Bagian 42. Minta Cium

37K 2.7K 209
                                    

Kedua kaki jenjangnya reflek berhenti, matanya fokus menatap ujung sepatunya sembari menarik napas dalam-dalam, berselang beberapa menit ia menoleh kesamping kanan melihat pantulan dirinya dicermin tembok ruang tamu. Ia menatap dirinya disana dengan seksama. Ada keresahan disana yang begitu jelas setelah pertemuannya dengan Shafa dua hari ini.

"Kamu udah gak takut, harusnya kamu gak seresah ini." Gumamnya untuk memberi dirinya semangat, kehidupannya akan baik-baik saja seperti sebelumnya, dan meski Shafa muncul Arum akan tetap baik-baik saja.

Arum tersenyum semangat lalu kembali berjalan menyapa mama, papa dan oma angkatnya yang masih tetap sama, tak ada yang berubah kecuali keketusannya berkurang. Arum harap kedepannya akan lebih baik dari sekarang. Arum kembali melangkah menaiki deretan anak tangga hingga ia berhenti melangkah melihat siapa yang berdiri didepannya.

Arum kembali meneguk salivanya, jantungnya kembali berdegub kencang dan rasa gugup langsung melanda dirinya melihat kakaknya itu menuruni anak tangga dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam sakunya. "Diantar sama siapa?"

"Ka-kak Vido"

"Oh, kamu ganti baju terus istirahat, kamu pasti capek jalan seharian sama Vido" Arum melebarkan mata mendengarnya? Apa maksudnya?

"Aku gak jal--" Elang langsung berjalan menuruni tangga, Arum berbalik melihat kakaknya yang sudah sampai di lantai bawah meninggalkan dirinya ditengah tangga "aku gak jalan sama kak Vido kok" ucap Arum lesuh, Vido cuma mengantarnya, apa itu disebut jalan?

Saat jalan bersama sahabatnya mereka bertemu dengan Vido bersama 2 orang temannya mencari buku. Vido memintanya untuk bersedia ia antar, karena tak enak hati Arum mengiyakan, terakhir kali mereka bertemu mereka tidak banyak mengobrol seperti biasanya. Arum berbalik menaiki tangga hingga tak sadar jika dibalik dinding dekat tangga seseorang memperhatikan gerak-geriknya.

Melihat Arum sampai di lantai atas, ia berlari menaiki tangga, menempel pada dinding dan kepalanya muncul dibalik dinding dekat kamar Arum. Ia menghela napas panjang melihat Arum memasuki kamarnya. Orang itu membalikkan tubuhnya dan bersandar pada dinding.

Karena ponselnya berdering ia langsung meraihnya disaku celana, tanpa membabi buta ia langsung menyembur orang diseberang sana dengan sumpah serapah.
"Aku udah lakuin instruksimu tapi mana? Mana bujang?! Arumku malah tak acuh padaku, kamu bilang kalau aku cuek Arum bakal nanya tapi faktanya gak!" Orang disebarang sana langsung menjauhkan ponselnya tak ingin mendengar kemurkaan Elang karena usulannya.

"Aku gak bilang kamu harus cuek burung! Aku kan bilang kalau jadi cowok punya harga diri napa, suka sih suka tapi jangan kentara juga dong!"

"Persetan dengan harga diri!" Elang berjalan ingin meraih handle pintu kamar Arum namun tangannya langsung berhenti.

"Katanya kamu mau Arum suka sama kamu?"

"Aku gak suka bicara dua kali"
Marcel terkekeh dari seberang. Elang memejamkan matanya mendengar usulan Marcel, setelah selesai Elang langsung mematikan sambungannya.
"Kamu bilang gitu karena bukan kamu yang rasain, monyet" umpatnya menempelkan keningnya di pintu kamar Arum dan meremas ponselnya. Saat ia menunggu Arum di balkon depan, ia melihat Vido mengantarnya. Elang ingin marah tapi ia harus menahannya.

"Vido brengsek! Marcel sialan, awas ka--"  mampus, Elang ingin beranjak saat handle pintu kamar didepannya bergerak, baru saja ia ingin pergi pintu sudah terbuka, Arum keluar dengan pakaian santai serta rambut yang sudah digerai. Elang meneguk salivanya, apa-apaan ini?

"Ka-kakak kenapa disini?" Tanya Arum kembali gugup melihat Elang berdiri di depannya dengan jarak dekat.

"Kakak mau bilang kalau tadi kakak beli coklat untukmu, kamu bisa minta sama bi Widya" Elang langsung berbalik setelah mengatakan itu. Untung saja ia sudah membelinya jadi Elang bisa punya alasan setelah terciduk. Arum masih menatap punggung lebar Elang dengan tatapan bingung.

Sister Complex Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang