💠28

1.4K 73 1
                                    

Gadis itu menatap kosong hamparan hijau di depannya. Pemikirannya kosong, bahkan ia selalu memaki-maki takdir yang telah membawanya kesini, kedalam keadaan ini. Apakah Tuhan bersamanya? Apakah Tuhan sangat marah padanya sampai-sampai Ia mengambil semua keluarganya? Bahkan di saat dia tak sempat memeluk bahkan sekedar berbicara dulunya

Hanya kekosongan yang ada pada dirinya saat ini. Bahkan ia sangat bingung untuk bercerita kepada siapa, sahabat? Arleta bahkan tertawa miris mengingatnya, Anggi dan Anton? Bahkan Arleta sudah merasa malu bertemu dengan kedua orang yang telah merawat dan membesarkan dirinya. Walau Anggi dan Anton mengatakan untuk dirinya tinggal di rumah mereka, namun apakah ia sanggup? Apakah ia bisa? Walau kedua orang itu menekankan pada dirinya jika ia tetap akan menjadi putri mereka. Tapi logika Arleta sudah terpampang jelas jika ia bukanlah anak dari mereka.

Sudah dua hari Arleta berada di tempat ini, hidup sendirian walau banyak sekali warga yang ada di sini sangat memperhatikan dirinya namun yang ingin ia rasakan adalah perhatian dari keluarganya, ya kuarga kandung. Arleta kembali mengingat kejadian kemarin, di saat pak Santo, seorang petani yang memberikan dirinya kunci rumah ibu Harnita-kakak dari ibu nya berkunjung kerumahnya dan membawakan dirinya amplop berisi surat-surat tanah milik orang tua Arleta. Pak Santo mengatakan jika hanya ini lah yang di titip ibu Harnita kepada dirinya dan berpesan untuk memberikan kepada keponakannya jika ia datang suatu hari nanti. Arleta menghela nafasnya saat ia kembali merasakan sakit di hatinya, ia menatap petani-petani yang tengah memetik daun teh di depannya. Ya, saat ini Arleta berada di pinggir perkebunan teh di atas batu yang lumayan besar.

"Sendirian aja Ta?" Arleta menoleh dan menemukan seorang gadis sebayanya. Dia adalah Marianne, putri bungsu pak Santo yang selama dua hari ini selalu berkunjung ke rumahnya untuk menemani dirinya di rumah.

Marianne ini merupakan gadis yang berbeda dari teman-temannya bahkan berbeda dengan dirinya. Marianne gadis periang yang selalu menggunakan pakaian longgar (gamis), kerudung panjang bahkan kadang ia memakai kerudung sampai di pahanya, dan selalu memakai kaos kaki di saat ia keluar rumah, bahkan di saat terik matahari pun seolah-olah ia tak merasakan teriknya panas matahari.

"Darimana Ann?" Tanyanya menatap Marianne yang tengah membawa ransel kecil di punggungnya.

"Habis ngaji." Arleta mengangguk dan kembali menoleh kedepan.

"Ta, kamu yakin serahin semua kebun teh keluargamu di kelolah sama bapak?" Arleta tersenyum kecil mendengar perkataan itu, bahkan ia sampai lupa sudah berapa kali Marianne menanyakan perihal ini. Kemarin, Arleta memang meminta tolong kepada pak Santo untuk mengelolah kebun teh ini.

"Pak Santo yang selalu mengurusnya bersama Bibi, jadi pak Santo lah yang paling mengerti dengan urusan ini."

"Tapi kenapa kamu nggak mau ikut di saat penjualannya? Kamu kan yang punya dan uang hasil jualannya pun kamu mengambilnya sebagian doang Ta, bahkan lebih banyak untuk bapak."

"Yang penting aku bisa bertahan hidup Ann, nggak butuh uang banyak tapi yang mencukupi kehidupanku saja."

©©©

Suara adzan di Mushola dekat rumah Arleta membuat dirinya bangun dari tidurnya, tadi saat ia selesai memasak makan malam ia langsung tidur bahkan tanpa melakukan shalat Maghrib dulu. Bukan ia lupa, namun ia sengaja menulikan pendengarannya saat adzan berkumandang. Ia marah, sangat marah kepada Tuhan dengan apa yang telah terjadi padanya, kenapa ia mengalami semua ini? Dulu di saat ia tak lupa melakukan shalat setiap hari, ia tak bisa mendapat apa yang ia mau dan ini juga kah balasan dari Tuhan padanya? Kesakitan dan di tinggalkan oleh semua orang? Arleta merasa Tuhan memperlakukan dirinya dengan tak adil!!

Ketukan pintu membuat Arleta bangkit dan berjalan menuju pintu.

"Assalamu'alaykum, Ta ke Mushola yuk." Ajak Marianne saat Arleta membuka pintu.

Arleta menatap Marianne yang sudah menggunakan mukenah di depannya dan kemudian menggeleng pelan.

"Sorry aku mau tidur." Gumamnya.

"Tapi kan ini kewajiban Ta, nanti aja tidurnya kalau udah selesai shalat Isya nya."

"Shalat nggak shalat pun sama saja Ann, Tuhan nggak akan pernah mendengar permintaan aku apalagi ngabuli apa yang aku doakan selama ini. Bahkan diapun mengambil semuanya dari ku."

Bersambung...





Ketika Hati Memilih (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang