💠27

1.4K 73 0
                                    

Arleta menatap pegunungan dari dalam mobil bus, saat ini ia dalam perjalanan menuju tempat tinggal orang tua kandungnya. Arleta menghela nafas pelan dan memejamkan matanya, kepergian dirinya hanya di ketahui oleh Anggi dan Anton, ia tak mengabari sahabatnya toh dia juga nggak punya akses untuk mengabari mereka.

Mengingat semua itu hati Arleta berdenyut nyeri. Ia tak pernah menduga jika ia akan di tinggalkan oleh sahabatnya, bahkan ia merasa minder dengan mereka sekarang.

Tadi Anggi dan Anton sempat memohon untuk Arleta tetap tinggal di rumah mereka, tapi ia tak bisa. Arelta masih mempunyai ibu Harnita, saudara dari ibu nya.

Setelah sampai di halte yang ada di puncak Arleta menarik dua koper dan  ransel miliknya, ada rasa bahagia bisa kembali ke tempat ini, udara segar dan lihatlah penduduk di sini sangat baik menawarkan diri untuk membantunya membawa barang-barang miliknya.

"Emang mbaknya mau kemana?" Arleta menoleh kesamping dimana ada seorang gadis yang tengah membawakan kopernya.

"Saya mau ke rumah nya ibu Harnita mbak, mbak kenal?" Gadis itu tampak mengerutkan keningnya dan menatap Arleta diam. Merasa aneh dengan tingkah gadis itu membuat Arleta juga menatap wajahnya.

"Mbak kenapa?" Tersentak dari keterkejutannya membuat gadis itu berjenggik kaget merasakan tepukan tangan Arleta di pundak kirinya.

"Oh.. nggak apa-apa kok." Arleta mengangguk pelan dan mereka kembali berjalan dengan diam.

Setelah sampai di depan rumah ibu Harnita, Arleta nampak kebingungan melihat rumah itu tampak tak berpenghuni dan lumayan banyak rumput yang tumbuh di sekitarnya. Seingatnya waktu ia berada di sini bersama tiga sahabatnya, rumah ini sangat bersih dan kenapa sekarang? Ah.. mungkin ibu Harnita caper jadi ia belum sempat membersihkan halamannya.

"Makasih ya mbak udah di bantuin." Arleta melihat gadis itu yang nampak masih diam membuatnya melambaikan tangan di depan wajah gadis itu.

"Eh?"

"Makasih mbak." Gadis itu dengan cepat mengangguk dan tersenyum kearah Arleta.

"Mbak kalau gitu saya masuk ya mbak. Sekali lagi makasih." Setelah gadis itu pergi, Arleta menyeret barang-barangnya menuju pintu rumah yang terkunci? Apakah rumah ini kosong? Atau dia salah mendatangi rumah?

Arleta mengedarkan pandangannya ke kanan dan kekiri dan menemukan pria paruh baya yang dia pernah lihat di kebun teh saat ia melakukan wawancara di sini beberapa bulan yang lalu berjalan kearahnya.

"Maaf mbak cari siapa?" Tanyanya saat ia sudah sampai di depan Arleta.

"Ibu Harnita ada?" Tanyanya balik.

"Mbak Leta ya?" Arleta mengangguk pelan dan nampak laki-laki itu mengeluarkan sesuatu dari kantong celananya.

"Ini kunci rumah nya mbak, kalua mbak ingin tau di mana ibu Harnita silahkan masuk saja. Dan ibu Harnita nitip salam untuk mbak Leta."

Arleta menatap kunci rumah yang ada di tangannya sebelum ia membuka pintu rumah itu.

Kosong, itulah yang ia lihat di dalam rumah ini. Bukan kosong dengan barang tapi kosong akan penghuni rumah.

Rumah kayu ini ternyata nyaman saat kita berada di dalamnya, walau tak ada AC tapi tetap dingin dan sejuk. Ia perlahan menutup pintu rumah dan berjalan menuju satu ruangan yang ada di dalam rumah ini dan ternyata kamar.

Senyum Arleta mengembang melihat kamar ini, tak terlalu besar namun cukup untuk dirinya dan di dinding kamar banyak foto-foto keluarganya. Ibu Harnita, ibunya, ayahnya dan juga foto bayi yang ada dalam gendongan ayahnya dan ia yakin jika itu dirinya.

Arleta berjalan menuju kasur yang menyatu dengan dinding dan duduk di sana, di kasur itu ada sebuah amplop dengan bingung ia meraih amplop itu dan membaca isinya.

Tangan Arleta bergetar saat ia membaca kata demi kata di sana. Bahkan untuk kesekian kalinya ia menangis kembali.

Kenapa? Kenapa semua ini terjadi padanya? Kenapa ia kehilangan keluarganya kembali? Kenapa takdir mempermainkannya? Kenapa?

Arleta, gadis itu menatap nyalang sesi kamar ini. Ia kira, akan menemukan wanita itu tersenyum kearahnya jika, ia kira ia akan mendengar cerita kedua orang tuanya di sini, ia kira ia akan menemukan seorang di rumah ini, ia kira ia akan bisa mencurahkan isi hatinya. Tapi yang ia dapat adalah sakit yang kembali datang, perih itu ia rasakan lagi, sakit hati akan takdir yang membuatnya tak mempunyai siapa-siapa.

Bersambung...

Ketika Hati Memilih (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang