Toktoktoktoktok ...
"JEEENOOO!! JEEENOOO!! JEE!!! OYY!!!BUKAIN PINTU!!! JE, JEEEE!!!"
Suara rusuh Abi membangunkan Jeno dari mimpi indahnya. Dengan malas dan mata yang masih setengah terpejam Jeno terpaksa beranjak untuk membukakan kunci. Diliriknya sedikit jam weker di atas nakas menunjukkan pukul 20.00. Satu jam lagi sebelum ke Sound. Setelah Jeno membukakan pintu, Abi langsung masuk sembari misuh-misuh.
"Pake dikunci segala sih, Je! Lo gak ngebolehin gue keluar-masuk kamar lo lagi???"
Jeno mendelik, ingin sekali menyumpal mulut Abi yang kadang terlalu drama itu.
"Tadikan lo keluar, Bi, ah. Ya, gue kunci lah," sahut Jeno malas. Udah ganggu tidurnya, misuh-misuh gak jelas lagi.
Abi memajukan bibir. "Nih, gue bawain mie goreng sama roti bakar. Gue beli di si abang Jalan Pattimura," katanya seraya duduk di karpet depan TV. Mengambil kotak sterofoam berisi mie goreng yang saat dibuka langsung mengeluarkan semerbak harum kenikmatan. Tapi Jeno sedang tak berselera dia kembali keposisinya tadi tidur tengkurap menutupi kepala dengan bantal.
"Je, yaelah, makan dong. Nih, gue beliin sate kesukaan lo juga."
Abi membuka kertas nasi yang berisi beberapa tusuk sate dengan bumbu kacang yang kental, kesukaan Jeno biasanya. Gak pernah bisa nolak. Tapi kali ini, dia tak bergeming sama sekali.
"Lo gak laper apa? Gue beli di abang sate langganan lo, nih. Bumbu kacangnya liat dah. Beuhh, mantep banget, Je."
Jeno sedikit bergerak menggeser bantal yang menutupi kepala. Menoleh ke arah Abi yang tengah memandangnya dengan setusuk sate yang akan dia gigit.
"Laper, kan, lo? Buruan bangun! Molor mulu."
Tapi Jeno tetap tak berniat untuk beranjak malah kembali menutupi kepala dengan bantal. Abi mengembuskan napas kasar. Tak jadi menggigit sate, menyimpannya kembali.
"Emang bener gak ada cacing ya, lo, Je. Gue bela-belain beli ini semua buat lo. Gue ngantri beli sate, roti bakar, sama mie goreng dari jam 7. Bayangin, ini baju udah bau asep. Demi apa??? Demi elo, anjirr! Kurang sayang apa coba gue sama lo," gerutunya dengan menggebu. Abi mendengus.
Jajanan di pinggir Jalan Pattimura memang terkenal sangat laris. Apalagi sate sama roti bakarnya. Bisa antri sampai satu jam jika sedang waktu ramai. Dan Jeno tahu betul di jam 7 malam itu jam-jamnya antri panjang. Jeno menghela napas. Terpaksa bangun. Sangat tahu Abi itu orangnya paling benci menunggu apalagi mengantri.
Abi tersenyum menang. Nelihat sahabatnya yang beranjak turun dari ranjang lalu duduk di hadapannya. Omelannya memang selalu berhasil. Haha."Lo pakein cabe gak?" tanya Jeno sembari menilik mie goreng yang baru saja Abi sodorkan dengan mata sipitnya yang masih belum sepenuhnya terbuka.
Abi mendecak. "Melek dulu napa! Gak gue pakein, noh. Gak ada cabe-cabeannya."
Jeno membuka mata lebar tapi selebar-lebarnya juga mata Jeno. Ya, mentok segitu, minimalis. Setelah memastikan tak ada tanda-tanda cabe. Dia mulai menyuap.
"Lo gak usah ke Soundlah, Je." Abi melirik Jeno. Dari dekat baru bisa lihat jelas wajah itu. "Muka lo pucet."
Jeno mengambil handphone di atas ranjang menilik wajahnya di layar handphone yang gelap.
"Kagak, ah," katanya sembari terus menilik wajah dengan mata membelo.
"Kalo sakit jangan ditahan-tahan," ucap Abi. Sangat tahu bagaimana Jeno jika sedang sakit.
Jeno menghela napas. Meletakkan handphone kembali. Dari tadi ngilu di pinggangnya memang tidak mau hilang, perutnya juga sakit mungkin efek telat makan.
KAMU SEDANG MEMBACA
He's Jeanno (Selesai)
General Fiction**Jangan plagiat nyerempet copy paste** "JE-JE, JEN, JENO, ANJIR, JANGAN KENCENGAN!!" Teriakan dan suara tawa menggema di parkiran supermarket yang sepi. Hanya ada seorang pria berjas abu-abu yang hendak menyalakan mesin mobil, tapi urung saat mend...