PART 19

7.1K 745 15
                                    

Jeno itu jiplakan sempurna dari Reyne. Wajah, mata, hidung, bibir, cara dia tersenyum, cara dia menatap. Semua persis ibunya. Sang ayah hanya menyumbangkan tubuh tinggi dan gerak-geriknya. Cara dia berjalan dan kebiasaan mengernyitkan kening, itu semua persis Jonathan.

-

Selama makan, Jonathan tak bisa berhenti melirik Jeno. Bibirnya terus melengkungkan senyum melihat putranya berbicara dan tertawa di hadapannya. Seperti mimpi. Jonathan sangat berterimakasih untuk ini. Ternyata Tuhan masih berbaik hati kepadanya yang jelas bukan orang baik.

"Eh, udah jam setengah tujuh ini, belom pada maghriban. Maghriban dulu, yuk. Yah, maghriban dulu di mesjid depan situ, nanti kita ke tempat lain buat makanan penutup."

Jonathan tersadar. Langsung melirik Tyana yang mengajak.

"Oh, iya, ayok. Nanti ke Lee's aja buat makanan penutupnya," ucap Jonathan.

"Iya-iya, Zara pengen macaronnya Kak Joan." Si bungsu langsung berseru penuh semangat.

"Aku sih pengen mochi kacang merah yang luarnya strawberry itu, ada gak, Kak?" Lio ikut bersuara dengan antusias.

Membuat Joan terkekeh. Tumben mereka kompak.

"Ada-ada. Semua selalu ada kok buat kalian," Joan menyahut dengan senyuman lebar. Membuat senyum kedua adiknya kompak mengembang.

"Macaron sama mochinya ntar, sekarang ayok sholat dulu, ayok," ajak Tyana.

Semuanya mengangguk. Kemudian beranjak, hendak keluar dari restoran, menuju mesjid depan untuk menunaikan ibadah sholat Maghrib yang ngaret setengah jam dari waktu adzan.

"Pada duluan aja, ayah bayar dulu." Jonathan berjalan menuju kasir dengan bill yang sudah ada di tangan.

Jeno melangkah di belakang, bersampingan dengan Joan.

"Jo," panggilnya pelan.

"Apa?" Joan menyahut, meliriknya.

Jeno menatap ke depan. Tampak Tyana yang melangkah sembari tertawa, menonton Lio yang terus mengusili Zara,
Luky pun sesekali terkekeh memisahkan mereka dengan tenang. Jeno menatap Joan kembali.

"Keluarga lo ... muslim?" tanyanya dengan nada sedikit ragu. Takut tidak sopan menanyakan perihal itu, tapi Jeno ingin memastikan.

Joan tersenyum tipis, lalu mengangguk.

"Iya. Gue juga ... mualaf," sahutnya.

Jeno mengangguk-angguk. "Mmm." Dia kembali memandang Tyana, Zara, Lio, dan Luky yang sudah berjalan jauh di depan.

"Semenjak ayah nikah sama bunda Tyana?" Jeno bertanya lagi. Maafkan kekepoannya, tapi dia ingin tahu.

Joan mengangguk. "Iya," mnyahut singkat. Kemudian Joan melirik Jeno.

"Gak apa-apa, kan?" tanyanya. Joan melirik sekilas kalung dengan bandul salib kecil yang selalu menggantung di luar baju Jeno.

Jeno mengernyit, kemudian tertawa kecil.

"Ya, emangnya kenapa? Kolot banget, anjir, kalo di jaman sekarang masih mempermasalahkan agama," sahutnya.

Joan ikut tertawa mendengar jawaban Jeno. Lalu tersenyum sembari menatapnya. Jeno yang kebetulan menoleh. Beradu dengan manik milik Joan yang sedang menatapnya dengan bibir tersenyum itu.

Sebelah alis Jeno naik. "Dih, ngapain lo natap gue sambil senyam-senyum gitu?"

Bibir Joan langsung mendatar. "Emang gak boleh gue natap lo? Bocah!" celetuk Joan sambil menjitak pelan kepala Jeno.

He's Jeanno (Selesai) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang