EXTRA PART: Membuat Kisah

2.3K 95 5
                                    

📝 : Untuk mengingat, silahkan baca part terakhir sebelum membaca ini.



EXTRA PART: Membuat Kisah





Sudah berapa lama ia disini? Entahlah, ia tidak berminat menghitung waktu semenjak kemari. Negeri ini panas, seperti yang kakaknya katakan. Cadar dan tudung besar sudah melekat ditubuhnya. Katakanlah ia sudah mulai terbiasa dengan kehidupan disini, tidak terkecuali gaya berbusana. Kulitnya yang putih akan memerah diterpa teriknya sang surya. Mendongakkan kepala, sepertinya sang surya memberikan energi lebih kepada negeri ini. Penglihatannya pun seketika menyipit, tidak tahan.

"Nona Almeta, roti yang Anda minta sudah siap."

Menghentikan kegiatannya, ia menoleh. Tersenyum ramah meskipun tidak terlihat dan mengambil barang yang disodorkan kepadanya. "Terimakasih, bibi. Tidak ada yang tahu identitasku disini, panggil saja Sivia."

"Saya mana berani, nona." Wanita berpakaian serba gelap ini mengintip Sivia malu-malu, "Anda sering berkunjung kemari, hari ini Anda akan kesana lagi?"

Mengangguk sebagai jawaban, sebelum para pengawal kakaknya menemukannya, Sivia harus bergegas pergi. Lagi-lagi ia kabur tanpa izin, ia yakin kakaknya sedang mencarinya sekarang. "Sekali lagi, terimakasih. Aku pergi dulu, assalamu'alaikum."

"Wa'alaikum salam, sering-seringlah kemari, Nona." Jawab pedagang itu ramah.

"Sampai jumpa, bibi." Sembari membawa makanannya, ia langsung berjalan menyusuri kota. Rasanya jalan yang ia tapaki sudah sangat dihafalnya.

Bangunan ditempat ini sangat berbeda dengan negerinya dulu yang sebagian besar menggunakan kayu. Beruntung cadar yang ia pakai melindunginya dari pasir yang tertiup saat angin datang. Jalan yang ia telusuri semakin menyempit, serupa gang. Berbelok ke kiri ia tersenyum melihat siapa yang menunggunya disana.

Kerumunan yang semula fokus kepada suatu objek serentak menoleh kearahnya dan tersenyum bahagia, "Bibi! Bibi datang!"

Langkah-langkah kecil serentak berlari kearahnya. Menyambut mereka, sembari menyerahkan makanan yang dibawanya Sivia mengusap puncak kepala mereka dengan sayang. Waktunya yang membosankan seketika berubah menjadi berharga disaat-saat seperti ini.

Kakaknya Ali yang mengenalkan tempat ini kepadanya. Mereka anak-anak terbuang yang sebagian besar telah kehilangan orangtua. Membunuh rasa bosannya di istana, tanpa ragu Sivia mengingat tempat ini. Kakaknya Ali memberi mereka kehidupan layak, dan makanan yang cukup setiap hari, seminggu sekali juga ada guru yang datang untuk mengajari mereka. Tapi, melihat bagaimana mereka tersenyum bahagia secara langsung membuatnya tanpa enggan datang kemari.

"Yusuf! Anak ini bagaimana?" Teriakan itu menghentikan gerakan Yusuf sebagai kepala komando yang tengah membagi makanan.

Pandangan Sivia ikut beralih, ada beberapa kerumunan anak yang masih disana enggan membubarkan diri.

"Ada apa, Yusuf?" Tanya Sivia.

Yusuf, anak laki-laki yang kurang lebih berumur sepuluh tahun menatap Sivia dengan lensa gelapnya. Sivia yakin lima sampai sepuluh tahun kedepan, paras anak ini akan membuai siapa saja yang melihatnya. Mata yang tegas dengan bulu mata yang lentik, serta hidung mancung, dan kulit kecoklatan akibat sering dibawah sinar matahari. Manis sekali.

Yusuf menoleh sebelum menyerahkan roti yang dipegangnya ke anak yang lain, anak itu tampak ragu berucap, "Ada bocah aneh yang tiba-tiba datang."

"Siapa?"

Yusuf menggeleng, "Tidak tahu, kami terus mengajaknya berbicara tapi sepertinya dia tidak mengerti. Dia terlihat.... berbeda dengan kami."

Penasaran, Sivia melangkah diikuti Yusuf dan beberapa anak lainnya.

"Aku bilang aku tersesat! Astaga, kalian tidak mengerti?"

Sayup-sayup Sivia mendengarnya. Pantas saja, itu bukan bahasa yang bisa anak-anak ini pahami, tapi tidak asing lagi baginya.

Kerumunan yang ada disana mengambil jarak membiarkan Sivia melihatnya. Ingin memastikan, gerakan anak-anak ini membuat bocah yang ada disana seketika berbalik.

Waktu melambat, gerakan anak itu bagaikan bom waktu yang siap meledak kapan saja didalam tubuhnya. Tatapan itu, kulit putih dan pakaian kusut yang terkotori oleh debu sama sekali tidak membuatnya asing dengan paras rupawannya. Bocah cilik menawan yang pertama kali ia lihat, sekaligus yang pertama membuka kembali luka lamanya.

Pangeran Bennedict, putra Kaisar Alenta ada disini.

Ap-apa yang anak itu lakukan disini?!

"Bibi baik-baik saja?"

Mengerjap dari keterkejutannya, tenggorokan Sivia mendadak kering, sulit bersuara ia memilih menggangguk.

Tersenyum cerah, pangeran tersesat itu mendekatkan diri kepada Sivia, "Bibi mengerti apa yang aku katakan? Syukurlah! Aku sudah berkeliling dan tidak ada yang mengerti apa yang aku katakan."

Ia yang patut bersyukur, berkat cadar ini pangeran kecil itu tidak mengenalinya. Entah lah, ia sendiri kurang yakin pangeran itu mengingatnya atau tidak.

Merendahkan suaranya Sivia berkata, "Kau perlu sesuatu?"

Pangeran itu tiba-tiba terdiam dan menatapnya, "Bisakah Bibi melakukannya?"

"Apa?"

"Membantuku."

"Bibi, kau mengenalnya?" Sivia berbalik dan Yusuf masih berada dibelakangnya. Menatap penasaran karena tidak mengerti apa yang ia dan anak itu bicarakan.

Sivia terdiam dan sekilas melihat kearah Ben yang mengamati interaksinya, menghela nafas panjang Sivia menggeleng, "Tidak."


"Via..."

Jantungnya mau lepas rasanya!

Ada apa dengan anak ini?! Apa dia mengetahui identitasnya? Mustahil! Lagipula, apa yang anak itu lakukan disini? Tanpa pengawal pula. Jangan bilang bahwa ia sedang berkunjung dan terpisah dari ayahnya.

Menoleh karena terkejut, suara kecil itu yang berbicara, dengan tatapan datar yang sangat dikenalinya. Versi kecil dari sosok yang tidak pernah hilang dari benaknya. Tangannya mulai berkeringat dingin.

"Viales. Itu namaku, Bibi bisa memanggilku Ales."

Dia paham pangeran Ben menggunakan nama samaran. Cukup riskan mengumbar identitas asli saat ayahnya adalah seorang penguasa negeri besar seperti Alenta.

Tersenyum kecil, bocah yang mengaku bernama Viales ini menatap Sivia. "Bibi berbohong, tatapan terkejutmu sudah menjelaskan bahwa  Bibi mengenaliku, ah...tidak maksudku wajah ini. Mereka sering mengatakan wajahku mirip putra Kaisar Alenta, gila bukan?"

Sivia mengamati anak itu dengan seksama. Dari ujung kaki sampai kepala, dan wajah itu dikenalnya sekaligus terasa asing baginya. Saat anak itu tersenyum ia baru sadar setelah melihatnya lebih teliti.

Pangeran Bennedict tidak memiliki lesung pipi

Dan tanpa alasan detak jantungnya memburu. Ada apa ini? Senyum itu, hangat sekali.






















👑👑👑




Ini apaaa??? 😂 udah end kok ada extranyaaa??? 😆 haha...aku sayang sama #Ales, sayangi dia juga ya! 😍

EL SULTAN √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang