Willem terkejut, tubuhnya terasa kaku setelah mengetahui perasaan sahabatnya yang selama ini selalu ditutup rapat. Keceriaan, tawa, serta senyuman di wajahnya hanyalah topeng semata.
“Yora gimana bisa selama ini kamu kuat menahan ini sendirian?” Ujar Willem dengan suara parau dan lirih.
Rahangnya mengeras, matanya masih tertuju pada surat yang ia pegang. Yora menulis tanggal di setiap surat yang ditulisnya, dan Willem membaca secara acak dari surat-surat itu hingga ia mendapatkan surat terakhir.
“Aku harus lakuin apa Ra buat kamu keluar dari rasa sakit ini?” Willem dipenuhi kebingungan, entah apa yang akan ia lakukan dengan surat-surat itu. Otaknya seakan membeku tak dapat ia gunakan untuk berpikir. Ia meraih handphonenya memilih kontak Yora, menunggu sesaat sebelum dijawab.
“Halo, kenapa Will?” Tanya Yora dari seberang sana.
“Lagi apa Ra? Aku lagi suntuk, temenin ngobrol yah”
Terdengar renyah tawa Yora “Kenapa sih? Kan baru tadi kita kumpul”
“Gak tahu deh Ra, rasanya kayak sepi”
“Kok gak hubungi Lestha?”
“Lestha lagi pergi sama orangtuanya, gak enak juga harus ganggu”
“Uhh pacar yang pengertian” Goda Yora.
Mendengar tawa Yora tidak membuat Willem merasa lega, sebaliknya ia merasa hatinya perih. Baginya Yora adalah sosok seorang adik yang selalu dapat membuat Willem mendapatkan kembali tawa saat ia kehilangan mood. Tapi mengapa sepertinya ia tak dapat melakukan apa-apa ketika Yora terpuruk bahkan membiarkan gadis itu menikmati sendiri luka hatinya. Mengapa selalu ada pertemuan kalau perpisahan selalu hadir.
“Will... Willem...” Panggil Yora.
“Ahh iya, kenapa Ra?” Willem sejenak berada dalam lamunan hingga tak tahu apa yang Yora bicarakan sebelumnya.
“Kamu kenapa sih Will? Kok kayaknya lemes gitu?”
“Gak tahu Ra, cuma bawaannya suntuk”
“Hmmm baru jam tujuh nih, mau keluar cari angin?” Yora menawarkan.
“Masuk angin nanti” Willem membalas sambil memaksa tawa “Istirahat deh Ra”
“Yakin? Oke deh. Kalau masih gak hilang suntuknya, telpon aku Will”
“Siip, pastiin handphone kamu tetap aktif dan tunggu gangguan dari aku”
Yora tertawa mendengar ucapan Willem lalu mereka memutuskan telpon.
Willem kembali menatap surat yang masih tergeletak di atas tempat tidurnya.
***
“Menurut kalian mereka berdua gimana?” Tanya Rion bingung.
Luca dan Willem mengangkat bahu bersamaan. Mereka terdiam, sibuk dengan pemikiran masing-masing.
“Setelah ketemu Yora kemarin, apa yang kamu pikirkan?” Luca balik bertanya.
Rion berdeham seperti ada sesuatu yang tersangkut pada tenggorokannya “Seperti yang sudah-sudah di mata Yora aku bukan Rion tapi Lexon”
“Exactly, I think so” Luca memetikan jari “Gimana sama Lexon?”
“Aku yakin gak akan mudah buat Lexon lepasin Yora” Balas Willem “Kita sama-sama tahu gimana karakter Lexon. Semua cuma masalah ego masing-masing yang gak mau akhiri kesepakatan mereka”
“Will diantara kita semua kamu yang paling dekat sama Yora, lalu apa yang kamu tahu?” Rion bertanya.
“Seperti yang kalian pikir. Tepat. Yora memang sengaja anggap kamu sebagai Lexon dan sebelum ketemu kamu Yora bilang akan lepasin Lexon, aku pikir dia terlalu lelah”
“Rion, kamu adiknya, jadi pasti ada cerita sedikit tentang Lexon kan?”
Rion mengangguk menjawab pertanyaan Luca “Beberapa kali Lexon tanya tentang Yora, meski secara gak langsung tapi dari nada bicaranya aku tahu mereka punya rasa yang sama, cuma mungkin dia gak tahu harus apa”
“Kita harus lakukan sesuatu buat mereka, aku gak mau lihat Yora selalu saja murung” Willem tampak sedih mengingat Yora.
“I’ve an idea but I’m not sure it can works” Sergah Rion.
“Apapun itu kita harus coba masalah berhasil atau gak nomor dua, kita bisa cari rencana lain kalau memang gagal” Willem meyakinkan.
Rion melirik ke arah dua sahabatnya, lalu ia menceritakan ide yang muncul di balik kepalanya secara tiba-tiba.
Mendengarkan usulan Rion, kedua pemuda itu tampak setuju bahkan awalnya Willem tak akan terlalu banyak bicara yang ia tahu tentang perasaan Yora, ia tak ingin kehilangan kepercayaan dari Yora namun kembali ia harus mengambil resiko asalkan Yora mendapatkan kembali cahayanya yang perlahan redup.
“Surat apa?” Tanya Luca juga Rion bersamaan.
Willem menjelaskan tentang alasan Yora menuliskan surat selama ini, juga isi dari surat yang ditulis oleh Yora untuk mewakili hatinya.“Jadi surat itu ada di mana sekarang?”
“Semua surat itu lengkap masih ada sama aku”
“Untuk sementara cukup kita bertiga yang tahu masalah surat itu dan kita akan segera jalankan rencana kita” Ujar Luca.
“Termasuk pasangan kita juga gak boleh tahu?” Tanya Rion serius.
“Hanya kita bertiga, Rion” Balas Willem gemas “Kamu tahu Lica terlalu jujur, dia gak akan bisa jaga rahasia jadi tolong Rion”
Luca tertawa “Rion” Panggil Luca setelah menghentikan tawanya “Ini ide kamu, dan itu artinya kamu harus tanggung jawab penuh supaya kita dapat hasil yang terbaik, oke”
Rion hanya mengangkat bahu sambil menggaruk kepalanya yang tak terasa gatal.
![](https://img.wattpad.com/cover/166181908-288-k52309.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
At Least
Romanceperjuangan dua hati menentukan pilihan dalam kisah cintanya. Restu yang tak kunjung Lexon dan Yora dapatkan belum lagi diperhadapkan dengan berbagai pilihan sulit. Namun Tuhan tak pernah tinggal diam, Ia selalu memberikan apa yang menjadi milikmu ji...