Setelah selesai cuci darah dan membiarkan Jeno tertidur selama beberapa saat. Jeno diizinkan pulang. Tadinya Joan ingin membawanya ke apartement, tapi Jeno menolak. Jadinya, di sini lah mereka sekarang. Berkumpul di kosan Jeno yang tak seberapa luas itu. Kamar sederhana dengan single bad, lemari dua pintu, meja belajar kecil, televisi, sofa, dan karpet berbulu dengan motif papan catur.
Jeno duduk di kursi belajar. Menatap cek kosong yang sudah 15 menit hanya dia tatap. Joan yang duduk di tepi ranjang, abar menunggu, tidak masalah berapa pun angka yang akan ditulis Jeno di atas cek itu. Abi seperti biasa, duduk di karpet dengan stick ps di tangan, tapi gamenya sengaja dipause. Menunggu Jeno menuliskan nominal di atas kertas kosong itu. Jujur, Abi pun tak tahu berapa nominal hutang yang coba Jeno bayar. Kalau ditanya, sahabatnya selalu menyahut, 'ada lah'.
"Jo, lo beneran punya duit banyak, kan? Lo kaya biasa atau kaya banget?" tanya Jeno yang sudah kesekian kali bertanya seputaran itu.
Joan menghela napas. Lelah meyakinkan Jeno. "Gue bakal bayar berapa pun itu. Gak usah ada yang lo takutin," tegasnya lagi, tak bosan.
Abi mengangguk-angguk. "Abang lo kaya banget, Je. Santai aja," ucapnya ikut meyakinkan.
Jeno mendesah. Dia berbalik menghadap meja belajar. Terdiam sebentar lalu menulis deretan angka dengan sedikit ragu. Selesai. Jeno meneguk ludah sendiri melihat angka-angkanya. Melirik Joan sejenak yang tengah memandang dengan santai. Alisnya naik saat Jeno meliriknya.
"Udah?" tanya Joan.
Lagi, Jeno mendesah berat. "Maafin gue, Jo," katanya sembari menyerahkan cek itu kepada Joan dengan perlahan, ragu, merasa tak enak hati.
Abi melongokan kepala. Sedikit mengangkat badan untuk melihat kertas yang kini sudah ada di tangan Joan.
"satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan, semb--astagfirulllahh!!!" Untuk pertama kalinya Abi nyebut.
"Enaamm milyar sama tetek bengeknya. Jenoooo???!!!! Selama bertahun-tahun ini yang lo bayarin, apaaann????" Abi melotot memandang dengan ekspresi terperangah. Mulutnya terbuka. Sungguh kaget.
Jeno menghela napas frustasi. Kemudian dia meluruhkan badan pada sandaran kursi. "Bekicot Boyke ngasih bunganya gede banget, anjiiiirrr!!! Selama 5 tahun, gue cuma bayarin bunganya doang. Itu pun gak kebayar. Gue udah mau jual jantung aja buat bayar utang pokoknya. Ada yang nego, gak berani 7 milyar. Kan bangke! Dikira gue mati masuk surga," ceplos Jeno, tak sadar sudah membuka rahasianya.
Joan dan Abi langsung menoleh kaget. Terlebih Abi yang tambah melotot dengan mulut terbuka lebih lebar.
"Seriusan lo mau jual jantung?" tanya Abi. "Woahhhh, goblok lo, Je!"
Jeno jadi melongo. "Hah, apaan?" katanya tak ngeuh. Lalu setelah tersadar. Jeno mengerang. Menutup matanya seraya berucap pelan.
"Bego, keceplosan."
"Kok gue gak tau, sih?! Lo mau tiba-tiba mati ninggalin gue, Je. Gitu???" tanya Abi mendrama.
Jeno mendecak, sedang misuh-misuh. Kenapa juga harus keceplosan, argh!!!
"Apaan, si, Bi! Lagian, gak jadi, anjir! Itu tuh 2 tahun lalu, pas gue tahu ginjal gue sakit. Ya, gue frustasi lah waktu itu."
"Terus kalo ginjal lo sehat. Ginjal yang bakal lo jual gitu?" Abi bertanya sewot dengan dagu terangkat.
"Ya, emang iya kan. Gue udah deal, 1 ginjal 200 juta, mayan buat bayar cicilan."
Abi ternganga mendengarnya. Jeno bener-bener orang gilaaa!!! Bahkan dia berucap begitu dengan nada tenang dan santai.
KAMU SEDANG MEMBACA
He's Jeanno (Selesai)
General Fiction**Jangan plagiat nyerempet copy paste** "JE-JE, JEN, JENO, ANJIR, JANGAN KENCENGAN!!" Teriakan dan suara tawa menggema di parkiran supermarket yang sepi. Hanya ada seorang pria berjas abu-abu yang hendak menyalakan mesin mobil, tapi urung saat mend...