Rian.
Remaja irit ngomong yang gemar bermain tepok bulu angsa, dan misterius.
Anya.
Gadis dingin, minim ekspresi dan mempunyai banyak rahasia.
Rian dan Anya
Sepasang insan manusia yang dipertemukan oleh takdir. Mempunyai kesamaan rasa, yaitu sama sa...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Bianglala itu bergerak perlahan semakin ke atas, matahari bergerak turun ke peraduan, semburat oranye terang bercampur jingga yang anggun, membentang luas menghiasi cakrawala.
Di kolong langit, sepasang anak manusia saling duduk berhadapan, berusaha menyusuri cakrawala itu dengan tenang, damai.
Ah, terlalu diksi, langsung saja ke pokok adegan nya.
Sekarang sudah sore dan hampir sunset. Rian dan Anya duduk di atas bianglala, menikmati pemandangan. Tidak masalah untuk kedua nya berlama lama di sana, karena memang tidak ada yang takut berada di atas kincir angin raksasa yang bergerak dengan perlahan. Bianglala yang tenang, tidak seperti kora kora tadi yang membuat Anya hampir jantungan.
Tidak banyak percakapan setelah Anya menceritakan semua nya. Ia hanya bicara seperlu nya. Menurut Rian, Gadis itu butuh waktu, ditambah pelukan tadi, membuat suasana diantara keduanya menjadi canggung.
Gadis itu mengedarkan pandangan nya, gedung, pepohonan dan benda benda di bawah nya terlihat kecil, dari atas sana Ia dapat melihat semesta.
"Lo liat deh pohon yang berdiri sendiri di sana?"
Anya menatap bertanya, belum mengerti dengan apa yang Rian ucapkan.
Kemudian Pemuda itu menunjuk pohon itu dengan dagunya.
Sekarang Anya mengerti dan mengangguk.
"Pohon itu sendirian, jomblo banget ya dia." Rian tertawa pelan.
Anya menautkan alisnya, menatap Rian dengan bingung. "Kenapa?"
"Gue gak pinter berfilosofi, tapi gini, pohon itu sendirian tapi dia bisa berdiri kokoh."
Rian terdiam sebentar seraya memikirkan sesuatu
Anya memilih bersuara saat Rian tidak kunjung melanjutkan omongan nya. "Terus?"
"Bentar, gue lupa mau ngomong apa."
Anya tertawa melihat ekspresi Rian yang sedang berpikir keras.
"Intinyaaaa?"
"Oke, jadi gini ya Sevanya. Pohon itu sendirian tapi dia bisa hidup dan tumbuh kokoh walaupun angin yang melewatinya bikin daun daun di pohon itu goyah, dan bikin rantingnya patah atau bahkan bikin pohon itu tumbang, tergantung angin itu sebesar apa. Dia gak bisa menggindari angin itu, dia cuma bisa menerima.
"Ini filosofi tentang pohon dan angin.
Pohon itu sering di lewati angin, dia gak bisa mengindari angin itu, dia cuma bisa menerima. Pohon itu hidup sendirian tanpa ada sesuatu di depan nya yang bisa nahan angin itu. tapi dia tetap tumbuh kokoh walaupun angin angin yang melewatinya bikin daun daun di pohon itu goyah, dan bikin rantingnya patah atau bahkan bikin pohon itu tumbang. Tapi pohon itu ikhlas, dia menerima segala cobaan hidup, tanpa pernah menyesal dan mengeluh Dia kembali memulai hidupnya yang baru, bertumbuh dari nol. Mulai dari batang, ranting kemudian daun daun rindang yang dapat melindungi manusia dari cahaya matahari."
Rian menarik napas nya memberi jeda kemudian kembali berbicara.
"Intinya, berdamai dengan keadaan , gak perlu ngurusin yang gak penting. Gak perlu nyesel dan berandai bahwa waktu akan berputar kembali." Kata Rian dengan nada lembut dan sedikit kekehan.
Anya terpaku, dia tidak menyangka bahwa Rian bisa berbicara seperti itu.
"Hidup ini mesti nya di syukurin, bukan di sesali."
Rian menatap Anya dalam diam.
Anya membalas tatapan nya.
"Kalo lo, pernah kehilangan?"
Rian diam sebentar kemudian mengangguk.
"Iya."
"Beda kalo gue kasus nya sama lo, tapi sama sama kehilangan seseorang haha."
"Siapa?"
"Ada lah, orang."
"Anak Orok juga tau kalo oranggg Mas Joommm, masa setan." Pengen Anya getok. Untung temen hehee.
"Kok lo ngikut manggil manggil gue Mas Jom sih?"
"Hahaha biarin."
"Gak boleh ah, panggil gue Rian aja. Khusus buat lo. Rian ganteng juga boleh."
"Ih, narsis banget siih."
"Biarin."
"Siapa sih, gue kepo nih." Anya juga tidak sadar berbicara seperti itu, seorang sevanya bisa kepo? Oh, tidak mungkin. Gadis berkuncir satu itu menyanggah dagu dengan tangan nya, menunggun Rian bercerita
"ada, cewek. Gue sama dia temen sekolah pas SMA, deket banget, kalo kata oeang udah kaya surat sama perangko. Gue sahabatan sama dia, gue suka sama dia, dia juga, pokoknya kita saling suka. Pas gue baru baru masuk di pelatnas, hubungan gue sama masih baik baik aja, dan pas beberapa bulan, dia gak ada kabar, gue hubungin gak aktiv. Dia pergi keluar negri tanpa pamintan sama gue."
Menyesal tidak menyesal Anya memaksa Rian bercerita. Hatinya jadi sesak tiba tiba.
"Trus?"
"Yang tersisa cuma ini."
"Oh, makanya lo gak bisa kehilangan jam tangan itu ya."
"Iya, itu satu satunya benda yang bisa bikin gue inget dia."
"Sekarang...Lo.. masih cinta sama dia?"
Rian mengangguk. "Masih."
Anya terdiam sambil menunduk ke bawah, perasaan nya tak karuan, campur aduk. Dada nya sesak seperti dipukul.
Wajar bukan kalau Anya terbawa perasaan pada Rian?
"Eh sunset nya bagus banget, liat deh."
Anya mengarahkan pandangan nya ke tempat Rian memandang.
Anya mengangguk. "Iya." Suaranya parau. Dia menatap senja dengan mata berkaca kaca. Ah, senja memang selalu menciptakan kenangan buruk untuknya.
Dari sisi samping Rian dapat melihat dengan jelas perpaduan senja dengan lekuk wajah Anya, mata, hidung, bibir, dagu dengan langit oranye jingga sebagai dasarnya.
Rian mengarahkan lensa kameranya pada Gadis itu.
Satu gambar terambil dengan sempurna.
Bianglala itu perlahan bergerak turun, membuat sepasang insan manusia itu kembali menapak bumi.
"Dari tadi, kita cuma naik bianglala, lima kali berturut turut. Satu permainan lagi sebelum pulang, gimana?"
"Hah? Naik apaan lagi?"
Rian meraih lengan Anya dan menariknya mengikuti kakinya melangkah.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.