Reyhan mendudukan Arsya di atas kursi panjang di dekat koridor kelasnya, lalu Reyhan membalikan tubuhnya untuk menatap Arsya.
"Coba gue lihat lukanya," ucap Reyhan.
Arsya langsung menunjuk lutut bagian kanannya yang dipenuhi oleh darah. "Ini, sakit," ucap Arsya, lebay.
"Tunggu di sini, biar gue beli sesuatu buat ngobatin luka lo." Reyhan beranjak pergi, namun saat mendengar lantunan kalimat dari mulut Arsya, membuatnya menghentikan langkahnya sejenak.
"Reyhan kenapa nggak ngebiarin Arsya diobatin sama Farhan, Reyhan cemburu yah?" tebak Arsya.
"Enggak, nggak usah ngarang deh. Udah ah, Sya. Gue pergi dulu, lo tetep di sini, jangan kemana-mana," peringat Reyhan.
"Tapi, kalo nanti ada apa-apa sama Arsya gimana?"
"Ya lo tinggal telepon gue, lah. Apa susahnya sih."
"Reyhan kalo ditelepon Arsya aja nggak pernah diangkat, sekali diangkat Arsya cuma denger suara orang ketawa sama kumur-kumur nggak jelas."
"Ah, iya gue lupa." Reyhan menepuk-nepuk dahinya, meruntuki dirinya sendiri.
"Lupa apa? Lupa kalo hpnya Reyhan jual buat beli beras?" tanya Arsya ngaco.
"Bukan."
"Terus?"
"Kepo."
"Tuh, kan. Ditanya bener-bener dibilang kepo. Entar kalo Arsya nggak nanyain bilangnya nggak perhatian," kesal Arsya.
"Gue pergi dulu," pamit Reyhan yang kini telah benar-benar pergi dari tempatnya berpijak terdahulu, meninggalkan Arsya yang kini sedang mengelembungkan pipinya sambil memainkan tali tas ranselnya, untuk menunggu Reyhan kembali.
"Kenapa yah, Arsya selalu jatuh, apa Arsya mau punya adek lagi? Idih, males. Punya Vivi aja udah ribet, apalagi punya adek lagi." Arsya bergidik sendiri, membayangkan jika dirinya memiliki adik lagi.
"Ngapain ngomong sendiri? Udah nggak waras?" ucap Reyhan yang kini sudah terduduk dengan tenang di samping Arsya, ia mengeluarkan obat merah dan plester kecil bergambar kartun dari plastik putih yang tadi ia bawa.
Arsya mendesis. "Bukan. Arsya tuh, lagi mikir kenapa Arsya itu jatuh terus."
"Mungkin karna lo kelebihan lemak," balas Reyhan lempeng sambil meneteskan obat merah pada luka Arsya. Hingga membuat cewek cerewet itu memekik karna merasa kesakitan. Dan langsung memeluk Reyhan erat-erat.
"Reyhan ... sakit ...," rengek Arsya, masih dengan tangan masih memeluk Reyhan.
"Nggak usah meluk-meluk, Sya. Gue nggak bisa nafas ini," ucap Reyhan, membuat Arsya memberengut kesal, lalu secara perlahan mulai melepaskan pelukannya.
"Mau modus dikit nggak boleh," gumam Arsya, yang secara tidak langsung didengar oleh Reyhan.
"Nggak boleh peluk-peluk, bukan muhrim," celetuk Reyhan dengan raut tanpa dosa.
"Yaudah kalo nggak boleh peluk. Kalo gitu, Arsya mau cerita aja, Reyhan dengerin yah." Reyhan menghela nafas pelan sambil mengambil plester bergambar kartun untuk ditempelkan pada luka Arsya.
"Waktu itu kan yah, Arsya pulang sendiri pas Reyhan latihan futsal, Arsya lewat kuburan, Arsya takut banget seriusan. Untung nggak sampai kencing di celana karna saking takutnya. Kira-kira kalo Arsya di kuburan ketemu sama mba kunti gimana yah." Arsya mengetuk-ngetuk dagunya menggunakan jari telunjuknya.
"Lo dipungut jadi anaknya," balas Reyhan saat dirinya sudah selesai menempelkan plester pembalut luka pada lutut Arsya.
"Terus Arsya mau dikasih makan bunga kamboja. Amit-amit deh, jadi anaknya mba kunti." Arsya bergidik ngeri.
"Lagian, Sya. Dia mana mau punya anak punggut kayak lo, bisa-bisa si mba kunti mati dua kali dah tuh, karna dengar suara cerewet lo." Reyhan berupaya melawak.
"Reyhan nggak usah sok ngelawak deh, lawakan Reyhan tuh garing tauk."
"Oh, yaudah."
"Reyhan! Kebetulan masih ada di sini. Gue minta tolong boleh?" ucap Mira yang tiba-tiba saja hadir di tengah-tengah obrolan mereka berdua. Arsya memandang Mira dari atas sampai bawah, menilai jika Mira terbilang seorang cewek cantik yang memiliki segudang prestasi luar biasa. Dia aktif di segala organisasi. Pramuka, Osis dan paskibra.
Reyhan menoleh, tersenyum sekilas sambil memandang Mira. "Ada apa, Mir?" tanya Reyhan.
"Gue kan satu kelompok pelajaran Penjaskes sama lo. Jadi, kata Imel sama Davi, hari ini kita kerja kelompok. Kira-kira lo bisa nggak?"
Reyhan menimang-nimang permintaan Mira sambil menatap Arsya yang kini tengah memasang wajah cemberut.
"Oh, ya. Karena kerja kelompoknya di rumah Davi, jadi gue boleh bonceng lo kan? Soalnya, Imel juga udah ke sana duluan. Karna tadi gue habis rapat Osis, makanya gue ditinggal. Dan kebetulan di sini masih ada lo, jadi sekalian aja gue ajak. Gimana Rey? Mau kan," imbuh Mira sambil menyibakan rambut panjangnya ke belakang.
"Tapi, gue mau nganterin Arsya pulang dulu nggak papa?"
"Duh, Rey. Ini udah hampir jam dua. Belum lagi kita perjalanan ke rumah Davi. Mending Arsya naik taksi atau ojek dulu deh, yah. Lagian Arsya bukan anak kecil lagi kali, dia udah gede, bisa jaga diri baik-baik. Iya kan Sya?" ucap Mira sambil menatap ke arah Arsya.
"Arsya nggak bisa jaga diri baik-baik. Arsya masih butuh perlindungan dari Reyhan. Arsya mau pulang sama Reyhan pokoknya, Arsya nggak mau tau," kekeuh Arsya sambil menatap tajam ke arah Mira.
"Tapi, Sya. Gue sama Reyhan mau kerja kelompok Sya. Lo tuh harusnya ngertiin dong."
"Seharusnya kamu yang ngertiin Arsya. Arsya tuh kakinya sakit habis jatuh. Lagian Arsya kan udah bilang Arsya mau pulang sama Reyhan." Arsya tidak mau kalah.
"Gue antar Arsya pulang dulu. Lagian kalo lo tau waktunya udah nggak cukup, kenapa nggak lo aja yang ke rumah Davi duluan, nggak harus sama gue juga kan?"
"Rumah Arsya nggak terlalu jauh dari sini, paling sepuluh menit juga nyampe. Kalo ngerasa lama, lo ke sana duluan aja, gue bisa nyusul," imbuh Reyhan, seraya mengandeng tangan Arsya erat, lalu pergi meninggalkan Mira sendirian.
"Tapi, Rey!" seru Mira. Reyhan tak mengubris. Mira terus memandang punggung Reyhan dan Arsya yang kian menjauh dengan perasaan yang berkecamuk.
Mira tidak suka dengan makhluk bernama Arsya.
Mira yang berjuang sedemikian rupa untuk mendapatkan hati Reyhan. Tapi malah Arsya yang mendapatkannya tanpa terlalu lama mengejar cowok yang memiliki wajah rupawan itu.
"Padahal, Rey. Gue hanya ingin pergi bareng lo kali ini aja. Tapi, Arsya selalu aja mengagalkan semuanya. Gue bener-bener nggak suka sama dia," gumam Mira dengan mata yang berkaca-kaca. Merasa sesak di dalam dada. Seperti ada bongkahan kayu menusuk tajam ke dalam rongga tubuhnya. Sangat sakit.
Saat Mira mengedipkan matanya satu kali, air matanya langsung mengalir, membentuk sungai kecil yang berderai di kedua pipinya. Dirinya tak kuasa menahan tangis yang selalu ia tahan untuk tidak pecah di waktu yang salah.
"Gue harap nantinya, lo akan berbalik suka sama gue, Rey." Mira kembali mengumam, kali ini disertai kepalan tangan yang mengepal tajam.
Tbc!
Mulai ada konflik nih. Semoga suka sama part ini yes. Di sini mulai ada Mira yang memiliki dendam kesumat sama Arsya nih karna udah ngerebut Reyhan dari dia.
Gimana yah, kira-kira kelanjutannya. Tunggu part selanjutnya yah.
Jangan lupa vomentnya.
Love you readers 😚😚😚
KAMU SEDANG MEMBACA
Reyhan dan Arsya [Completed]
Fiksi Remaja[Sequel Chatting With Reyhan] 🌞 Disarankan untuk membaca cerita Chatting With Reyhan terlebih dahulu🌞 Reyhan tidak suka dengan orang yang berbicara seperti burung beo, alias berisik. Reyhan lebih suka ketenangan, rumput hijau dengan langit biru se...