Sangat membosankan saat hidup hanya sebatas kosan. Jeno si workaholic yang biasanya senin sampai minggu, pagi ketemu pagi, mencari rezeki tanpa henti.
Sekarang hanya sebatas pengangguran yang kerjaannya tiduran dalam kosan, banter-banter keluar cuma buat nganter sama ngambil laundry, itu pun sebatas sebrang kosan. Duit sih ngalir, ada ATM berjalan terpercaya. Tapi, heyyy!!! IT'S NOT FUNNN ANYMORE!!!Yaaa, hidup jadinya serasa hampa. Kosong. Tidak ada yang menggairahkan. Seharian cuma itu-itu saja. Membosankan. Dan kadang memuakkan. Tambah muak karena akhir-akhir ini, tiada hari tanpa demam. Hari ini demam, besok sembuh. Eh, malamnya meriang. Bahkan dua kali cuci darah di minggu ini, harus diawali dengan transfusi karena hemoglobinnya selalu terlalu rendah. Tapi untungnya tubuh Jeno selalu bisa diajak kompromi, saat mendengar kata opname, dia pasti akan terlihat segar bugar, kata 'baikkan' yang terucap dari mulutnya seakan didukung oleh tubuhnya. Jeno selalu lolos dari ancaman tahanan rumah sakit walaupun pas sampai kosan lemas, pusing, meriang selalu kembali menyerang, ditambah susah tidur pula, yang kadang membuat Jeno menyesal sendiri, mendingan opname minta disuntik tidur seharian.
--
Seminggu ini Jeno hanya berbaring diam di ranjang. Benar-benar diam. Untuk guling-guling saja rasanya malas sekali. Demamnya sudah hilang dari hari kemarin. Tinggal sedikit lemas yang dirasa dan rasa mager yang luar biasa.
"Kapan, sih, gue sembuh?" Dan seminggu ini Jeno tidak banyak bicara. Berturut-turut yang keluar dari mulutnya hanya kalimat yang sama.
Joan yang sedang tiduran disofa melirik.
Mata Jeno fokus ke televisi. Joan hitung, sudah tujuh hari berturut-turut, setiap harinya mulut Jeno mengeluhkan pertanyaan yang sama. Dan jawaban Joan selalu ... "Entar." Jawaban simple yang untuk pertama kalinya direspon oleh si pemberi pertanyaan dengan delikan. Sudah seminggu baru direspon. Biasanya Jeno hanya akan diam, seakan pertanyaan itu sebenarnya bukan untuk Joan, sekalipun hanya ada Joan di sana."Entar mulu lo!" ucapan itu keluar dengan nada sewot. Kemarin-kemarin dia tak hiraukan jawaban Joan, karena pertanyaannya memang bukan untuk Joan.
"Ya, entar sembuh. Sabar. Kan lagi diobatin juga. Lo berusaha. Gue juga lagi perjuangin."
Joan menyahut dengan nada lebih sewot membuat Jeno akhirnya jadi bungkam.
Sadar orang di sebrangnya tidak menyahut lagi. Joan menoleh. Lupa kalau lagi sakit begini, hati Jeno kan jadi gampang tersentil.
"Lo boleh pergi. Gue gak pernah minta lo di sini."
Nah kan, siapa bilang seorang Jeno itu cowok kuat yang tak pernah drama.
Sedrama ini lho, dia tuh kalau sedang begini. Joan menghela napas panjang. Maafkan dia yang salah bicara."Lo mau apa? Gue beliin," tawarnya, bukan bermaksud menyombong. Kalimat itu sebenarnya punya makna. Joan ingin Jeno tahu, apa pun yang Jeno mau, akan dia berikan. APA PUN. Bahkan jika Jeno ingin Joan bertukar posisi dengannya, jika bisa, Joan akan dengan senang hati. Biar dia saja yang merasakan sakit. Joan ingin Jeno paham. Tak ada yang Joan punya, yang lebih berarti dari Jeno, sekarang.
Tapi untuk urusan Jeno menangkap maksud Joan atau tidak. Siapa yang tahu.
Jeno malah memalingkan wajahnya dengan ekspresi kecut."Dari awal juga gue gak butuh duit lo," ucapnya dingin dengan ekspresi wajah yang sudah tak bersahabat.
Jika diteruskan, maka suasana akan menjadi memanas. Tak akan benar. Joan berpikir sembari mengulum-ulum bibir dan melirik-lirik Jeno.
"Je, gimana kalo kita liburan? Ke mana aja yang lo mau, kalo lo baikkan," ajak Joan, dengan ekspresi wajah bersemangat.
Jeno tak melirik, tapi hatinya seketika berteriak. Terdengar menggiurkan. Katakan, ayokk!!! Tahu aja Joan, celah memenangkan hatinya. Jeno akhirnya melirik dengan tampang jual mahal.
KAMU SEDANG MEMBACA
He's Jeanno (Selesai)
General Fiction**Jangan plagiat nyerempet copy paste** "JE-JE, JEN, JENO, ANJIR, JANGAN KENCENGAN!!" Teriakan dan suara tawa menggema di parkiran supermarket yang sepi. Hanya ada seorang pria berjas abu-abu yang hendak menyalakan mesin mobil, tapi urung saat mend...