"Beneran lo pulang sekarang?"
"Heem." Jeno yang sedang duduk memainkan handphone di ranjangnya mengangguk seraya bergumam sebagai sahutan.
"Lah, bentar banget lo di sini, baru juga sehari u--"
"Heh! Lo doain gue sakit lama?? Gitu, ya, Bi, lo jadi temen. Kecewa gue!"
Tuhkan, mode sensi masih menyala-nyala.
Abi mendelik. "Nah, ini, nih. Lo masih pms, berarti lo masih sakit. Lagian, muka lo tuh masih pucet. Semalem abis muntah-muntah, kan, lo? Makan aja belom bisa, udah sok-sokan pulang."
Jadi gini, semalam Joan balik lagi ke rumah sakit bawa makanan yang dari baunya aja udah bikin ngiler, tapi saat Jeno coba makan, baru saja sampe depan mulut, sensasi mual sialan itu sudah naek sampai tenggorokan. Jeno coba paksakan, malah jadi muntah yang berkepanjangan, padahal yang dimuntahkan pun hanya cairan saja. Kejadian muntah-muntah itu sukses bikin Jeno K.O. Badannya langsung luruh lemas, ulu hatinya malah jadi sakit sampai dokter menyuntikan obat injeksi lewat infusnya, dan Jeno pun tertidur. Abi dan Joan baru bisa menghela napas lega setelah itu.
Abi pulang paginya. Dia kembali lagi siang harinya. Eh, Jeno sudah terlihat siap dengan celana jeans dan jaket biru, duduk bersandar pada tumpukkan bantal-bantal di atas ranjang, tentu sambil main handphone. Dengan wajah yang lebih segar dari semalam, tapi masih ada sedikit rona pucat dan lelah.
"Yeuu, sotoy lo! Sekarang gue udah enakan, dong. Tadi pagi gue udah bisa makan ketoprak, tapi gak suka gue, mantepan ketopraknya Bang Momo. Lo ke sini bawain, kek, Bi. Perasan tangan lo kosong mulu kalo nengok gue. Gak modal, anjir!"
"Eh, lo orang sakit jangan banyak pengen. Udah makan bubur aja. Bandel banget, dibilang makan yang lembek-lembek, yang lembek-lembek, masih aja banyak pengennya, heran gue, gak sadar badan."
Jeno melirik dengan mata memicing. Abi ngomong, gak ada baik-baiknya sama orang sakit.
"Sumpah, ya, Bi. Lama-lama gue gak akan ridhoin lo sama Nisa! Gue tau, ya, apa aja modus lo. Sama semua kata-kata manis lo ke Nisa, gue tau. Jangan macem-macem lo, Bi!"
"Eh-eh, jangan bawa-bawa Nisa, dong, Bang Jeno." Abi langsung mengembangkan senyuman yang najis itu, kalo kata Jeno. Suaranya berubah lembut. Tapi kemudian senyum Abi luntur. Dia mendecak, melirik Jeno sekilas dengan malas.
"Kenapa, sih, Je? Nisa keknya jadi budak lo banget. Dia bilang, karena lo itu abangnya. Najis! Sejak kapan lo abang-adekan ma Nisa. Perasaan pas SMA, lo berdua biasa aja, dah. Gak deket-deket banget."
Ujung bibir Jeno terangkat. Tersenyum lebar sampai matanya hilang.
"Siapa sih cewek yang gak budak ma gue?" katanya kemudian, diakhiri tawa sombong yang membuat Abi gatal sekali ingin melayangkan kaleng kopi di atas meja ke kepala orang di atas ranjang itu.
"Nggak deh, canda." Jeno menghentikan tawa, memandang Abi, "sama cewek itu, jangan kasih modus doang, Bi. Mereka tuh butuhnya telinga buat didenger, bahu buat bersandar, atau pelukan buat penenang, yaa ... tapi jangan sampe keenakan juga, tar yang ada lu beranak." Tawa Jeno kembali meledak, kali ini tampak lebih puas. Abi tak mengerti apa yang membuatnya tertawa, sungguh. Dia yang berucap, dia yang tertawa. Gila memang. Badannya kebanyakan obat. Abi geleng-geleng kepala, membiarkan saja tawa Jeno terhenti sendiri.
Eh, tapi, apa kata Jeno tadi?..."Jangan bilang, lo udah pernah peluk Nisa, ya, Je?!" Abi yang baru ngeuh dengan makna ucapan Jeno, seketika merasa tak ridho. Matanya menatap lurus dengan tajam, menunggu jawaban.
Jeno berdecak. "Ya, gaklah, goblok! Nisa bukan tipe cewek yang peluk orang sembarangan, tapi kalo masang kuping gue sering. Ya, lo coba aja dengerin dia pake hati, hibur dia kalo lagi sedih, lama-lama bakal nempel juga tuh dia sama lo."
Abi mengalihkan pandangan. Keningnya mengkerut pertanda sedang berpikir, kemudian kepalanya mengangguk-angguk. "Gue paham ... modus udah basi buat deketin cewek. Kali ini gue mau serius!" tegas Abi, "gue mau Nisa jadi cewek terakhir dalam hidup gue," tambahnya dengan nada sungguh-sungguh.
Jeno melirik malas. "Yang serius lo! Awas aja kek yang kemaren-kemaren, kalo gitu, mending gak usah lo deketin Nisa."
"Nggak, Je. Hati gue beda kalo sama Nisa." Abi menatap Jeno dalam. Kemudian dia menghela napas panjang.
"Bantuin gue, dong, Je." Bibirnya maju dengan mata menatap penuh makna.
Jeno melengos. "Bantuin apaan lagi, si? Kan udah gue bantuin lo ketemu Nisa."
Sedikit malas dia kalo mendengar kata bantu dari Abi."Temen kelas lo di SMA adain reuni, kan tar weekend? Ajak guelah, Je. Gue mau nembak Nisa di sana," kata Abi yang kemudian diakhiri dengan senyuman super manis.
Kening Jeno mengkerut. Kepalanya termundur.
"Dih, napa harus pas reuni kelas gue, dah?! Ajak aja Nisa maen berdua. Ribet amat!"
Abi menghela napas. "Itu masalahnya, Je. Nisa sibuk mulu kalo diajak maen berdua. Mau ajak lo. Lo pasti ogah. Gede juga tar pajaknya kalo ngorbanin lo jadi kambing conge."
Jeno tersenyum lebar. "Ngerti juga lo."
"Makanya ajak gue ke reuni kelas lo!" Abi seakan memaksa. "Plis, Je. Anak kelas lo kan kenal juga ma gue," katanya. Abi menatap Jeno lebih dalam dengan penuh harap, menyelipkan ekspresi miris di wajahnya.
"Tolong guelah, Je, plis ...." Abi kini menangkupkan kedua tangannya memohon.
"Ya, masalahnya gue juga gak tau ikut, gak tau kagak kan ... males gue gak minat," ucap Jeno.
"Jeeeee ...." Keluarlah panggilan dengan nada suara najis andalan Abi yang biasanya selalu sukses bikin Jeno luluh.
Luluh karena jijik. "Jenoooo ...."Mmm, Okeh. Jeno sudah merasa jijik. Daripada Abi terus merajuk begitu. Najis banget dengernya. Jeno mendengus. Tadinya tidak akan datang karenaa ... Ah, sudahlah.
"Iyeee!!!! Lo ikut ma gue," kata Jeno pada akhirnya, walaupun dengan nada kesal.
"Najis! komuk lo bikin asam lambung gue naek lagi, anjir!" Dia menambahkan dengan ekspresi jijik.Senyuman lebar Abi terpampang jelas dan itu terlihat sangat menyebalkan di mata Jeno. "Lo emang dabest lah, Je. Friend gue yang paling-paling-paling ...."
Abi menyatukan tangan kiri yang jari telunjuk dan jempolnya ditekuk menyatukan dengan jari tangan kanannya. Menghasilkan bentuk love. Kemudian menggerak-gerakan ke depan belakang seraya menatap Jeno dengan muka lacurnya.Jeno melengos. Menggulirkan bola mata.
Oke, eekend depan untuk pertama kalinya lagi kemungkinan besar dia akan bertemu dengan seseorang di masa lalu, yang kata Nisa dia akan datang. Sekuat-kuatnya Jeno, untuk urusan satu itu dia lemah. Abi memang tidak peka."Eh, ada lo, Bi."
Jeno dan Abi refleks menoleh ke arah pintu. Joan baru kembali setelah membereskan semua administrasi.
Abi dengan senyum yang masih merekah melirik Joan. "Iya, Bang. Abis dari mana, Bang?" tanyanya. Efek terlalu bahagia, padahal tadi sudah bertanya perihal keberadaan Joan pada Jeno, dan Jeno pun sudah menjawab dengan sangat jelas.
"Dari depan. Eh, kenapa, nih? Sumringah banget kayaknya, Bi?" Joan melangkah lalu duduk di sofa dekat Abi. Matanya terus menatap pemuda itu yang wajahnya terlihat berseri-seri.
Abi terkekeh mengulum senyumnya yang merekah makin lebar. "Ya, gue seneng lah, Bang. Jeno kan pulang hari ini, YEAYYY!!!" seru Abi girang. Sangat berlebihan, sampai mengangkat kedua tangannya sembari bersorak.
Jeno yang melihatnya mendecih. Hah, dusta!
-;
KAMU SEDANG MEMBACA
He's Jeanno (Selesai)
Ficción General**Jangan plagiat nyerempet copy paste** "JE-JE, JEN, JENO, ANJIR, JANGAN KENCENGAN!!" Teriakan dan suara tawa menggema di parkiran supermarket yang sepi. Hanya ada seorang pria berjas abu-abu yang hendak menyalakan mesin mobil, tapi urung saat mend...