Sepulang kerja perasaan Yora begitu gamang, tanpa arah pasti, namun ia tetap melangkahkan kakinya. Hingga terhenti di taman tempat ia melepaskan penat, seperti biasa ia duduk di ayunan sambil memainkan kakinya. Delapan belas bulan sudah Yora menahan rindunya, tak sekalipun ia dan Lexon berkomunikasi. Saat itu muncul sebuah penyesalan yang menyusup dalam celah hatinya, ‘Andai saja gak pernah ada kesepakatan waktu itu’ batinnya dengan lirih. Tuhan selalu tahu saat anaknya patah hati, dan tepat, Willem muncul di taman tempat Yora menyendiri kala itu.
“Ngapain lagi kamu di sini?”
Seutas senyum muncul ketika ia menatap Willem yang berjalan santai ke arahnya.
“Gak perlu tanya kenapa aku bisa di sini”
Untuk kedua kalinya Yora tersenyum mendengar ucapan dari Willem, lalu ia merogoh tas mengeluarkan handphone, saat lampu layar hidup tampak delapan panggilan tak terjawab dari Willem. Sudah menjadi seperti ritual bagi Yora, saat ingin sendiri ia selalu membuat handphonenya dalam mode hening dan ia akan duduk di taman seperti yang saat itu sedang ia lakukan. Willem satu-satunya yang dapat membaca kebiasaan Yora, maka kapanpun gadis itu menghilang Willem selalu tahu di mana keberadaan sahabatnya.
“Kenapa lagi Ra?” Tanya Willem sambil duduk di ayunan sebelah.
“Will, sebenernya salah gak sih aku sama Lexon buat kesepakatan kayak gini?”
“Kamu nyesel Ra? Belum terlambat, hubungi Lexon”
Yora menggeleng, “Kamu tahu aku gak suka orang gak konsisten dan aku harus konsisten sama kesepakatan yang sudah aku buat”
“Ini bukan masalah konsisten atau bukan Yora, kesepakatan yang kalian buat seolah menjadi komitmen tapi itu hanya ada di pikiran sedangkan komitmen untuk jalani hubungan kalian dari awal itu rasa dari hati, dan hati gak mudah berubah Ra, wajar kalian menyesal dengan kesepakatan itu” Willem menjelaskan, “Kalian bisa ubah kesepakatan itu Ra dan Lexon atau siapapun gak akan ada yang bilang kalau kamu gak konsisten. Jujur sama aku Ra, apa alasan kamu buat kesepakatan itu?”
Yora terdiam, pandangannya hampa.
“Kamu cuma gak mau Lexon menunggu kamu yang seolah gak pasti, kamu harap Lexon bisa pindah ke lain hati? Jangan picik Ra. Kamu yang lebih tahu seberapa besar Lexon sayang kamu Yora, jangan pakai alasan yang terbaik buat dia, justru sikap kamu buat kalian saling nyakitin Yora, gak ada yang dapat keuntungan dari kesepakatan konyol kalian berdua”
Sedikitpun Yora tak membantah perkataan Willem, matanya terasa begitu panas. Bulir bening memenuhi kelopak matanya dan siap tumpah kapan saja. Yora menarik napas panjang, menghela kemudian bersamaan dengan jatuhnya tetesan air mata yang hangat.
“Kadang aku pikir, saat aku terbayang dia apa mungkin ia masih ingat aku di sini? Mungkin cuma aku saja yang kangen sama Lexon, sedangkan dia...” Ucapan Yora terputus oleh isaknya sendiri.
Willem memperhatikan Yora yang masih terisak, ia membiarkan tangis itu pecah membelah malam.
“Apa cuma aku sendiri yang pengen banget denger suaranya, lihat senyumnya?”
“Lexon pasti juga rasain apa yang kamu rasa Ra. Kamu tahu gak Ra?” Willem sengaja menggantungkan kalimatnya sambil mengusap wajah Yora yang basah “Kamu buat diri kamu seakan gak ada arti buat orang lain, padahal yang terjadi sebaliknya. Kamu sesuatu yang berharga buat kita semua Ra, termasuk Lexon”
“Trus aku harus gimana?” Suara Yora bergetar.
“Apa kamu mau begini terus? Mau sampai kapan kalian saling tunggu?”
“Will, sudah setahun setengah aku dan Lexon gak ada komunikasi apa hatinya masih buat aku? Apa kamu yakin dia belum lupa sama aku?”
Willem mengambil posisi setengah berjongkok tepat di depan Yora, ia menggenggam tangan Yora yang dingin. “Rasa kagum akan hilang seiring waktu berlalu, tapi rasa sayang akan selalu bertahan karena adanya harapan”
Pipi Yora kembali basah, ia meletakan dahinya di salah satu bahu Willem. Dengan sayang Willem mengusap kepala Yora yang masih tertunduk di bahunya.
“Ra, kamu belum makan kan?” Tanya Willem saat Yora jauh lebih tenang “Makan dulu yuk baru aku antar kamu pulang ke kos”
Yora mengangguk kecil, dan mengekor langkah Willem. Selama perjalanan Willem tak lagi membahas tentang Lexon, ia hanya ingin membiarkan Yora dapat bernapas lagi tanpa menangis hingga napas memburu.
“Di makan dong Yora, jangan malah di acak-acak” Protes Willem saat melihat Yora hanya memainkan sendok di makanannya.
“Ra, aku mau tanya kamu sesuatu deh”
Dengan heran Yora mengangkat wajahnya, “Apa?”
“Selama ini kamu kan dekat sama Aaron, gimana perasaan kamu ke dia?”
“Aaron? Kenapa sama dia?”
“Apa kamu gak sadar Ra? Sejak ada Aaron kamu lebih sering sama dia dan aku sempat berpikir kalau kamu ada rasa sama Aaron makanya kamu gak pernah merasa kangen Lexon”
Seakan sedang mencerna kalimat Willem, Yora terdiam tanpa berkedip.
“Dari awal aku tahu kalau Aaron suka sama kamu Ra, tapi karena Lexon aku bilang sama Aaron gimana hubungan kalian berdua. Sorry Ra, aku cuma gak mau Aaron jadi orang ketiga diantara kalian, meski hubungan kalian sekarang ini gak jelas” Willem menggantungkan kalimatnya seraya menatap Yora tanpa berkedip “Tapi kalau memang Aaron bisa buat kamu seneng, mungkin Lexon akan terima kenyataan itu”
“Apa hati ini begitu mudah buat pindah?” Yora berkata lebih kepada dirinya.
“Ra, anggap saja Aaron salah satu penguji ketulusan kalian berdua, dan beberapa malam yang lalu Aaron bilang sama aku kalau dia kecewa karena kalah bersaing sama Lexon meskipun dia yang lebih sering sama kamu dari pada Lexon”
“Masa Will? Kamu lagi ngarang? Aaron gak mungkin suka sama aku”
“Kamu gak percaya? Mau aku telpon dia supaya kesini dan bilang sendiri ke kamu? Aaron keturunan orang asing, dia juga lama tinggal di luar negri Ra, jadi dia pasti lebih terbuka tentang apa yang dirasa dibanding kita yang tinggal di Indonesia lebih suka dipendem sendiri” Jawab Willem “Minat denger langsung?”
Cepat-cepat Yora menggeleng “Gak usah deh, percaya saja sama kamu Will”
Willem tak kuasa menahan tawanya, hingga ia harus memegang kedua rahang pipinya yang sakit karena tak bisa berhenti tertawa. Melihat Yora yang masih saja tampak tak percaya membuat Willem merogoh handphonenya dari dalam saku kemudian menghubungi Aaron.
“Will jangan suruh ke sini ah, aku percaya deh” Yora hendak menghentikan.
Namun suara Aaron yang menjawab telah terdengar dari speaker handphone yang diaktifkan oleh Willem sebelumnya.
“Kenapa Will?” Tanya Aaron dari seberang sana.
“Lagi di mana?” Tanya Willem sedangkan Yora mengernyitkan dahi.
“Di rumah baru pulang dari tempat temen, kenapa?”
“Hmmm gak Ron, cuma lagi kepikiran ucapan kamu waktu itu tentang Yora”
“Yang mana?” Aaron bertanya sambil mengingat “Ahhh tentang perasaan aku sama dia? Memang ada apa? Apa kamu berubah pikiran? Aku boleh bilang perasaan aku ke Yora?” Ujar Aaron bersemangat.
Willem sekilas melirik reaksi Yora yang mendengar langsung dari Aaron, tak dapat Willem menyembunyikan senyum lebarnya ketika melihat Yora terkejut lalu menutup mulut dengan kedua tangannya.
“Hmm aku belum tahu Ron, aku belum tahu pasti gimana kelanjutan hubungan mereka, mungkin kalau mereka beneran putus kamu boleh coba” Balas Willem.
“Ahhh kalimat macam apa itu? You just let me make a dream, Will”
Willem tertawa mendapat protes dari sepupunya “Take it easy, Ron”
“Don’t talk to me about it anymore. You make me annoyed”
“So sorry Ron, okay I’ll be back. Waiting for me”
“Just go away, don’t go home again” Ujar Aaron kesal.
Willem hanya tertawa mendengarkan balasan Aaron, ia tahu sepupunya selalu mengatakan apa yang ia rasakan, namun semua itu hanya sekedar omong kosong, pada akhirnya Aaron akan tetap membukan pintu kamarnya untuk Willem nanti.
“Ahh kamu kurang kerjaan, kenapa juga tanya begitu?”
“Kenapa memang? Biar kamu tuh tahu aku gak bohong”
“Yah kan aku sudah bilang kalau percaya sama omongan kamu, meski ragu”
“Tuh kan. Ahhh Yora gak asyik deh. Sekarang percaya kan? Jangan pernah remehkan diri kamu sendiri, jangan sepelekan kekuatan yang kamu miliki, Tuhan menciptakan kita selalu dengan tujuan tertentu dan karakter unik membuat kita tak akan terganti dengan siapapun, tidak pernah dan tidak akan pernah sama”
Yora menunduk sambil merekam baik-baik ucapan Willem yang begitu membuat hatinya terasa tenang. “Thanks yah Will, gak tahu deh kalau gak ada kamu”
“Astaga Yora kamu baru sadar kalau selama ini aku selalu bantu kamu?” Ujar Willem dengan gaya menyombongkan diri.
Secercah senyum mengembang di sudut bibir Yora “Apaan sih kamu. Eh gimana itu Aaron marah? Kamu sih ada-ada saja”
“Ah gak ada masalah itu, kan aku bilang orang luar lebih mudah ungkapin isi hatinya, tadi dia kesal sama aku tapi nanti aku pulang juga oke lagi”
“Masa? Dia gak tersinggung?”
“Gak lah, kalau kamu iya tersingungan kali” Goda Willem.
“Jangan mulai lagi deh” Balas Yora dengan tampang malas.
Dalam hatinya Willem berterima kasih kepada Aaron yang setidaknya telah menyadarkan Yora dari pikiran konyolnya selama ini. Berbagai karakter unik yang kamu miliki, kenangan yang pernah kamu ukir, serta setiap rasa yang kamu beri akan selalu membuat dirimu tak tergantikan, Willem membatin.
![](https://img.wattpad.com/cover/166181908-288-k52309.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
At Least
Romanceperjuangan dua hati menentukan pilihan dalam kisah cintanya. Restu yang tak kunjung Lexon dan Yora dapatkan belum lagi diperhadapkan dengan berbagai pilihan sulit. Namun Tuhan tak pernah tinggal diam, Ia selalu memberikan apa yang menjadi milikmu ji...