, Dok? Saya udah minum obat teratur, cuci darah teratur, check up teratur, nurutin apa kata Dokter, tapi kenapa gak membali, malah memburuk," keluhnya, lebih ke protes, sih.
Dokter yang bername tag Panji itu, tersenyum tipis seraya menyentuh bahu Jeno.
"Jangan banyak pikiran, badan kamu itu kuat, jangan sampe dilemahkan sama pikiran negatif, kamu harus selalu yakin buat sembuh."
KAMU SEDANG MEMBACA
He's Jeanno (Selesai)
General Fiction**Jangan plagiat nyerempet copy paste** "JE-JE, JEN, JENO, ANJIR, JANGAN KENCENGAN!!" Teriakan dan suara tawa menggema di parkiran supermarket yang sepi. Hanya ada seorang pria berjas abu-abu yang hendak menyalakan mesin mobil, tapi urung saat mend...