5.6 [END]

26.5K 807 90
                                    

Wendy pulang terpisah bersama Lay. Mereka berdua sedang makan malam disalah satu restoran pilihan Lay.

"Aku gak sabar dong nunggu fotonya tadi selesai dicetak. Mau aku pajang di tembok atas tv hihi. Kan bagus. Mana papa juga ikut foto gak nyangka banget deh. Hari ini aku seneng banget." ucap Wendy antusias.

"Aku deg-degan tau waktu liat papa kamu tiba-tiba dateng. Ternyata aku mendapat first impersion yang bagus, hehe." ungkap Lay.

"Dulu waktu aku sama Vito papa gak tau loh. Cuman mama doang."

"Berarti udah pertanda."

"Pertanda apa?"

"Pertanda udah dapet restu."

"Makanya buruan lulus."

"Kalo gak usah nunggu aku lulus gimana?"

"Hah?"

"Kagetnya biasa aja. Buruan dagingnya dimakan. Keburu dingin tuh."

Kemudian mereka makan sambil desela sedikit obrolan ringan. Wendy juga menceritakan kekonyolan dosen dosen saat ia sidang skripsi.

"Wen?" panggil Lay.

"Apa?"

"Nikah, yuk."

"A-apa? Kamu kalo ngegodain aku gitu, gak lucu, deh."

"Aku serius, Wen."

"Kok tiba-tiba, sih?"

"Biar aku diapartemen sana gak sendirian."

"Ya Tuhan, aduuuh, bapak Lay kesepian, ya?"

"Bukan cuman itu, Wen. Aku mau lebih serius sama kamu. Aku juga ngerasa umur aku udah makin tua dan udah sepatutnya buat nikah. Aku juga gak mau kalo kamu sampek direbut orang lain."

"Tapi, Lay. Aku baru aja wisuda. Aku juga masih mau ambil S2. Aku juga belom jadi advokat, gara-gara belom cukup umur. Aku pengen jadi advokat dulu."

"Tapi, Wen..."

"Lay, dengerin aku ya? Kamu selesaiin dulu study kamu disana. Aku tunggu kamu disini sambil nyelesaiin S2. Habis itu ditahun terakhir kamu kuliah aku udah selesai S2 terus daftar advokat. Pas kamu lulus aku udah jadi advokat. Kan udah clear semua."

"Ya udah, kalo mau kamu gitu. Aku tunggu. Yang penting setia, oke?"

"Siap."

"Aku besok udah balik loh, Wen."

"Kok cuman sehari?"

"Ya masak lama. Aku entar ketinggalan pelajaran lama dong."

"Oiya. Berangkat jam berapa besokm"

"Tujuh malem."

"Aku jemput, ya? Habis itu aku anter ke bandara okay?"

"Kamu nanti pulang sendiri. Gak baik cewek pulangs sendirian malem-malem."

"Aku gak nerima penolakan."

***

Pukul lima tepat. Wendy mematut dirinya didepan kaca rias miliknya. Kemudian ia menghela napas.

"Kenapa sih waktu yang gue lewati sama Lay kerasanya cepet?" tanya Wendy sambil masih bercermin.

Matanya berkaca-kaca. Namun, ia segera menggelengkan kepalanya dan menghapus air mata. "Dasar cengeng! Cuman ditinggal kuliah aja nangis. Udah, ah ayo berangkat kasian Lay kalo ketinggalan pesawat."

Kemudian ia mengambil kunci mobilnya dan pergi menuju rumah Lay.

Dalam perjalanan menuju bandara Lay dan Wendy hanya saling diam. Wendy masih berusaha menutupi kesedihannya sambil melihat ke arah luar jendela.

"Wen?" panggil Lay.

Wendy menoleh ke arah Lay dengan cepat. "Kok tumben diem aja? Kenapa?" tanya Lay.

"Gapapa."

"Bohong. Cerita dong, sama aku. Mumpung aku masih di depan kamu loh."

Wendy menggeleng sambil tersenyum. "Beneran kok, gapapa."

"Kamu mah sukanya gitu disimpen sendiri. Kenapa sih? Sedih aku balik ke New Zealand? Kemaren aku ajak nikah biar gak jauhan sama aku kamunya gak mau. Sekarang malah sedih gitu. Kan aku jadi bingung."

Wendy tersenyum. "Gapapa kok. Kalo sedih ya wajarlah. Kan orang tersayang aku mau pergi jauh dan bakal lama yang balik."

"Uluuh, gembulku ini, bikin gemes aja. Kamu kok makin cantik aja sih, Wen? Pipi kamu tembem gitu lucu pengen karungin bawa ke New Zealand."

"Dasar kang gombal!"

Sesampainya di bandara Wendy kembali mengantar Lay di pintu keberangkatan. Hanya saja bawaan Lay kali ini hanya satu tas punggung saja.

"Libur semester besok kira-kira pipi kamu bakal tambah gembul gak ya?" tanya Lay sambil mencubit pipi Wendy.

"Iisshh, diliatin orang tau!"

"Gapapa, kan aku bakal gak ketemu gembulku lama. Mbul, sini peluk dulu." kemudian Lay merentangkan tangannya dan Wendy memeluknya.

"Mbul jangan nakal, ya? Awas aja kalo nakal. Aku nanti gak pulang pulang."

"Kok kamu sekarang jadi panggil aku gembul sih?"

"Gapapa lucu aja, hehe. Wen, jangan nangis waktu aku gak ada, ya? Nanti kalo kamu sampek nangis waktu aku gak ada yang hibur sama peluk kamu kan gak ada."

"Aku usahain, deh."

"Kalo kangen sama aku jangan nangis. Bilang aja, telfon apa chat gitu. Jangan nangis, aku kerasa tau kalo kamu nangis."

"Masak?"

"Kamu tadi sebelum jemput aku nangis, kan? Hayo lo ngaku!" ucap Lay sambil menjauhkan tubuhnya dan menatal wajah Wendy.

"Oke kali ini bener. Kayaknya emang lagi ngepas aja."

"Tuh kan. Isshh, kamu mah."

"Hehe, udah ah. Sana masuk, entar ketinggalan pesawat." ucap Wendy sambil melepas pelukan Lay.

"Mbul, jangan nangis lagi, ya?"

Wendy kemudian mengangguk dengan cepat. "Ya udah aku masuk. Jaga diri, ya? Awas, kalo sampek aku tau kamu nangis lagi."

"Iyaa."

"Mbul, kamu kelupaan."

"Kelupaan apa?"

Tanpa menjawab Wendy lagi Lay datang dan mencium bibir Wendy untuk beberapa saat.

"Bebel banget ya kamu tu! Udah dibilangin ijin dulu! Mana di tempat umum gini lagi!"

"Hehe, gapapa. Kan sama calon istri sendiri."

"Lay!"

"Udah, ya sayang. Aku masuk dulu. Daaa mbul sayangku." setelah mengucapkan itu Lay mencium pipi Wendy dan pergi berjalan ke arah pintu keberangkatan.

Wendy hanya terdiam kemudian tersenyum ketika sesekali Lay menoleh sambil tersenyum menampilkan lesungnya.

Sejauh apapun, selama apapun. Akan ku tunggu kepulanganmu.

The End

My Killer LecturerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang