"Kata lo satu suap lagi."
"Ya, ini satu suap lagi."
"Yang tadi dong."
"Buka mulut atau gak pulang."
Jeno mendecih, mendengar ancaman itu. Mulutnya dibuka, dengan terpaksa menerima suapan bubur kacang ijo yang disodorkan Joan.
"Lo jangan nyendok lagi, dong," protes Jeno saat melihat Joan yang kembali memasukan sendok ke dalam mangkuk.
Joan mengacungkan sendoknya yang terisi penuh. "Buat gue," katanya. Melirik Jeno sembari menyuapkan bubur kacang ijo itu ke dalam mulutnya dengan santai.
Setelah selesai menyuapi Jeno. Joan meletakan mangkuk yang isinya masih tersisa setengah, walaupun tak habis, setidaknya Jeno tidak mengeluarkannya lagi. Tanpa suara. Joan menyodorkan obat yang harus Jeno minum. Jeno yang semula dalam posisi tidur dengan ranjang dinaikan, langsung menegak. Menerima obat itu tanpa protes. Memasukannya ke dalam mulut lalu meneguk air yang diberikan Joan."Good." Joan meletakan kembali gelas bekas minum Jeno. "Gitu dong," katanya.
"Ayo, balik." Jeno langsung menagih janji.
"Nanti lo cuci darah dulu."
"Lah, kan masih besok jadwalnya."
Joan mengedikan bahu. "Kata dokter gitu. Udah lo jangan ngeyel."
Jeno mendengus. Merebahkan tubuhnya dan menutup mata. Mending tidur sebentar, sebelum waktu hemodialisis yang membosankan tiba. Tak lama, Jeno dibangunkan. Dengan roh yang masih belum sepenuhnya balik, seorang perawat membawanya ke ruang hemodialisis yang tentu saja VIP semenjak ada Joan. Jeno pernah protes karena di ruang VIP walaupun lebih enak dan nyaman, tapi di sana dia hanya sendiri. Biasanya saat hemodialisis sedang berlangsung, Jeno selalu mengobrol dengan orang di sebelahnya, bertukar cerita yang membuatnya sering merasa lebih beruntung.
Sekarang jika sedang cuci darah hanya ada Joan di sebelahnya. Sepi. Jeno jadi rindu tawa bapak-bapak atau ibu-ibu, pasien hemodialisis di ruang biasa. Tapi Joan selalu menegaskan, dia melakukan semua ini karena ingin Jeno menjalani pengobatan yang terbaik dan masalah hanya sendiri. Joan selalu menegaskan, "Ada gue." yang akhirnya membuat Jeno tak pernah protes lagi.
Selang-selang sudah merekat di tangannya dan darah mulai tersedot naik memasuki mesin. Awalnya berjalan seperti biasa. Aman-aman saja. Tapi setelah berjalan beberapa lama. Jeno mulai merasa kedinginan. Dingin yang aneh. Semakin lama, hawa dinginnya makin menusuk, yang membuatnya jadi menggigil.
"Jo, d-di-ngin," Jeno mulai mengeluh. Menarik selimut sampai ke leher, tapi itu tidak membuat hawa dinginnya berkurang.
Awalnya Joan sedang anteng dengan handphone di sofa. Dia langsung bangkit begitu melihat Jeno yang menggigil. Dirabanya dahi itu. Yang semula baik-baik saja, jadi terasa hangat.
" Lo demam, Je," ucap Joan. Berusaha untuk tidak panik. Menekan tombol darurat dengan tenang.
"Di-ngin, Jo."
Joan melihat ke arah pintu. Belum juga ada dokter atau suster yang datang, sementara Jeno terus menggigil.
"Argh, bangsat!" Joan berbalik, melangkah menuju pintu dengan emosi,
Jika Jeno dengar Joan mengumpat. Dia pasti takjub.Joan kembali ke dalam ruangan, diikuti seorang suster dan dokter muda dengan stetoskop di lehernya. etelah mengecek suhu tubuh Jeno, dan segala rupanya. Dokter itu menyuntikan sesuatu ke lengan kiri Jeno. Dan menunggu beberapa lama sampai obatnya bereaksi. Joan masih berdiri dengan wajah kesal.
Tak lama Jeno tertidur. Dokter mengecek suhu tubuhnya lagi. Dn memberitahukan pada Joan, kalau hal ini memang kadang terjadi pada pasien yang sedang hemodialisis. Ada berbagai penyebab, tapi sepertinya yang terjadi pada Jeno disebabkan karena daya tahan tubuhnya yang sedang lemah.

KAMU SEDANG MEMBACA
He's Jeanno (Selesai)
Genel Kurgu**Jangan plagiat nyerempet copy paste** "JE-JE, JEN, JENO, ANJIR, JANGAN KENCENGAN!!" Teriakan dan suara tawa menggema di parkiran supermarket yang sepi. Hanya ada seorang pria berjas abu-abu yang hendak menyalakan mesin mobil, tapi urung saat mend...