42 : Perasaan yg tak bisa dijelaskan

694 68 1
                                    

BAB 42

Pria paruh baya itu semakin mengerutkan keningnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pria paruh baya itu semakin mengerutkan keningnya

"Arditara?"
Anya mengangguk

"Ayah mu dari mana asalnya?"

"Jakarta.".

"Kamu anaknya Dio Arditara?

"Iya, bapak kenal dengan papa saya?"

Pria itu mengangguk "Dia sahabat lama saya, om turut berduka cita ya Anya."

"Terimakasih."

Obrolan mereka berlanjut sembari berjalan menyusuri sudut sudut gedung club bulutangkis itu.

"Jadi kamu toh anak perempuan yang waktu itu sering di bawa Ardi main ke club ya, sekitaran umur mu 5 tahunan lah, masih ingat?"

Anya mikir sebentar lalu menggeleng sambil tersenyum seadanya.
Itu sudah sangat lama, walaupun tidak ingat persis, tapi anya bisa merasakan nya.

Langkah mereka berhenti saat tiba di lapangan.

"Dulu waktu kecil, kamu pernah mukul mukul kok di lapangan ini dengan papa mu."

Anya menatap lurus lapangan itu sambil mendengarkan omongan pria di sampingnya.

Sedikit nostalgia, bisa mengobati rasa rindu anya dengan papa nya.

"Anya, saya yakin kemampuan kamu sudah tidak di ragukan, kamu anak nya Dio dan terlebih di rekomendasikan oleh Ci Susy, tes ini hanya formalitas saja, saya boleh lihat permainan kamu?"

Sebenarnya Anya tidak mau menggunakan nama Ayahnya untuk mempermudah askes masuknya ke club badminton itu.

Dia juga sudah di tawari oleh Ci susy untuk bergabung langsung ke pelatnas, tapi dia merasa itu terlalu instan, dia ingin merasakan beberapa turnamen, meraih juara sehingga dia pantas dan layak untuk berada di pelatnas karena jeri payahnya, bukan atas nama Ayah nya.

"Indonesia sangat membutuh orang yang seperti kamu Anya, selamat bergabung ya."

"Terimakasih pak."

"Panggil saya coach."

"Iya Makasih coach."

Pukul delapan dan ini malam minggu. Waktunya mereka untuk refreshing otak setelah melewati sekian banyak rangkaian latihan selama lima hari kebelakang.
Rian, Fajar, dan Ginting duduk di depan televisi ukuran 41 inc di kamar Rian.

Rian sempat heran, kenapa mereka kalo apa apa, pasti ke kamar Rian. Dan jawaban teman teman laknat nya itu adalah bahwa kamar Rian adalah kamar terapih diantara mereka, apalagi kalau gak ada kevin, udah kayak kamar hotel katanya.

Mata mereka terfokus menatap layar dengan jempol yang mengontrol stik ps
Seru sekali, kalau urusan main ps mereka gak bisa di ganggu gugat.

"Kalah telak!" Teriak Fajar di selingi tawaan ringan ketika layar besar itu memunculkan bacaan Game Over.

Membuat Ginting ngoceh ngoceh.

"Ya kalo main game boleh lah kalah, kalo soal cewek, lo semua kalah hahaha. Gue udah punya, lo pada belum." Ucap Ginting dengan nada kalem kalem mengejek nya. Nyebelin.

"Heh, otw nih, nunggu yang mau ama gue aja." Protes Fajar dengan nada Tidak terima, membuat Ginting tertawa terpingkal pingkal.

"Turut prihatin gw ama lo jar." Balas ginting di sisa tawanya

"Trus lo kenapa gak pergi sama mitzi? Ini kan malming." Tanya Fajar

"Lagi marahan yaa?" Lanjutnya, terselip nada godaan di dalamnya.

"Apaan sih, gak. Dia lagi fokus ujian, jadi sebagai pacar yang baik, gue harus ijinin dia buat belajar yang bener."

"Oh gituuu, ya ya ya, kalo lo jom?"

Rian yang sedari tadi tidak menyimak omongan kedua teman nya hanya menatap Mereka dengan tatapan bertanya.

"Apa?"

Ginting berdecak. Kebiasaan Rian mah.

"Lo masih sama Anya?"

"Lah kan Sania udah balik broo, ya dia sama sania laaah."

"Oh iya, CLBK ya, cinta lama belom kelar hahaha."

"Apaansih." Setelahnya Rian terdiam, hatinya di penuhi dengan kebimbangan.

Dia hanya menghela napas.

Pandangan mereka tertuju pada pintu berwarna putih yang baru saja terbuka.
Muncul kevin dengan jaket denim yang di sangklekan di pundaknya.

"Darimana lo?"

"Abis jalan sama Anya."

"Wah, makan temen lo vin, parah."

"Sama siapa? Si jom? Mana ada, dia kan cuma temenan sama si Anya. Jadi bebas dong, iya kan jom?"

Rian menghela napasnya kemudian beranjak dari duduk nya dan melangkah keluar pintu dan berhenti pada di kantin yang kalo malem emang sepi banget.

Paling kalo ada Jojo, dia suka nongkrong disitu.

Kalo enggak, paling cuma ada Bu Nila, tukang masak di kantin yang menjamin kesejahteraan para Atlet.

"Bu, mau wedang jahe ya." Rian kemudian duduk di salah satu kursi dan menyandarkan punggungnya, jari tangan nya di masukan ke saku celana.
Matanya terarah pada meja kayu itu.

Tiba tiba senyum manis dan suara tawa Anya datang di pikiran nya tanpa permisi.
Membuat bibirnya otomatis melengkung keatas.

Ada yang mengganjal di hatinya. Pertanyaan yang selalu Rian tanyakan kepada dirinya sendiri.

Apa dia mencintai Anya?
Kenapa Rian kesal saat mendengar Kevin jalan dengan Anya?

Apa dia mencintai Anya?Kenapa Rian kesal saat mendengar Kevin jalan dengan Anya?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

TBC

The way I love You [Rian Ardianto] TAMATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang