Entah Lexi mendapatkan keberanian dari mana, kini mobil Lexi sudah tepat berada di depan rumahnya. Rumah yang dulu hangat sebelum semua masalah itu datang menghancurkan pancaran kehangatan rumah itu. Lexi kembali menghembuskan nafasnya, mencoba untuk menenangkan hatinya yang terus saja mengumpat kata-kata kebencian dalam diam.
Setelah merasa lebih tenang, kini Lexi mengambil sebuah kotak yang ingin ia serahkan kepada adiknya, Levi. Perlahan ia turun dari dalam mobilnya, melangkahkan kakinya menuju pintu rumah yang dulu ia tempati. Asing, itulah yang ia rasakan kali ini. Jika dulu ia akan masuk dengan seenaknya, sekarang ia tak akan melakukan hal itu. Dengan gerakan pelan Lexi mengetuk pintu rumah itu hingga seseorang di dalam membukakannya untuk Lexi.
"Eh Non Lexi? Ini beneran non kan? Aduh ayo masuk non" ucap Bi Dini yang tamapak senang melihat majikannya yang sudah lama ia asuh kini kembali kerumah itu.
"Iya bi, terimakasih. Apa papa ada di dalam?" tanya Lexi sekenanya.
"Ada non, mending non langsung ke kamar aja. Tuan baru saja datang tadi pukul 5 sore" ucap Bi Dini menjelaskan pada Lexi.
Lexi menggeleng "Lexi minta tolong bibi aja yang panggil" pinta Lexi.
"Yasudah non, biar bibi panggil tuan. Non tunggu di ruang tamu saja, non mau bibi buatin minum?" tanya Bi Dini.
"Enggak usah bi, Lexi ga lama kok" ucap Lexi dengan senyum simpulnya.
"Yaah, padahal bibi teh masih kangen sama non. Masa non ga mau nginep dulu?" Bi Dini memasang wajah muramnya.
"Kapan-kapan ya bi. Lexi sekarang harus cepet, soalnya Lexi masih harus kerja" jelas Lexi.
"Yaudah nok, biar bibi panggilin tuan dulu ya" ucap Bi Dini yang segera diangguki oleh Lexi.
Kakinya membawa Lexi melangkah mengitari ruangan yang penuh dengan bingkai foto keluarganya. Dimulai saat foto dirinya yang masih kecil, hingga foto dirinya saat baru saja di terima di jenjang SMP. Tapi ada dua hal yang tak pernah di pajang dalam bingkai foto yang menggantung di setiap dinding ruangan itu. Pertama, foto dirinya saat menginjak bangku SMA dan kedua foto dirinya saat bisa memberikan sebuah prestasi kepada keluarga atau sekolahnya.
Lexi tersenyum kecut sebelum akhirnya dia mendudukan tubuhnya diatas sofa di ruang tamu itu. Sudah cukup ia menangisi nasib dirinya yang tak seberuntung Levi, sudah cukup pula ia bernostalgia yang hanya akan membawanya untuk mengenang kepergian mamanya. Lexi memijat pangkal hidungnya sembari memejamkan matanya yang tampak lelah itu, hingga suara pintu terbuka yang diselingi dengan suara obrolan dua orang berbeda membuat dirinya terpaksa mengalihkan pandangannya, ditambah lagi suara itu sangat familiar dalam pendengarannya.
Betapa sesak perasaannya saat melihat kedua orang yang baru saja memasuki rumah itu. Pandangan Lexi lurus, jatuh pada dua orang yang tiba-tiba diam membeku saat melihat Lexi yang sudah berdiri diantara sofa ruang tamu keluarganya. Ekspresi datar dari Lexi semakin membuat suasana menjadi mencekam. Hingga sepersekian detik pandangan mereka bertubrukan, suara Lexi mulai mengintrupsi percakapan mereka.
"Hai. Are you happy now?" tanya Lexi dengan nada sinisnya.
"Kak—..." ucapan Levi terpotong.
"Thank loh vi, loe udah kasi tahu gue gimana rasanya sakit hati terus menerus. Loe menang vi dan gue selalu kalah" jawab lexi terkekeh dengan pandangan sinisnya. "Loe selalu menang vi! Loe selalu bisa ambil semua perhatian! Loe selalu ga pikir gimana perasaan gue vi! Loe ambil papa, loe ambil galaxi, loe ambil semuanya! Loe terlalu munafik dengan berpura-pura jadi cewek baik-baik di depan semua orang!" imbuh Lexi dengan mata yang kini berkaca-kaca, namun tiba-tiba saja ada sebuah tangan yang mencekal bahunya dan memaksanya untuk berbalik hingga sepersekian detik air mata yang sebelumnya membendung berhasil jatuh beberapa tetes.
KAMU SEDANG MEMBACA
BADXIA (END)
Fiksi RemajaBagaimana pendapat kalian jika mendengar kata badgirl?. Tentu saja kalian akan berfikir dia yang selalu melanggar dan tak pernah mengharumkan nama sekolahnya tapi malah membuat nama sekolahnya semakin tercoreng. Tapi bagaimana dengan Lexi? Gadis can...