"Maya. Astaga... Astaga..." ucap Arsya sambil terus bergerak-gerak seperti cacing kepanasan di dekat koridor kelas mereka.
"Lo kenapa, Sya?" tanya Maya terkesan khawatir.
"Lo nggak kesurupan 'kan?"
Bukannya menjawab, Arsya malah tersenyum, lalu menarik pergelangan tangan Maya, dan membawanya pergi menuju ke lapangan olahraga sekolah mereka. "Ikut Arsya."
"Ish, kebiasaan." gerutu Maya.
Sesampainya di sana, Arsya membawa Maya ke arah tribun penonton, lalu duduk di antara kursi kosong yang berada di sana.
Maya mengerutu di dalam hati, bisa-bisanya Arsya malah membawanya ke tempat ini yang berpotensi membuat dirinya melihat mantan kadarluarsanya itu. Siapa lagi kalau bukan Daniel. Pada saat ia memukuli cowok itu di kantin, ia langsung memutuskan Daniel saat itu juga, disaksikan beberapa murid SMA Nusa Bhakti yang menoton drama secara cuma-cuma.
"Ngapain sih, lo ngajak gue ke sini. Lo mau gue ngamuk di sini Sya? Gara-gara ngelihat tuh makhluk nggak tau diri itu lagi?"
"Maksud Maya?" tanya Arsya tak mengerti.
"Arsya kan ngajak Maya ke sini, cuma buat nemenin Arsya ngelihat Reyhan latihan futsal." Arsya terlihat memberengut.
Maya mendesis. "Lo kan tau, Sya. Kalo Si makhluk nggak tau diri itu, juga ikut ekskul futsal. Ah, lo mah, bercanda nggak tau tempat banget sumpah."
"Arsya nggak lagi bercanda, Maya. Arsya lupa, seriusan. Maafin Arsya yah." ucap Arsya sambil menyatukan kedua telapak tangannya, dengan raut bersalah.
Maya memilih diam. Menatapi para cowok-cowok yang sedang berjalan bergerombol menuju ke arah lapangan olahraga. Sesaat, Maya menangkap sosok yang nyaris membuat matanya ingin meloncat dari tempatnya. Kenapa harus bertemu dengan manusia setengah setan itu lagi, sekarang. Benar-benar menyebalkan. Batin Maya mengerutu, kesal.
Maya meremas ujung roknya, berusaha untuk menahan emosinya yang diperkirakan akan meledak sekarang juga.
"Gue pulang duluan yah." pamit Maya sambil bangkit berdiri.
Arsya lantas menarik tangan Maya cepat-cepat, membuat cewek itu kembali terduduk di kursinya semula. "Jangan. Temani Arsya dulu, lagian latihannya kan baru dimulai."
"Nggak bisa, Sya. Kalo gue ngelihat Si makhluk nggak tau diri itu, bawaannya emosi, pengen aja gitu cakar-cakar wajahnya yang sok kecakepan itu. Lihat deh, dia lagi tebar pesona." tunjuk Maya pada Daniel yang terlihat sedang tersenyum ke arah segerombolan cewek-cewek di sana, sambil memberikan kiss jauh kepada mereka. Yang langsung disambut teriakan histeris dari mereka.
"Dasar alay." umpat Maya, penuh amarah, sambil menatap cewek-cewek itu dengan sinis.
"Maya kalo cemburu bilang aja. Nggak usah sok marah, terus mau nyakar wajah Daniel. Maya udah kayak kucing aja nyakar-nyakar." Arsya terkekeh.
Maya bergidik jijik. "Ih, ogah banget cemburu sama orang kayak dia."
"Kalo gitu, Maya bersikap biasa aja dong. Terus, kalo Maya nggak mau ngelihat Daniel, yaudah, Maya tutup aja matanya. Gampang kan?"
"Pale lo, gampang. Daripada kayak gitu, lebih baik gue pulang aja. Terus, luluran deh, biar tambah cantik." cetus Maya.
Arsya menghela nafas lelah. "Kalo gitu, Maya pulang aja deh. Arsya nonton Reyhan latihan sendirian aja deh, nggak papa kok."
"Beneran? Lo nggak papa?"
"Iya, nggak papa. Arsya kan strong women." ucap Arsya dengan keyakinan penuh.
"Tapi, gue nggak yakin."
"Ah, Maya bilang aja kali, kalo Maya nggak mau pulang sendirian. Nggak usah sok bilang nggak yakin begitu." cibir Arsya.
Maya cengengesan. "Tuh, peka. Makanya sekarang kita pulang aja. Ayolah, Sya." bujuk Maya, agar Arsya mau pulang dengannya.
"Nggak mau, Maya." kekeuh Arsya.
"Ish, dasar Arsya kepala batu!" umpat Maya, merasa lelah sendiri.
"Yaudah, sih. Maya tinggal duduk manis di sini sambil ngelihatin Daniel main futsal, siapa tau gitu yah--awss." ucapan Arsya terpotong oleh pekikan dari dirinya sendiri.
"Nggak akan!" ucap Maya, setelah tangannya berhasil menjitak kepala Arsya keras-keras.
Arsya mengusap-usap kepalanya. "Sakit kali, ah. Maya mah, tega."
"Bodo amat."
Saat mata Arsya sedang berbinar-binar menatapi Reyhan---yang dengan kaki lincahnya membawa bola menuju ke arah gawang, Maya memilih untuk menatap ke arah lain, sampai matanya menangkap makhluk mungil yang sedang bermain boneka di kursi yang tak jauh darinya. Makhluk mungil itu bernama Aina, anak dari tukang kebun sekolah ini yang selalu membawa Aina setiap bekerja di sini.
"Yey... gol! Reyhan keren. Semangat, pacarnya Arsya!" teriak Arsya kegirangan, saat Reyhan berhasil memasukan bola ke dalam gawang.
Maya bangkit berdiri, berniat untuk menghampiri Aina dan mencubit pipi Aina dengan gemas. Makhluk mungil itu memang sangat mengemaskan dan lucu, makanya banyak yang senang bermain dengan Aina. Bahkan Reyhan sekalipun.
"Maya mau ke mana?"
"Nyamperin Aina." balas Maya, lalu berjalan cepat menuju ke arah Aina.
"Maya, Ainanya bawa ke sini aja, Arsya juga mau nyentuh hidungnya yang pesek sama pipi gembulnya." pinta Arsya. Tak dipungkiri, Arsya pun sangat gemas dengan makhluk mungil bernama Aina itu. Menurutnya, Aina, lah yang lebih lucu dibandingkan dengan adiknya, Vivi.
Sesuai permintaan Arsya, Maya pun membawa Aina menuju ke Arsya, ia kembali menduduki kursinya kembali, dengan Aina berada di atas pangkuannya.
"Hallo, Aina. Ishh, kamu lucu banget sih, gemes banget." gemas Arsya sambil mencubiti pipi Aina dengan gemasnya. Sementara Aina hanya menatapi Arsya dengan wajah datarnya, ketika ia diperlakukan seperti itu.
Maya tertawa, lalu mengelus rambut Aina dengan sayang.
"Arsya juga mau gendong Aina dong." rengek Arsya, sambil mengulurkan kedua tangannya kepada Aina.
Maya langsung mengeplak salah satu tangan Arsya. "Nggak bisa. Gue juga baru gendong Aina kali." protes Maya.
"Dih, dasar Maya pelit."
"Biarin." Maya terlihat acuh tak acuh.
Arsya pun pasrah, kini ia sedang memainkan hidung milik Aina yang telihat sangat kecil, lucu sekali. Makanya Arsya gemas.
"Aina gedenya jangan jadi kayak kak Arsya yah, cerewet, keras kepala. Aina tuh gedenya harus jadi anak pintar yang penurut, ah, ya. Sama punya pacar ganteng." nasihat Maya, seolah-olah Aina dapat mengerti dengan apa yang diucapkannya barusan. Selanjutnya, Aina terlihat tertawa dengan ceria.
"Ih, ketawa. Lucu banget sih." cubit Maya tepat di pipi gembul Aina, yang tambah membuat Aina mengeraskan tawanya. Arsya pun ikut tertawa karenanya. Hal itu memicu seseorang yang sedang bermain futsal di sana, menarik bibirnya ke atas, membentuk sebuah senyum menawan.
"Rey, fokus, woi fokus. Jangan ngelihatin pacar mulu, nggak akan hilang digondol kucing, kucing mah nggak akan doyan. Jadi, jangan khawatir." ledek Daniel, saat memergoki Reyhan sedang menatapi Arsya sambil tersenyum sendiri.
"Nggak. Itu momen penting makanya gue lihatin." balas Reyhan tanpa menghilangkan senyum di wajahnya.
"Penting? Lo masih bisa ngelihat dia ketawa setiap harinya kali. Apaan yang penting coba?"
"Cuma gue yang tau. Percuma, kalo gue jelasin lo nggak akan paham. Ini masalah hati dan perasaan."
"Halah, gaya lo." cibir Daniel. Reyhan tergelak.
Tbc!
Gimana gimana? Hehe maksih udah baca sampai part ini. Semoga suka sama ceritanya yah.
Jangan lupa vomment 😊
See you readers tercintahhh 😘😍😍😘
KAMU SEDANG MEMBACA
Reyhan dan Arsya [Completed]
Roman pour Adolescents[Sequel Chatting With Reyhan] 🌞 Disarankan untuk membaca cerita Chatting With Reyhan terlebih dahulu🌞 Reyhan tidak suka dengan orang yang berbicara seperti burung beo, alias berisik. Reyhan lebih suka ketenangan, rumput hijau dengan langit biru se...