💠13

1.6K 81 0
                                    

Hari ini adalah hari keberangkatan mereka menuju puncak, terlihat Arleta dan para sahabatnya tengah sibuk mengepak atau packing barang yang akan mereka bawa. Tujuan mereka adalah puncak dengan perkebunan teh dan juga pedesaan.

"Ta mbok Ani ngijinin lo?" Tanya Salsa duduk di samping Arleta.

"Iya." Salsa mengangguk pelan dan terus menatap ke depan dimana Candra dan Nania yang tengah memasukkan tas dan perlengkapan lainnya di bagasi mobil.

"Apa nggak berlebihan bawaan kita?" Tanya Arleta menatap bagasi mobil yang sudah penuh bahkan masih ada dua tas yang Candra pegang.

"Kita mah nggak berlebihan tapi Nania nya doang. Noh tas yang Candra pegang kan punya nya dia terus masih ada di bagasi mobil." Arleta terkekeh mendengarnya. Yup Nania membawa tiga tas yang isinya membuat mereka geleng-geleng kepala.

"Emang dia kira ada waktu gitu buat catokan di sana?" Ya Nania memang membawa satu catokan dan beberapa alat lainnya. Memang Nania adalah seorang yang tak pernah lepas dari alat-alat itu.

"Gua yakin nanti dia bakal stres di sana." Arleta mengangguk. Ya ia juga yakin nanti.

"Oh iya Ta, nyokap sama bokap lo dah ngijinin?"

"Gua nggak minta izin sama mereka. Gua minta izin pun nggak ngaruh kok." Jawab Arleta menyandarkan punggungnya di kursi.

"Woii.. ayok berangkat." Arleta dan Salsa bangkit dari duduknya dan berjalan menuju Nania dan Candra yang berada di samping mobil.

"Gua belakang sama Nania ya Ta, lo depan sama Candra." Arleta mengangguk dan mereka memasuki mobil

***

"Ndra gua laper mampir dulu yuk di kedai." Candra mengangguk dan menepikan mobil saat melihat kedai-kedai yang berjejeran di jalan.

"Lo mau makan apa Na?" Tanya Salsa menatap Nania yang melihat jajaran makanan.

"Nasi uduk aja deh." Mereka ber-empat duduk di salah satu bangku yang ada di sana menunggu pesanan mereka datang.

"Kira-kira masih jauh Ndra?" Tanya Arleta meraih pesanan yang di bawakan oleh penjual.

"Nggak kok sekitar setengah jam an lagi." Nania tersedak mendengar nya.

"Itu lama woii!" Ucap Nania setelah meminum teh hangatnya.

"Nggak kerasa kok."

Setelah mereka selesai makan, mereka melanjutkan perjalanan menuju puncak.

Arleta tersenyum melihat pemandangan asri di depannya. Segar dan sejuk.

"Segar ya Ta" Arleta menoleh dan mendapatkan Candra yang juga menatap ke depan.

"Hmm.." Mereka terdiam cukup lama menikmati keindahan alam di sekitarnya.

"Ta?" Arleta menoleh menatap Candra yang masih setia menatap hamparan hijau di depan mereka.

"Kalau waktu bisa di ulang, lo pengen berada di waktu kapan?" Arleta mengernyit mendengar perkataan itu.  Arleta merasa tak asing dan juga asing  dengan kata-kata itu.

Arleta memejamkan mata pelan mengingat-ingat dan yup perkataan itu adalah perkataan yang pernah mama nya ajukan untuk dirinya waktu masih sekolah di sekolah dasar.

"Gua ingin berada pada saat kasih sayang kedua orang tua gua masih gua rasain." Lirihnya tersenyum kembali menatap kedepannya.

Candra diam mendengarnya, entah mengapa ia kembali mengingat percakapan kedua orang tua Arleta saat itu.

"Kalau Lo Ndra?"

"Gua mau kembali di masa gua nggak tau kenyataan yang sangat menyakitkan." Arleta kembali mengernyit. Entah perasaannya saja atau memang Candra yang berbeda setelah mereka menginap di rumahnya. Semenjak kejadian itu Candra berubah, lebih membingungkan dan lebih memperhatikannya. Entahlah.

"Dulu gua berfikir kejadian itu hanya terjadi di novel atau dongeng dan juga film doang, ternyata di dunia ini masih ada kejadian seperti itu. Menyayat hati, dan sekarang gua mengerti mengapa banyak manusia di dunia ini mengatakan kehidupan itu penuh dengan candaan dan akting yang menyakitkan." Lanjut Candra menatap kosong ke depan.

"Lo kenapa Ndra? Maksud perkataan Lo apa? Lo membingungkan sumpah." Ucap Arleta menatap Candra yang sudah menatap wajah Arleta.

"Dunia ini kejam Ta, gua harap lo nggak terlalu berharap lebih mendapatkan apa yang ingin lo raih selama ini atau kenyataan pahit yang akan lo dapat."

Setelah mengucapkan kata-kata yang membuat Arleta tertohok, Candra berdiri dan meninggalkan Arleta menuju villa.

Arleta menatap punggung Candra dengan sendu. Ia tak mengerti apa yang dikatakan sahabatnya itu tapi entah mengapa perkataan Candra tadi membuat hatinya sakit.

TBC💠

©peniYanty_As

Ketika Hati Memilih (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang