43. Percakapan yang Belum Usai

2.1K 148 10
                                    

Finally my account back!! Habis ke lock soalnya 😅

Budayakan Vote sebelum membaca 🌟








EL SULTAN: 43. Percakapan yang Belum Usai




















Seperti dugaannya, Sivia mematung setelah mendengar perihal rencana pernikahan mereka.

Sivia berdiri dan memandang Kaisar dengan wajah kaku, mulutnya bergerak gelagapan. "Ap...apa maksud anda, Yang Mulia?"


Kaisar berpaling sejenak, mencoba menetralkan gemuruh didadanya sebelum menjuruskan intensinya kepada Sivia. "Kau cukup pintar memahaminya, sepintar otakmu mengatur berbagai cara untuk pergi dari istana."

Telak.

Sivia tidak punya kesempatan untuk membantah. Dirinya bersalah karena pergi begitu saja, tapi kepergiannya bukan tanpa sebab. Sivia mendongak hanya untuk melihat bola mata yang sekarang sedikit beriak saat menatapnya.

Sivia ingin tahu apa arti tatapan itu. Marah, kecewa, atau mungkin hal lain? Dirinya tidak pandai menebak.

"Seharusnya Yang Mulia melepaskan saya," suara Sivia rendah terdengar seperti gumaman. Mata gadis itu menerawang jauh dengan nanar. Mungkin kata yang akan ia lontarkan akan melantur kemana-mana. Dirinya tidak akan menayakan kebenaran akan perkataan permaisuri dan sebagainya. Sivia hanya ingin mengatakan apa yang tengah difikirkannya. "Terlepas dari semua hal yang telah terjadi, sudah seharusnya anda tidak membiarkan saya tetap tinggal."

Kaisar bersedekap dan menatap Sivia lebih dingin, aura ketidaknyaman langsung menyergap bagi siapa yang bisa merasakannya. Kaisar nampak menimbang dalam hati. "Kau mulai lagi, Sivia."

Entah mendapat kekuatan dari mana Sivia mendekat dan berhenti saat jaraknya hanya satu langkah didepan Kaisar. Kepalanya mendongak, melihat sosok yang menjulang tinggi dihadapannya.

Helaan nafas terdengar dari bibir mungil itu. "Anda dan Permaisuri hanya butuh waktu. Semuanya hanya masalah waktu."

"Itukah yang kau inginkan?" Kaisar bersedekap dan membalas tatapan itu, suaranya terdengar rendah dan menghanyutkan, seolah tanpa emosi. Dibarengi dengan raut dingin itu, sudah dipastikan Kaisar layaknya sosok pria kejam yang mempesona dengan caranya sendiri. "Melihatku bersama permaisuri, itukah yang kau mau?"

Mata Sivia mengerjap dan tenggorokannya mendadak kering. Haruskah ia menjabarkannya sekarang? Ada sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan, membayangkan kebersamaan permaisuri dan Kaisar. Relakah ia? Sivia mengepalkan tangannya erat, mencoba menormalkan logikanya agar tidak terhanyut perasaan yang perlahan menghinggapinya.

Dengan susah Sivia berucap, "Sejak awal kalian memang ditakdirkan bersama."

"dan menurutmu...." Kaisar menggantung ucapannya menanti reaksi Sivia yang tetap kukuh dengan keyakinannya. "Pertemuan kita bukan bagian dari takdir?"

Sivia diam dan Kaisar tahu gadis itu kehilangan kata-kata.

"Mari kita luruskan masalah ini, Sivia." Kaisar berkata enteng, sosok itu melangkah menghilangkan jarak diantara keduanya, tanpa tahu gadis didepannya sedang menahan debaran yang tidak karuan. "Kau berkata seolah aku harus memilih antara dirimu atau permaisuri. Aku bersama permaisuri maka aku harus melepasmu, jika bersamamu aku harus melepas permaisuri, begitu?"

Sivia tertohok. Perkataan Kaisar sama sekali tidak salah, dirinya baru menyadari bahwa apa yang ia sampaikan secara garis besar dijelaskan Kaisar dengan gamblang.

Kaisar tersenyum tipis dengan mata menatap datar tanpa ekspresi, "Jangan berkata bahwa kau sudah melibatkan perasaanmu, Sivia. Kau sudah berjalan terlalu jauh jika seperti itu. Kebutuhanku akan dirimu, kau pasti sudah memahaminya."

Benarkah ia sudah jatuh dalam perasaan?

Sivia menundukkan pandangan menghindari kontak mata dengan penguasa itu, tangannya beralih mencengkram gaunnya dengan erat. Seharusnya Sivia sadar bahwa Kaisar hanya menunjukkan perhatian dan tidak pernah menjanjikan perasaan lebih dari itu.

Pertanyaan lain langsung menyergapnya, benarkah ia yang selama ini berharap terlalu jauh?


"Dan kau melakukan semua ini hanya untuk Keea, bukan?" lanjut Kaisar.


Ya, benar


Tapi bukan seperti ini. Tidak dengan kata-kata Kaisar yang menjadi momok menakutkan baginya. Sivia ingin menyangkal ataupun mendebat, tapi otaknya kehilangan alasan tentang hal itu. Karena semuanya memang benar, Kaisar tidak pernah melontarkan perasaaanya langsung kepada Sivia, tidak lebih dari tindakan yang Sivia sadari tepah disalah artikan olehnya.

"Aku sudah membebaskan Keea, kini giliranmu membalas kebaikan hatiku, Sivia."

Sivia berganti memegang dadanya yang berdetak dan berteriak nyaring penuh kesakitan, seolah ada hal yang di gores membabi buta disana. Matanya mendung dengan kabut-kabut samar disana.

Dirinya begitu sensitif akhir-akhir ini, bendungan itu tidak dapat ditahannya lagi sehingga membuat aliran deras yang melintas dengan bebasnya.

Kaisar termangu, mendapati respon yang tidak disangkanya. Biasanya, Sivia akan mendebat dan menutupi segala perasaan yang gadis itu alami.

Mengenai air mata....

Kaisar tidak pernah memprediksikan hal itu dan berbagai kesimpulan mulai menghampirinya. Gadis itu sudah melibatkan perasaannya, melihat betapa sakitnya air mata itu sampai keluar.

Kaisar mengerutkan kening terlihat tidak nyaman saat air mata itu semakin gencar untuk keluar. Kaisar tidak menyalahkan Sivia, dirinya hanya memaparkan apa yang ada dalam fikirannya, menebak situasi ditengah kegundahan hatinya yang tidak menentu, dan ada perasaan tidak nyaman yang menggelayuti Kaisar saat ini, seperti bersalah?

Tangan Kaisar perlahan terangkat untuk mengelus pipi Sivia dan mengusap air mata yang mengalir disana. Keadaan hening membuat semuanya tampak dirundung kesunyian.



"Untuk apa air mata ini, Sivia?" Perkataan itu menyerupai bisikkan.

Pundak Sivia bergetar dan isakkan langsung lolos begitu saja. Gadis itu sampai tersengal-senggal, membuat Kaisar dengan halus menghela Sivia dalam pelukannya.

Tidak menyia-nyiakan kesempatan ini, Sivia langsung membalas pelukan itu tidak kalah eratnya. Meskipun perasaannya dirundung kegetiran, tapi dirinya tidak menampik bahwa kehangatan ini begitu menenangkan.

"Sa...saya..bu..kan..alat pem..pembuat anak...bukan, Yang...mu..mulia." Sivia tersendat sendat berbicara didalam rengkuhan Kaisar.


Kaisar mengelus rambut Sivia perlahan, hembusan hangat nafasnya membuktikan bahwa ada berjuta hal yang berusaha dibungkam mulutnya, memilih dan memilah hal apa yang pantas diucapkan.



Kaisar menunduk meletakkan wajahnya di ceruk leher Sivia sebelum berbisik dan mengeratkan pelukannya. "Jika seperti itu, berhentilah beranggapan bahwa hal yang aku lakukan hanya untuk permaisuri. Maka, aku juga akan berhenti menduga bahwa semua yang kau lakukan hanya untuk Keea."

Kaisar masih mendengar isakan disana, matanya menerawang dinding kamar dengan jauh. "Jangan membuatku marah lagi, Sivia. Kata-kataku bisa menyakitimu, lebih dari apa yang pernah kau bayangkan sebelumnya."





















***
Tbc

Bagaimana dengan part ini?!?!?!
Hope u like thisss ✌

Part ini pendek? Hehe..persiapan buat next part biar ga kehabisan bahan 😀

Vote comment jangan lupa eee!!!


Semangat vomment, besok author langsung up next part yeeahhh😁😁





Danke

Nuri Apori

EL SULTAN √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang