💠43

1.5K 79 0
                                    

Seminggu berlalu setelah kembalinya Arleta ke rumah megah Siregar. Rumah itu kini di penuhi dengan canda tawa, kehangatan. Tak ada lagi rumah yang sunyi, tak ada lagi isakan Arleta yang merindukan kedua orang tuanya.

"Mama cake buatan Arleta hangus!!" Anggi dan mbok Ani tertawa mendengar teriakan arleta dari arah dapur. Dengan masih tertawa kecil, Anggi berjalan memasuki dapur dan benar saja. Arleta menatap nanar cake yang seharusnya berwarna coklat mudah itu menjadi warnah coklat tua, alias hangus.

"Ckckckkc.. anak gadis kok nggak bisa buat kue?" Arleta mengerucutkan bibirnya mendengar ejekan sang mama. Ia sekali lagi menghela nafas kasar dan berjalan keluar dapur menuju meja makan.

"Harum banget non?" Arleta berdecak mendengar godaan mbok Ani.

"Mbok ini kok bisa hangus sih?" Mbok Ani dan Anggi menatap Arleta heran. Lah? Siapa yang masak, siapa yang di tanya?

"Kok mbok sih? Kan yang buat non Arleta." Jelas mbok Ani menatap kue yang ada di atas meja.

"Yaudah, kita buat lagi ya? Tapi kamu liatin aja sambil ingat-ingat cara buatnya." Arleta mengangguk pelan dan mereka pun kembali membuat adonan kue nya.

Seminggu ini Anggi memutuskan untuk selalu berada di rumah. Ia ingin mengganti waktu-waktu dulu yang pernah ia lewatkan bersama putrinya.

Sedangkan Anton hanya mengiyakan keputusan sang istri. Ia juga tidak terlalu suka jika sang istri turut mencari uang bersamanya.

Konsentrasi Anton dalam bekerja kini kembali lagi setelah kepulangan sang putri, krisis yang di alami perusahaannya pun kini terselesaikan seminggu ini. Bahkan perusahaannya jauh di atas dari sebelumnya.

Arleta tersenyum manis melihat sang mama yang terus mengaduk adonan kue di baskom kecil. Ia sangat menginginkan ini dari dulu. Tertawa dan selalu bersama sang mama dan semuanya tercapai sekarang. anggi-mama nya kini lebih banyak menyempatkan waktu bersama dirinya. Mereka semakin banyak menghabiskan waktu bersama.

Ia berharap jika semua ini tidak sebentar saja. Ia berharap jika semua ini akan selalu berjalan dengan baik. Tidak ada lagi pertengkaran seperti yang dulu.

***••***

Jam di dinding kini menunjukkan pukul delapan malam. Arleta dan kedua orang tuanya saat ini tengah berada di ruang santai menikmati kebersamaan mereka.

"Arleta" Arleta mendongak menatap sang papa yang tengah duduk di sofa sedangkan dia berada di karpet memeluk boneka nya.

"Iya pa?"

"Apa kamu tidak merindukan sekolah mu dulu?"  Arleta mendadak diam mendengar pertanyaan itu.

Jujur, ia sangat merindukan tempat itu. Lebih tepatnya merindukan sahabatnya.

"Arleta?" Ia terlonjak kaget saat merasakan sesuatu memukul pundaknya pelan.

"Kamu kenapa?" Tanya Anggi duduk di samping sang putri.

"Nggak kok ma." Ucapnya. Anggi dan Anton saling pandang sebelum Anton menganggukkan kepalanya mengiyakan.

"Kamu mau pergi kesana nggak?" Ucap Anggi saat mendapat anggukan sang suami.

"Kesana? Kemana ma?" Tanya nya bingung.

"Sekolah kamu dulu sayang." Arleta sontak mengangguk lalu menggeleng pelan. Ia bingung.

"Nggak usah ma." Anton tersenyum kecil.

"Minggu depan ada reuni angkatan kamu loh. Kamu ikut ya? Lagian teman-teman kamu pasti senang melihat kamu ada di sana kembali." Arleta diam. Ia ragu atas ucapan sang papa. Mana mungkin? Mereka akan senang?

"Nggak pa, Arleta lebih suka di rumah bersama mama." Kedua nya sontak menghela nafas mendengar penolakan dari Arleta.

Anggi menyentuh tangan Arleta dan mengelus kepala putrinya yang tertutup kerudung pink dengan lembut.

"Kenapa hm? Kamu takut? Jangan takut sayang, mama dan papa akan selalu bersama mu di sana nantinya. Lagian mama dan papa juga akan ikut mengingat itu punya kita sayang. Kamu ikut ya? Jika aku tidak mau ikut serta sebagai alumni di sana, maka ikut serta lah sebagai putri yang punya sekolah ya?" Bukan itu, bukannya ia tidak mau ikut serta sebagai alumni di sana. Namun ia masih ragu untuk bertemu dengan mereka, sahabatnya. Ia takut bertemu dengan mereka.

"Nanti Arleta pikirkan ya ma. Soalnya arleta juga lebih nyaman di rumah." Anggi mengangguk pelan.

Anton meraih sesuatu dalam kantong celana dan mengulurkannya ke arah Arleta. Arleta menatap benda pipih itu dengan bingung.

"Kamu nggak punya ponsel kan? Ini papa sudah isiin nomer HP mama dan papa di dalem." Arleta tersenyum dan meraih ponsel berwarna hitam merah itu. Cantik.

"Makasih pa." Anton tersenyum kecil dan mengangguk.

Mereka kembali diam, Anton yang fokus menonton siaran tv, Anggi yang sibuk dengan majalah yang ada di depannya sedangkan Arleta yang memikirkan acara reuni itu.

Bersambung...

Ketika Hati Memilih (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang