💠33

1.4K 73 0
                                    

Pukul 4 pagi Arleta, Pingki dan Alya sudah terjaga. Mereka bertiga saat ini tengah duduk di kasur milik Arleta dan bercerita ringan.

Arleta lah yang banyak bertanya sedangkan ke dua gadis sekamar Arleta yang memang sudah lumayan mengerti menimpali.

"Menurut kalian, gimana?" Tanya Arleta menatap kedua gadis itu.

"Sebenarnya sih itu mubah Ta, tapi untuk apa coba di nonton lebih baik nontonnya ceramah atau film yang bisa menginspirasi dan bisa diambil contoh." Ujar Alya. Pingki mengangguk mengiyakan perkataan Arleta.

"Mubah itu apa?"

"Mubah itu boleh, dilakukan nggak dapat pahala maupun dosa dan apabila di lakukan sama saja. Nggak dapat pahala sama ngga dosa. Tapi bisa juga jatuhnya haram jika, contoh nih, kita main hp nah kan main hp hukumnya mubah tapi karena kebablasan dan lupa melakukan shalat fardhu maka kita dapat dosa." Arleta mengangguk-anggukan kepalanya mengerti. Di bandingkan dengan mereka, ternyata Arleta jauh di bawah mereka.

"Oh iya, kan semalam nggak sengaja lihat Ummu Syifah negur anak yang ada di kamar sebelah padahal kan dia hanya main hp doang, se-gitunya kah peraturan di pondok ini?" Arleta kembali mengingat kejadian semalam. Dimana ia tak sengaja melihat seorang gadis yang tengah memainkan hp tengah di tergur oleh Ummu Syifah saat ia, Marianne, Pingki, dan Alya tengah berjalan menuju Mushola untuk melakukan shalat berjamaah.

"Nggak ada larangan buat main hp di sini Ta, lagian nggak ada jaringannya jadi anak pondok nggak akan macem-macem dan semua hp milik murid di sini sudah di periksa dan aman. Tapi yang kita lihat semalam itu memang gadis itu yang salah, dia tengah asik memainkan hp di saat adzan berkumandang." Jelas Pingki membuat kerutan di kening Arleta bertambah.

"Harus gitu ya?."

"Sunnah menjawab adzan Ta. Dan sebenarnya nggak boleh  sibuk dengan urusan dunia jika adzan berkumandang. Namun jaman sekarang sudah banyak orang yang mengabaikan adzan. Jangankan mau di jawab mendengarnya saja mereka abaikan." Arleta bisa melihat guratan kesedihan dari mimik muka Alya. Arleta akui jika perkataan Alya memang ada benarnya. Dulu ia mengalaminya dan orang-orang di sekitarnya sangat banyak yang mengabaikan adzan bahkan dirinya pun juga.

©©©

Pagi harinya Arleta berjalan sendiri menuju kamar Marianne, walau ia sudah mulai dekat dengan anak pondok lainnya namun hanya Marianne lah yang lebih nyaman untuk dirinya berbagi.

Kamar Marianne berada di belakang kamarnya.

"Marianne nya ada?" Tanya Arleta saat melihat seseorang keluar dari kamar itu.

"Oh, Marianne ada di teman belakang mbak. Lagi bicara sama kak Rara." Arleta mengangguk dan berjalan menuju taman belakang setelah ia mengucapkan terima kasih.

"Ann!" Marianne dan kak Rara menoleh melihat Arleta yang berjalan kearahnya. Nampak, kak Rara dan Marianne mengerutkan kening melihat penampilan Arleta. Ia menggunakan celana treaning longgar dan baju kaos berlengan panjang dengan Khimar langsung.

"Ta?" Arleta mengangkat alisnya mendapat tatapan aneh dari Marianne dan kak Rara.

"Kenapa kak?" Kak Rara tersenyum kecil dan berjalan menuju Arleta kemudian menuntun Arleta menuju kamar gadis itu. Walau merasa bingung, Arleta tetap saja ia mengikuti langkah kak Rara dan Marianne ikut di belakang.

Setelah mereka sampai, kak Rara menatap kembali Arleta.

"Kenapa kak?" Tanya Arleta bingung.

"Kenapa nggak pake jilbab ke taman belakang?" Arleta mengerutkan keningnya bingung mendengar pertanyaan balik kak Rara.

"Kan nggak keluar pondok kak, dan semuanya juga mahramnya kita. Perempuan semua kak." Jelasnya menatap penampilannya ini.

"Di pondok sini memang muhrimnya kita, tapi pembatas antara pondok Ikhwan di sana itu hanya menggunakan pager kayu dek. Dan di luar taman belakang itu adalah jalan warga di sini dan jika mereka melewati jalan itu otomatis para akhwat yang tengah berada di taman belakang akan di lihat mereka dan juga pondok Ikhwan yang berada di sebelah bisa melihat kita. Makanya kakak tadi langsung bawa kamu ke sini, walau di sini kawasan para akhwat namun di saat berada di luar kita tetap di wajibkan menutup aurat secara sempurna nggak  ada potongan dek." Arleta meringis pelan mendengar perkataan kak Rara. Ia tidak tahu jika peraturannya begitu.

"Peraturan di pondok ini ketat juga ya kak." Gumamnya membuat kak Rara menggeleng pelan.

"Bukan peraturan pondok dek tapi peraturan dari Allah, kita di sini cuman menerapkan dan merusaha mengikuti apapun itu."

Bersambung...

Ketika Hati Memilih (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang