💠32

1.4K 74 0
                                    

Ketika pemikiran yang sudah di buka. maka, sesulit apapun itu pasti akan mampu untuk kita lalui

-PeniYanty-

Arleta mendongak menatap langit yang biru di depan jendela. Terlihat jelas beberapa burung-burung kecil yang tengah berterbangan di sana. Gadis itu sesekali menghela nafas mengingat semuanya, apa yang ia tengah jalani.

Arleta menyadari jika langkah yang ia ambil ini bukanlah langkah yang mudah, namun jika ia bersungguh-sungguh maka ia yakin jika semuanya akan bisa ia lewati dan jalani.

"Ngapain Ta?" Arleta menoleh ke samping dan menemukan kak Rara yang tengah membawa beberapa buku di tangannya.

"Lihat-lihat aja kak." Kak Rara mampak menyunggingkan senyuman dan melangkah mendekati Arleta.

"Gimana Ta?"

"Apanya?" Tanya Arleta balik tak mengetahui maksud dari pertanyaan ka Rara.

"Persaanmu saat ini? Lega atau gelisah?" Arleta menatap kak Rara dalam. Jujur ia merasa legah namun di sisi lain dia juga merasa agak gelisah.

"Sepertinya Kaka sudah mendapat jawabannya." Gumam kak Rara melihat Arleta yang diam. Kak Rara menghela nafas pelan dan mengusap pundak Arleta.

"Memang semua orang pasti akan merasa gelisah dan khawatir jika mereka ingin meninggalkan kehidupan mereka yang lalu. Entah itu rasa yang tak rela meninggalkan kehidupan mereka yang menyenangkan, entah itu rasa takut menghadapi kehidupan baru mereka. Tapi memang wajar karena mereka tak pernah tau dan tak pernah menjalani kehidupan mereka yang akan mereka jalani, namun ketika pemikiran yang sudah dibuka. Maka, sesulit apapun itu pasti akan mampu kita lalui. Selama keseriusan itu kita genggam." Kak Rara yang melihat ekspresi Arleta tersenyum kecil.

"Kesulitan yang kakak maksud itu tak sesulit yang kamu bayangkan Arleta." Lanjutnya dan kembali menaruh buku yang di genggamnya di meja yang berada dekat kasur.

"Kakak ke luar ya Ta, bukunya kakak taro di meja sini. Assalamu'alaykum."

Arleta diam menatap kepergian kak Rara.

Arleta, ia menatap sekelilingnya. Ia ternyata beda kelas dengan Marianne, ia kira Marianne dan dirinya akan disatukan dalam satu kelas namun ternyata ia dan Marianne beda kelas. Tentu saja, Marianne sudah lama mengenyam pendidikan di sini sudah lama dan dirinya baru saja ingin memulai.

Arleta tidak sendiri didalam kamar ini, namun ia bersama dua orang lagi yang tadi minta izin untuk keluar.

Arleta berjalan kearah kasurnya yang bersentuhan langsung dengan dinding kayu yang sudah di renovasi oleh murid yang pernah tinggal di kamar ini.

©©©

"Ketika anak perempuan sudah beranjak dewasa, mereka akan di perlihatkan pilihan yang membuat banyak di antara mereka bimbang dan ada juga yang mantap memilih. Kehidupan. Ya, semua orang akan dihadapkan dengan kehidupan yang akan mereka pilih. Mau dengan kehidupan yang bebas atau kehidupan yang serba di atur oleh aturan yang pasti dan tak bisa di ganggu."

Arleta diam mendengar perkataan kak Rara di depan. Saat ini kelasnya tengah berada di samping kamar nya. Mereka duduk lesehan di sana dengan tikar sebagai alas. Di depan tampak kak Rara yang tengah berbicara.

"Peraturan itu ya ini yang kita jalani, dari bangun tidur sampai kita tidur kembali itu ada aturannya dan adab nya."

"Contohnya simple nya adalah pergaulan antara perempuan dan laki-laki. Pasti ada yang bertanya-tanya kenapa sih musti pisahin pondok laki-laki dan perempuan?." Arleta dan beberapa remaja lainnya mengangguk. Memang di kelas Arleta ini semuanya adalah murid baru, yang baru saja masuk di pondok.

"Nah inilah Islam, Ia mengatur semuanya. Mulai dari tata Krama dengan lawan jenis, kenapa kita di pisahin karena memang mereka bukan mahrom kita, dan memang dalam Islam kita tidak di perbolehkan campur baur atau ikhtilat. Campur baur laki-laki dan perempuan."

Arleta termenung, ia menegang mendengarnya. Campur baur?? Bahkan ia sering sekali menyerahkan tubuh nya di peluk oleh Candra. Pantaskah ia di maafkan?

Bersambung...


Ketika Hati Memilih (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang