Setelah ia mendapat nasihat dari kak Rara, Arleta segerah mengganti pakaiannya dan menyusul kak Rara dan Marianne yang pamit duluan menuju taman belakang. Ternyata tadi Marianne dan kak Rara tengah menjalankan diskusi yang memang sering mereka lakukan di pagi hari.
Arleta mematut dirinya di cermin sebelum ia meraih kaos kaki yang ada di laci dan memakainya, setelah itu ia berlari menuju taman belakang.
"Kak, Ann." Kak Rara dan Marianne tersenyum kemudian melambaikan tangannya meminta Arleta untuk duduk bersama di tikar sedang yang digelar di rumput.
"Duduk Ta." Arleta mengangguk dan duduk di samping Marianne.
Kak Rara kembali menatap Marianne yang tadi ingin bertnya.
"Ada lagi Ann?"
"Emm.. gini kak, masalah marah. Aku pernah marah bahkan sering namun, yang paling nggak bisa aku tahan itu semalam di saat Nanda teman kamar aku yang entah dia sengaja atau tidak merobek buku yang Ummu Syifah berikan. Dan hal itu sontak membuat aku marah dan membentak dia. Tadi sudah minta maaf kak tapi sepertinya dia masih nggak bisa maafin aku."
"Sebenarnya jika ada kejadian seperti itu, jangan langsung menghakimi Ann. Tanya dulu baik-baik dan jika kamu nggak bisa nahan lebih baik kamu ambil wudhu untuk meredam amarah kamu." Ucap kak Rara menatap Marianne yang tengah menunduk.
"Aku nyesel kak, tapi jika aku ingat kejadian semalam membuat aku ingin teriak di depannya, memaki-maki ya. Buku itu adalah buku yang paling aku suka dan sudah di robek sama dia." Marianne berucap dengan lirih, sedangkan Arleta hanya bisa diam. Tak mengerti apa yang terjadi.
"Marah memang ada di setiap manusia bahkan Rasulullah saja pernah marah namun kata imam Syafi'i 'Marahnya orang mulia bisa di lihat dari sikapnya, dan marahnya orang bodoh terlihat dari ucapan lisannya'. Kamu mengerti kan maksud dari kata itu? Jangan sampai hanya dengan amarah membuat kita menjadi sosok yang bodoh. Kamu sudah mengemban pendidikan di pondok sudah dua tahun dek, kakak yakin kamu bisa mengendalikan marah mu. Kakak tahu mengendalikan marah itu sulit apalagi jika kita baru belajar dan kakak juga pernah mengalami nya. Tapi seseorang yang mampu meredam amarahnya itu adalah seseorang yang hebat." Ucap kak Rara lembut.
Arleta menatap kak Rara dengan bingung. Ia saat ini masih mencerna perkataan kak Rara tadi.
"Kak?" Kak Rara menoleh menatap Arleta yang menatapnya.
"Kenapa Arleta?."
"Tadi tentang wudhu. Maksudnya apa ya kak? Bukannya wudhu itu untuk shalat terus kenapa kakak menyuruh Ann wudhu jika dia marah?"
"Karena wudhu salah satu cara meredam amarah." Arleta semakin bingung. Bukan jawaban ini yang ia nantikan.
Kak Rara yang menangkap isi kepala Arleta menghela nafas dan kembali berucap.
"Rasulullah pernah bersabda 'apabila seseorang di antara kamu marah, maka hendaklah dia berwudhu dengan air karena marah adalah bara api (HR. Abu Daud)'. Nah sudah jelas kan jika api di balas dengan api maka akan seperti ini, namun jika di balas dengan air maka insyaa Allah marah itu akan padam. Itulah alasan kenapa kakak menyuruh Ann untuk wudhu." Arleta diam. Sungguh ia tak menyangka akan hal ini, ia kira wudhu hanya di gunakan ketika ingin shalat ternyata untuk meredam amarah pun bisa. Arleta tersenyum kecut menyadari dirinya yang tak ada apa-apanya dibandingkan dengan anak pondok di sini. Ia merasa malu.
"Udah jam sembilan, masih kalian masih ingin bertanya? Soalnya kakak mau ke ruangan musyrifah dulu."
"Kak Musyrifah itu apa?" Terkekeh geli kak Rara mengucap kepala Arleta yang terbalut dengan Khimar.
"Guru Arleta."
©©©
Hari mulai soreh, Arleta dan teman kelasnya saat ini berada di Mushola untuk menantikan adzan berkumandang. Di Musholah ini berada di antara pondok Ikhwan dan akhwat. Walau mereka shalat berjamaah dalam satu Musholah namun, mereka tak berkesempatan untuk berbicara atau sekedar melihat satu sama lain di karenakan jalan masuk untuk akhwat di sebelah kiri, sedangkan untuk Ikhwan berada di sebelah kanan dan jangan lupakan kain yang membentengi Ikhwan dan akhwat di dalam musholah membuat mereka sama sekali tak bisa tertawa bersama atau sekedar berbicara. Kedua pondok ini hanya bisa bertemu jika mereka berada di luar pondok itupun mereka senantiasa berjaga jarak dan menjaga pandangan.
"Ta, entar malem setelah isya ada pengajian di sini. Nanti kamu tunggu aku ya kita bareng-bareng." Arleta mengangguk mengiyakan perkataan gadis di sebelahnya sebelum ia mendongak dan mengeluarkan suara.
"Pengajian? Untuk apa?"
"Bukan untuk apa-apa sih Ta, kita cuman kumpul di musholah saja setiap malam Jum'at untuk baca surah Al-Kahf doang. Nggak wajib kok karena ini cuman anak-anak pondok aja yang adain. Kalau yang lain mau di kamar aja bacanya juga nggak apa-apa."
Arleta hanya mengangguk pelan.
Bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Hati Memilih (Selesai)
Teen Fiction(Follow author sebelum membaca!!) Arleta adalah seorang gadis yatim piatu, dia di asuh oleh sahabat orang tuanya yang sama sekali ia tak tau jika mereka bukan orang tuanya. Arleta mempunyai trauma akan kematian sahabatnya yang telah menyelamatkan di...