"Makan, biar perutnya gak sakit."
Menu makan dari rumah sakit sudah ada di depan mata. Menunya enak-enak. Joan membujuk Jeno untuk makan. Sudah dua hari tak mau makan.
"Dikit aja, yang penting makan."
Jeno keukeuh menggeleng. Tatapannya lurus memandang ke arah jendela. Bengong dengan tangan yang mencengkram perut.
"Kapan balik?" tanyanya tanpa menoleh.
Sudah lebih dari dua minggu di rumah sakit. Joan paham, Jeno bosan. Tapi, ya, melihat dari kondisinya, memang belum memungkinkan untuk pulang. Tubuhnya saja masih lemas, dan semakin terlihat kurus yang membuat prihatin.
"Makan dulu tar balik."
Jeno mendesah, beralih menatap Joan.
"Makan di rumah," ucapnya dengan nada yang membuat sesak orang yang mendengar. Jeno menahan tangis.
"Iya, besok pulang, tapi lo makan dulu sekarang."
Jeno mengembuskan napas panjang. Tangan kanannya masih mencengkram perut, dan tangan kirinya bergerak menutupi mata.
"Lo bo'ong," katanya, suaranya kini bergetar.
"Janji, tar gue minta pulang ke dokter, tapi lo harus mau makan."
Jeno menggeleng. "Perut gue sakit," keluhnya.
"Makanya jangan dulu balik, diobatin dulu di sini."
Di balik lengan yang menutup mata. Mata itu pasti sudah basah. Joan menghela napas, kalau sudah begini dia tidak tahu harus apa.
-
Untuk mengurangi sakit di perutnya, dokter memberi obat yang disuntikan lewat infus. Obat anti nyeri dan untuk lambung yang bermasalah. Kalau tak mau makan juga. Dokter bilang, terpaksa harus pasang selang NGT. Mendengar itu, Jeno langsung mau makan walaupun apa yang dia telan akhirnya keluar kembali.
-
Di sore hari, dalam tidurnya Jeno terus meringis dengan napas yang terdengar berat. Joan menyentuh lengannya. Kaget saat merasakan hawa panas. Demam Jeno mencapai hampir 39°. Napasnya berat karena HB-nya turun. Dokter menyuntikan Paracetamol dan memasang nasal kanul. Menyuntikan obat penambah hemoglobin, jika tak juga naik, baru akan diberi transfusi.
"Nih, Bang makan dulu." Abi dari kantor langsung menuju rumah sakit, membawakan makan malam untuk Joan.
"Makan dulu mumpung sotonya masih anget. Gue udah."
Abi beranjak ke toilet. ari perjalanan, ingin buah air kecil. Keluar dari toilet, melangkah menuju sofa sembari menaikan resleting celana. Kebiasaan dia. Baru menaikan resleting pas sudah keluar toilet. Kalau Jeno bangun pasti tak bosan dia mengingatkan, kebiasaan buruknya.
"Yang ini beda, ya, Bi? Dari biasa lo beli?" tanya Joan.
"Itu gue beli deket kantor. Lebih enak, kan?"
"Mm." Joan mengangguk. Mengunyah potongan daging dalam soto yang terasa lebih empuk dari biasanya.
Abi melirik Jeno yang tertidur dengan plester demam di jidat dan nasal kanul di hidung.
"Tidur juga?" kata Abi menunjuk Jeno dengan gerakan dagu.
Joan melirik si yang ditunjuk. "Dokter kasih obat, langsung tidur."
"Lambungnya gak parah, kan?"
"Asal mau makan aja, tapi bingung juga, sih. Gimana mau masuk makanan, kalau sekali telen aja langsung keluar."
Abi mengembuskan napas panjang. Menghempaskan tubuh di samping Joan.
"Pindah rumah sakit aja deh, Bang. Di sini keknya gak ada perubahan, malah tambah keliat sakit."
KAMU SEDANG MEMBACA
He's Jeanno (Selesai)
Ficción General**Jangan plagiat nyerempet copy paste** "JE-JE, JEN, JENO, ANJIR, JANGAN KENCENGAN!!" Teriakan dan suara tawa menggema di parkiran supermarket yang sepi. Hanya ada seorang pria berjas abu-abu yang hendak menyalakan mesin mobil, tapi urung saat mend...