50. Menghilang?

4.7K 186 11
                                    

Happy Reading Guys:)))

Arsya langsung masuk ke dalam kamarnya tanpa mengucapkan salam apapun, padahal jelas-jelas mama, papa serta adiknya sedang terduduk di ruang tamu rumah mereka, yang berada di area paling depan rumah mereka. Otomatis, saat Arsya masuk ke dalam rumahnya, ia dapat melihat dengan jelas keberadaan orangtuanya, lalu kenapa ia bersikap seolah-olah orangtua dan adiknya tidak terlihat.

"Sya! Kalo masuk ke dalam rumah itu ucapin salam. Main nyelonong aja, dasar nggak sopan kamu!" teriak mamanya dengan nada kesal. Arsya tak menjawab, ia lebih memilih untuk menelungkupkan kepalanya di bawah bantal, lalu menangis sesegukan. Marletta menggelengkan kepalanya keheranan, lalu berjalan menuju ke arah kamar Arsya sambil bersedekap dada.

Plak!

Satu pukulan maut tepat mengenai pinggul Arsya, hingga cewek itu menjerit kesakitan dan semakin bertambah kencanglah tangisan Arsya. Dia memutar tubuhnya sehingga menghadap ke depan, lantas membuka bantal yang menutupi wajah Arsya, sehingga terpampanglah dengan jelas wajah gahar Marletta yang sedang berkacak pinggang sambil menatapnya.

"Udah gede, udah SMA, udah mau lulus lagi. Masihhh... Aja kayak anak kecil, kamu itu udah mama bilangin berapa kali sih, kalo masuk ke dalam rumah itu ucapin salam. Kalo ada orangtua lagi duduk itu disalimin satu-satu, bukannya nyelonong aja kamu masuk kamar. Dasar anak nggak sopan," omel Marletta. Arsya pun langsung terduduk di atas ranjang sambil merengek dan menangis sesegukan.

"Kamu tuh yah, Sya. Baru mama tabok gitu aja udah nangis. Cengeng kamu, lagian ini salah kamu sendiri, udah gede emang perlu mama ajarin lagi, kalo masuk rumah harus ucapin salam? Kayak anak TK aja kamu, kalah sama Vivi."

"Mama..." Arsya merengek, sungguh dirinya tidak sanggup mendengar omelan mamanya yang begitu menyakitkan di telinganya. "Mama tuh nggak tau perasaan Arsya, Arsya itu lagi galau tau nggak..." imbuhnya sambil sesegukan dan sesekali menghapus air matanya yang mengalir deras membasahi pipi mulusnya.

"Alah, palingan cuma masalah Reyhan yang udah dapat pacar baru. Iya, kan?" cibir Marletta. "Lagian Reyhan mana betah sama cewek kayak kamu. Udah manja, cengeng, bawel---"

"Terus aja ledek Arsya, terus..." cetus Arsya merasa kesal sendiri. "Lagian, Arsya marah bukan karna itu, kok." imbuhnya sambil memberengut lucu.

"Terus apa?" tanya Marletta, sambil terduduk di samping Arsya, bersiap untuk mendengarkan cerita Arsya mengenai Reyhan.

Arsya menarik nafasnya dalam, lalu memulai sesi ceritanya. "Reyhan udah pergi, Ma..." katanya, kembali menangis lagi.

"Maksudnya, udah pergi itu... Gini, gitu?" ucap Marletta seraya menggerak-gerakan tangan kanannya di depan leher, bergaya seperti memotong.

Melihat itu, Arsya berdecih sambil mendorong bahu mamanya pelan. "Ih, bukan... Ma..." rengek Arsya, rasa kesalnya sudah mencapai ubun-ubun.

"Ya terus? Abisan kamu sih, ngomongnya setengah-setengah, kalo ngomong sama orangtua, yang jelas dong, Sya. Kamu ini gimana sih." lagi-lagi, Arsya kena omel Marletta, cewek itupun hanya diam sambil menggelembungkan pipinya.

"Yaudah, Arsya minta maaf, lagian salah Mama juga sih, orang Arsya belum selesai ngomong, main potong aja," kesalnya.

"Iya, Mama juga minta maaf deh, sekarang ceritain lagi, Reyhan pergi ke mana sebenernya?" tanya Marletta terdengar penasaran.

Arsya mengatur nafasnya, lalu mulai berbicara kembali. "Reyhan pergi ke luar kota, Ma. Arsya nggak tau Reyhan pergi ke kota apa. Kalo Arsya tau, Arsya pasti udah ke sana nyamperin Reyhan, dan bilang kalo Arsya mau minta balikan sama Reyhan," tutur Arsya kelewat jujur.

Reyhan dan Arsya [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang