💠38

1.4K 71 0
                                    

Arleta memejamkan matanya merasakan angin sepoi-sepoi menerpa dirinya. Hari Sabtu ini ia berada di bawah pohon rindang yang berada di sungai favorit nya dan favorit ibu nya dulu.

Ia terdiam merasakan sejuknya udara soreh hari.

Arleta tersenyum sembari membuka matanya dan menatap betapa jernih nya air yang mengalir di sungai ini. Indah..

"Arleta!" Arleta menoleh ke belakang dan mendapatkan kak Rara dan Marianne berjalan ke arahnya. Ahhh.. ia hampir melupakan mereka berdua, tadi Arleta memang datang di sungai ini bersama kak Rara dan Marianne.

"Duduk kak, Ann." Mereka berdua duduk di batu pinggir sungai.

"Cantik ya Ta sungainya." Arleta menganggukkan kepalanya. Ya, sungai ini cantik. Sangat malah.

"Kak Rara asli mana?" Arleta menatap kak Rara yang berada di samping Marianne.

"Kakak asli Jakarta" Kening Arleta mengernyit mendengarnya. Kak Rara asli Jakarta? Terus kenapa bisa ada di sini? Bukankah di Jakarta banyak sekolah-sekolah yang bisa di tempati dia bekerja.

"Terus kenapa kakak bisa ngajar di sini? Jakarta dan desa ini kan sangat jauh kak."

"Kakak kerja bukan untuk cari uang dan pengalaman Ta. Di kota sebenarnya banyak lowongan kerja untuk kakak yang sarjana, tapi yang kakak cari adalah kerja sambil mengumpulkan pahala dan ilmu." Balas kak Rara menatap gemercik air di sungai.

Arleta menatap kak Rara dengan dalam, kak Rara ini masih mudah bahkan rupa kak Rara sangat cantik di pandang walau ia belum pernah melihat kak Rara menggunakan make up.

"Kakak sudah berapa lama di sini? Maksud Arleta, kakak mengabdi di pondok ini sudah berapa lama?"

"Kakak dulu mondok di sini Ta, mungkin sudah enam tahun."

"Oh iya, di pondok Ikhwan bakal ada anak pondok baru ya kak?" Arleta mengalihkan pandangannya kearah Marianne yang mulai bersuara.

Kak Rara mengangguk pelan.

"Iya."

"Kak ngomong-ngomong tentang Ikhwan. Kenapa kakak belum menikah? Bukannya sudah ada beberapa Ikhwan yang datang di pondok untuk melamar kak Rara?" Sontak kak Rara menoleh kearah Arleta yang juga menatapnya.

"Mereka juga mapan dan wajah mereka juga bisa bersanding dengan kakak yang cantik." Lanjutnya membuat kerutan di dahi kak Rara muncul. Kak Rara menggelengkan kepalanya.

"Kakak mencari pendamping bukan yang bisa di sandingkan mapan dan wajahnya dengan kakak. Tapi, kakak mencari yang bisa membimbing kakak, yang bisa menjadi contoh bagi anak-anak kakak kelak, yang bisa mengajarkan tutur kata baik untuk anak kakak, dan yang bisa menyempurnakan sebagian agama kakak." Kak Rara dia sejenak  sebelum ia melanjutkan kata-katanya.

"Karena jika rupa yang membuat kita jatuh cinta, lalu bagaimana bisa kita mencintai Allah yang tidak bisa kita lihat rupa dan dzat by?" Arleta diam. Kak Rara sungguh sosok yang luar biasa di matanya. Di mana banyaknya perempuan di dunia ini berbondong-bondong untuk mendapatkan pria yang mapan dan wajah yang rupawan, maka kak Rara akan mundur dari hal itu.

"Lelaki yang sederhana dan wajah yang tidak tampan tapi jika agama dan akhlaknya baik maka itulah lelaki yang luar biasa. Ia mengalahkan billioner yang ada di dunia. Karena harta yang paling berharga adalah agama dan akhlak. Jika agama kita minus maka untuk apa kita mempunyai uang banyak? Untuk apa kita mapan jika aqidah kita tidak ada?"

©©©

Hari semakin larut membuat Arleta, Marianne dan kak Rara berjalan pulang. Hari ini kak Rara akan menginap di rumah Arleta bersama Marianne.

Dalam perjalanan mereka tak henti-henti nya bercanda gurau atau sekedar bercerita ria. Kak Rara menatap Arleta yang tengah tersenyum melihat sosok ibu dan bayi dalam gendongannya yang berada tak jauh dari mereka. Walau bibir itu menyunggingkan senyuman, namun kak Rara bisa melihat guratan kesedihan dan air yang mengembang di pelupuk matanya.

Gadis ini selalu tersenyum dikala bersama teman-temannya, namun begitu rapuh dan sangat tertekan. Andai, ia sudah bertemu dengan gadis ini, sudah jauh hari ia akan menemani nya dan menenangkan hati yang penuh luka itu.

Arleta mengerjabkan matanya agar cairan itu tak merembes keluar. Ia tak mau kak Rara dan Marianne melihatnya sedih.

"Kakak sama Marianne masuk yuk." Arleta mempersilahkan keduanya masuk rumah saat mereka sudah berada di depan pintunya.

Saat kak Rara dan Marianne memasuki rumah, ia menoleh kembali kearah objek yang tadi ia lihat dengan senyum kecil.

Ibu pasti menimang ku seperti itu dulu

Bersambung...

Ketika Hati Memilih (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang