"Lo mau sampai kapan sih nangisnya? Gue capek tau ngelihatnya."
"Kalo gitu nggak usah dilihat! Arsya juga nggak butuh dilihatin sama Farhan." ketus Arsya sambil sesegukkan.
"Nggak mau tau, pokoknya sekarang lo berhenti nangis, nggak penting tau nangisin orang yang nggak penting." ucap Farhan tajam.
Arsya langsung mendelik seketika. "Bagi Arsya, Reyhan itu penting, jadi perlu buat ditangisin."
"Lebih penting mana sama orang tua lo?" Farhan memainkan kedua alisnya, sambil menatap Arsya dengan senyum meledek.
"Ya... Orang tua Arsya sih, tapi kan, Reyhan penting di hatinya Arsya. Tapi sayangnya dia yang buat patah hati Arsya." ucap Arsya dengan nada melemah, dengan raut yang terlihat sedih, tangisnya kini mulai sedikit mereda.
"Ikut gue, yuk."
"Ke mana?"
"Yang pasti ke tempat yang bikin patah hati lo ilang dalam sekejap."
"Kalo mau bikin patah hati Arsya ilang, Farhan ajak Arsya ke negeri lolipop, baru deh bisa ilang."
"Nggak ada negeri lolipop, adanya negeri cebol, lo mau ke sana?" ledek Farhan, lalu terbahak.
Arsya langsung mengeplak lengan Farhan kencang, karna saking kesalnya. "Jangan ngeledek Arsya cebol lagi!"
"Bercanda, yaudah yuk ikut." Farhan menarik Arsya menuju ke parkiran, setelah membayar satu gelas teh manis kepada mbak Jum.
****
Reyhan menatapi ponselnya yang menampakan frame hitam, sambil berjalan di antara rak-rak buku di dalam gramedia mall di dekat sini. Sedari tadi, dirinya menunggu chat dari Arsya, biasanya tanpa ia menunggu, Arsya sudah mengirimi chat kepadanya secara beruntun, tapi hari ini satu chat pun tidak, kecuali chat Arsya yang menyemangatinya latihan futsal.
Reyhan sengaja tidak memberitahu Arsya tentang dirinya yang tidak berlatih futsal, juga tentang Reyhan yang kini menemani Gina ke gramedia. Reyhan hanya tidak mau Arsya marah, apalagi marah kepada Gina, yang jelas-jelas tidak memiliki kesalahan apapun. Lagipula, bukankah Arsya sedang bersenang-senang dengan Farhan. Tapi, entah mengapa Reyhan tetap mengkhawatirkan Arsya, pada dasarnya, Reyhan hanya ingin Arsya terus berada di sampingnya, tapi apa boleh buat, lagipula ini hanya bersifat sementara.
"Han, aku mau beli buku ini, menurut kamu gimana?" Gina menyodorkan buku tentang psikologi kepada Reyhan, membuat cowok jangkung itu langsung menoleh dan bersitatap dengan Gina.
"Buku ini yah, bagus-bagus aja. Tumben lo beli buku tentang psikologi? Biasanya lo cuma suka novel menye-menye sama komik yang gambarnya menurut lo lucu." celoteh Reyhan, lalu memasukan ponselnya di celana abunya, berharap jika ia taruh ponselnya, pesan dari Arsya akan segera muncul secara beruntun seperti biasanya.
Gina tertawa. "Kamu ternyata masih inget aja yah, apa yang aku suka. Gini, Han. Aku tuh sebenernya punya cita-cita jadi psikologi dari aku SMP, dan aku berniat kuliah dengan jurusan psikologi, biar aku bisa merealisasikan semua impianku selama ini." papar Gina setelah meyelesaikan tawanya.
"Cita-cita lo bagus. Gue suka dengernya."
Gina hanya tertawa kecil mendengar penuturan Reyhan. "Erm, aku cuma mau beli beberapa buku ini doang kok, Han, habis aku bayar bukunya, kita pulang yah," Gina mengeluarkan dompetnya, lalu mengeluarkan uang tiga lembar seratus ribuan.
"Tunggu, lo ada uang buat bayar? Bukannya kata Bunda ATM lo diblokir sama bokap lo, karna lo kabur dari rumah, terus lo dapet duit dari mana sebanyak itu?" Reyhan merasa tercengang, melihat Gina memiliki uang sebanyak itu, bahkan ketika Gina hanya berdiam diri di rumah dan kartu ATM-nya diblokir oleh papanya. Tidak mungkinkan, uang itu bisa langsung ada sendiri di dalam dompet Gina. Memangnya uang mempunyai kaki.
"Anu, aku pinjem sama temen." balas Gina, rautnya berubah gugup terbukti dari beberapa bulir keringat yang memenuhi seperempat inci bagian dahinya.
"Siapa?"
"Febri." balas Gina cepat, tanpa ada jeda sedikitpun.
"Oh, lo pinjem sama Febri, terus lo mau lunasin utang lo itu pake apa? Lo nggak mikir ke sana?"
"Kan, aku bisa cari kerja yang part time."
"Nggak, gue nggak izinin. Tugas lo itu belajar bukannya kerja, yaudah nanti biar gue yang lunasin."
"Tapi---"
"Nggak ada tapi-tapian." potong Reyhan tak mau kalah.
Gina tersenyum, ternyata di balik mama dan papanya yang mengacuhkannya, masih ada orang yang peduli terhadapnya, Reyhan. Hanya Reyhan satu-satunya. "Makasih yah, Reyhan."
"Iya sama-sama. Lain kali, kalo lo butuh apa-apa bilang sama gue, jangan maen pinjem ke orang lain, tanpa pikir panjang dulu. Bentar yah, gue mau ngangkat telepon dulu." Reyhan mengambil ponselnya yang terasa bergertar di saku celananya, setelah ia mengeser tombol telepon berwarna hijau, ia langsung menempelkan ponselnya di telinga.
"Kenapa, Sya?" ucap Reyhan sambil berjalan menjauhi Gina, dengan tangan memberi kode agar Gina tetap bertahan pada posisinya sekarang, menunggu sampai Reyhan kembali ke tempat berpijaknya semula.
"Makhluk kecil itu, lama-lama bikin gue muak! Lihat aja nanti gue yang akan mengambil alih semuanya, termasuk juga apa yang sekarang menjadi milik lo, Arsya Iriana!" gumam Gina dengan tangan bersedekap di atas perutnya. Menatap Reyhan yang sedang berteleponan dengan pandangan tak suka. Seorang Gina pasti akan membenci seseorang yang memiliki apa yang seharusnya ia miliki.
Ponsel yang berada di genggaman tangannya bergetar, membuat Gina langsung mengalihkan pandangannya, menatapi ponselnya dengan pandangan serius, saat mendapati salah satu pesan dari seseorang, matanya langsung mendelik, merasa jegah sendiri dengan kenyataan ini, kenapa juga ia harus terjebak dalam lingkaran setan itu.
"Kalo bukan karna duit, gue nggak akan kayak gini!" Gina mengumpat kesal, sambil menghembuskan nafasnya kasar.
****
"Farhan. Arsya capek sumpah, mau istirahat, tadi Arsya udah nelpon Reyhan dan bilang semua yang Farhan suruh. Apa Farhan yakin, Reyhan nggak akan bikin Arsya patah hati lagi?" ucap Arsya dengan ekspresi lucu andalannya, yang membuat siapapun gemas.
"Iya, lo tenang aja." Farhan berucap sambil terus berjalan pada pinggiran pantai berpasir putih ini, pantai eksotis ini memiliki air yang berwarna biru bening, sangat cantik sekali apalagi dipadukan dengan pohon kelapa di sekitarnya semakin kian terpampang nyata betapa indahnya ciptaan Tuhan. Meski pantai ini bukan tempat wisata, banyak dari orang dari luar kota yang datang untuk sekedar singgah, menikmati sunset.
"Farhan ngapain ngajak Arsya ke pantai sih, kan Farhan tau, Arsya nggak suka pantai, walau kata orang dia indah, tetap Arsya nggak suka."
"Farhan mending kita pulang aja yuk, please Arsya takut ngelihat ombak." rengek Arsya tiba-tiba pada saat melihat ombak sedang bergerak menuju ke pinggiran pantai, Arsya langsung berjengkit dan naik ke punggung Farhan seketika itu juga.
"Farhan, Arsya takut! Ayo pulang!" Arsya berteriak histeris pada saat ombak tersebut menyapu kaki Farhan.
Farhan tertawa renyah. "Dasar anak kecil." gumam Farhan sambil menggelengkan kepalanya. "Yaudah yuk pulang, daripada lo pingsan kayak waktu kita pacaran dulu, ribet tauk." imbuh Farhan sambil menggendong Arsya dan dibawanya menuju jalanan pedesaan untuk kembali pada rumah mereka masing-masing.
"Woi, Sya. Lo di rumah makan beras satu karung yah, badan lo berat amat," ledek Farhan sambil cekikikan.
Arsya refleks langsung mengeplak punggung Farhan telak, saking sebalnya. "Sembarangan!"
"Sakit kali," Farhan meringis kesakitan.
"Udah, cepetan pulang." Arsya merengek sambil menghentak-hentakan kakinya, membuat Farhan hampir terhuyung ke pantai, beruntung Farhan bisa menjaga keseimbangan sehingga tidak akan ada insiden dua orang murid SMA mati tenggelam secara bersamaan.
Tbc!
Yuuhuuu! Part 25 sudah meluncur, nantikan kelanjutan kisah ini selanjutnya yah.
Dont forget for vomment :)
See you next time, loveyu readers 😍
KAMU SEDANG MEMBACA
Reyhan dan Arsya [Completed]
Ficção Adolescente[Sequel Chatting With Reyhan] 🌞 Disarankan untuk membaca cerita Chatting With Reyhan terlebih dahulu🌞 Reyhan tidak suka dengan orang yang berbicara seperti burung beo, alias berisik. Reyhan lebih suka ketenangan, rumput hijau dengan langit biru se...