Time will goes by - 2

1 0 0
                                    

Kepulangan Rion kali itu membuat Yora begitu antusias, ia terlalu bersemangat hingga senyum selalu merekah di bibirnya. Jauh dalam hatinya rindu terselip diantara ego, dirinya tahu jelas rindu yang ia miliki hanya untuk Lexon namun lagi-lagi karena ego maka ia harus menutupi rasa itu. Yora duduk di tepi tempat tidurnya, saat tampak bayangan dirinya di cermin senyum ceria pada wajah Yora mulai redup, ia menyadari sikapnya seakan sedang membodohi diri sendiri.

“Gimana bisa rindu ini lenyap kalau bukan Lexon yang aku lihat” Yora berkata kepada dirinya sendiri, wajahnya tampak sedih.

Sesaat kemudian ia memaksa senyum untuk menghibur dirinya di kala gundah.

“Yora, mungkin ini salah satu cara mengurangi rasa kangen buat Lexon” Dengan langkah pasti ia berjalan berdiri tepat di depan cermin mencoba meyakinkan kembali hatinya “Anggaplah Lexon yang akan kamu temui nanti meski itu semua bohong” Yora berujar, memberi semangat untuk dirinya sendiri. Setelah merasa cukup yakin Yora keluar kamar, Willem sudah menunggunya.

“Sorry Will, lama nunggu yah”

Willem menggeleng “Gak kok, aku juga baru datang”

Baru saja mereka akan pergi, Yora teringat sesuatu.

“Eiit tunggu Will, handphone aku masih tertinggal, bentar yah”

Sebelum menunggu jawaban dari Willem, gadis itu berbalik sambil mengeluarkan kunci kamar kos nya. Dengan cepat Yora masuk seraya mencari handphonenya.

“Ra, pinjem buku yang minggu kemarin kamu beli dong” Ujar Willem yang ikut masuk ke kamar Yora “Kamu sudah selesai baca belum?”

“Oh iya, Will kamu bilang mau pinjem yah. Sorry lupa. Ada nih, aku sudah selesai kok” Yora menjawab, setelah menemukan handphonenya, ia berjongkok depan laci meja untuk mengambil bukunya.

Sambil menunggu Willem duduk di tepi tempat tidur Yora “Ada gak Ra?”

“Ada kok, aku taroh di sini. Bentar” Tangan Yora sibuk mencari-cari “Nah ketemu nih” Ujar Yora.

Yora berdiri seraya menyerahkan buku yang dimaksud oleh Willem. Cepat saja tangan Willem menerima buku yang disodorkan kepadanya. Tampak Willem memiringkan sedikit kepalanya hendak melihat sesuatu yang tergeletak di belakang tempat Yora berdiri. Merasa bingung Yora mengikuti arah pandang sahabatnya. “Kenapa Will?”

“Ra, itu surat apa? Banyak banget” Tanya Willem penasaran.

“Surat?” Yora mencari yang dimaksud Willem “Ahh surat yang di laci itu?”

Yora tersenyum kecil, membuat Willem mengangkat sebelah alisnya. Tak bertanya, Willem hanya menunggu penjelasan Yora atas pertanyaannya. Yora menyandarkan tubuhnya ke meja “Awalnya itu rahasia aku, tapi sekarang kamu sudah lihat” Yora menggantungkan kalimatnya, terlihat ia menarik napas dalam sebelum menghelanya “Semua itu surat yang aku tulis buat Lexon. Hati ini terlalu penuh memendam semuanya sendiri makanya aku tulis semua dalam surat-surat itu” Terang Yora.
Sejenak Willem menatap sahabatnya tersenyum sambil menunduk, meski tak sepenuhnya mengerti tapi Willem tahu ada rasa perih yang Yora rasakan.

“Yora, jadi selama ini?” Willem menghentikan kalimatnya seolah ia tak mampu melanjutkan ucapannya dan ia tahu Yora mengerti.

Anggukan pelan terlihat menyetujui pernyataan dari Willem yang belum sempat terucap “Sejak Lexon pergi dan aku selalu terhalang kesepakatan bodoh itu aku gak punya cara buang bayangan Lexon. Semakin aku coba gak kangen, rasa itu makin kuat dan semakin aku berusaha lupain Lexon sebaliknya hati aku selalu di penuhi semua hal yang pernah aku alami sama dia dan rasa sayang itu makin nyata” Kesekian kali Yora menghela napas panjang “Dan aku mulai nyaman saat aku bisa tulis semua yang aku rasain”

Tatapan prihatin muncul di wajah Willem, ia menatap Yora menepuk tempat di sebelahnya duduk memberi isyarat agar Yora duduk di sampingnya. Mengerti akan tanda yang diberikan, Yora melangkah lalu mengambil posisi duduk. Dengan penuh sayang Willem mengusap kepala Yora “Meski hanya rasa sakit yang ada sekarang, percayalah kamu akan dapatkan hal terbaik yang gak pernah kamu pikirkan sebelumnya”

Lengkungan kecil terbentuk pada bibir Yora, betapa ia harus ingat untuk bersyukur memiliki Willem dalam hari-harinya.

“Tuhan gak pernah tidur Ra, Dia tahu yang terbaik buat kamu”

Yora berdiri lalu mengambil sebuah kotak yang ia jadikan tempat surat-suratnya.

Willem mengerjap “Mau kamu apakan surat-surat itu?”

“Mungkin harus aku akhiri di sini, setelah dapat kabar kepulangan Rion aku berniat untuk gak lagi menulis surat dan juga setelah bertemu Rion nanti aku akan lepasin Lexon”

“Maksud kamu? Kamu serius? Kamu boleh bohong sama semua orang tapi jangan bohongi perasaan kamu, aku tahu Ra, kamu punya niat melepaskan kangen lewat pertemuan dengan Rion kan? Hal ini juga pernah kamu lakukan beberapa tahun yang lalu” Willem mencoba menjelaskan.

Yora tersenyum mengingat kala itu di mana saat ia menganggap Rion sebagai Lexon, sebuah kejutan manis ia dapatkan, Lexon hadir di depannya menjawab angannya secara nyata.

“Ini hidup kamu Yora, aku tahu kamu pasti bisa tentukan pilihan yang bijak buat hidup kamu, apa pun keputusan kamu aku dukung sepenuhnya” Willem memberi secercah harapan.

“Makasih yah Will, you’re the best brother for me”

“It’s okay sist” Balas Willem “What should I do now?”

“Boleh kamu bantu aku buang semua surat ini?” Pinta Yora seraya memberi tumpukan surat kepada Willem. Baginya Willem lebih dari sekedar teman atau sahabat, Willem adalah seorang kakak yang selalu ada ketika Yora membutuhkannya, ia juga selalu memiliki kepercayaan penuh terhadap pemuda yang kini tersenyum di depannya.
.
.
.
.
.
.
.
.
Time will goes by, yah semua waktu pasti akan berlalu. So, kalau kalian dalam masalah yang rumit tetaplah berdiri karena waktu akan membawa kesulitan segera berlalu.
Makasih masih ikutin cerita ini.. Jangan lupa bintang dan koment nya yah

At LeastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang