23. Permintaan

2.6K 158 10
                                    

EL SULTAN : 23. Permintaan


















Hidup untuk bahagia, bahagia untuk hidup tapi jika hidup hanya dipenuhi kebahagian sama saja itu bukan hidup. Jika tidak merasakan sakit berarti tidak hidup, masalahnya jika yang dirasakan hanya sakit setiap waktu apakah itu namanya juga hidup? Jadi, apakah makna hidup sesungguhnya?



Kau tidak bisa hidup jika sakit, kau juga tidak bisa hidup jika bahagia saja





Dan bolehkah Sivia memilih opsi terakhir? Sivia ingin hidup... dan tentu saja bahagia.



Yang dilakukannya adalah berjalan tapi langkahnya seolah tidak ada di tempat, matanya memandang lurus kedepan, bukan untuk memandang jalan melainkan menerawang kejauhan.



"Sangat tidak sopan sekali!"



Lengannya disentuh lembut oleh seseorang, Sivia tersadar dari lamunannya dan mendapati seorang dayang sedang menyadarkannya. Sivia lupa bahwa ia tidak berjalan sendiri, setiap langkahnya harus selalu diikuti, setiap tindakannya harus selalu diawasi.

Lengannya disentuh lagi membuat Sivia sadar, ia hampir saja tenggelam dalam lamunan lagi.



"Nona..."



"Maaf?" Sivia keheranan kemudian beralih kearah yang dayang itu isyaratkan, cukup bingung kenapa mereka berhenti disini.

Sivia menatap kedepan dan mengerutkan kening. Seseorang sedang berdiri tidak jauh darinya, dengan gaun yang luar biasa seolah dijalin khusus untuk pemiliknya, mata yang menyorot ketegasan, dan banyaknya dayang yang mengikuti wanita itu. Dagu yang sedikit diangkat menunjukkan betapa berkuasa wanita berumur didepannya.





Siapa?



"Kau membuatku menangkap kesan buruk saat pertama kali melihatmu. Tidak punya tata krama sama sekali!"


Angkuh, itulah kesan yang Sivia tangkap dari cara bicara dan ekspresi itu. Sedikit mengganggunya saat wajah itu menunjukkan sikap tidak bersahabat kepadanya.


"Nona hormatlah, beliau adalah ibu suri."  Dayangnya menipiskan jarak dan berbisik kepada Sivia.



Ibu suri?




Ditengah keterkejutannya Sivia membungkukkan setengah badan, mengambil posisi hormat "Hormat saya kepada Ibu Suri, maaf atas ketidaksopanan saya."




"Aku tidak terlalu terkejut," pandangan ibu suri menelisik, melihat Sivia dari ujung kepala sampai ke ujung kaki sebelum berdecih meremehkan, tentu saja dengan gaya anggunnya "Abioye, desa terpencil. Pelajaran tata krama tidak mungkin sampai ke sana."




"Maaf," Sivia menundukkan kepala dan memilih tidak menyerap perkataan Ibu Suri lebih lanjut, kalimat itu sangat tidak pantas masuk ke otaknya, apalagi sampai menuju hatinya.




Tentu saja menyakitkan








"Kau terlihat senang sekali, ya?" Ibu Suri memulai provokasinya, jangan salahkan Sivia jika menganggap demikian karena itulah yang terjadi, Ibu Suri seakan antipati kepadanya "Kemolekan tubuhmu memang tidak diragukan, tentu saja banyak pria yang rela bersujud untuk menikmatinya."




Itu sedikit- tidak! Penghinaan itu sangat keterlaluan!






"Aku jadi khawatir, kalau hal itu sudah tidak ada lagi, apa yang akan terjadi padamu? Dibuang?"



EL SULTAN √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang