59 : Tak Pernah siap

888 80 4
                                    

BAB 59

Rian menatap nanar ruang keluarga di rumahnya.

Kursi kayu, Figura foto keluarga, Raket kusam yang di gantung pada dinding bercat cream itu dan yang terakhir bingkai yang berisi foto nya dengan Ayahnya, foto itu diambil saat Rian memenangkan pertandingan bulutangkis perdana nya.

Benda benda itu sangat bersejarah, sangat berarti untuknya.

Dan kini semua nya tinggal kenangan.
Yang akan Rian lihat saat ia merindukan ayahnya.

Biasanya saat pulang kerumah setengah tahun sekali, Rian akan mengobrol dengan ayahnya di depan teras, sekarang sudah tidak bisa.

Kehilangan adalah hal yang paling Rian benci.

Dan waktu lah dalang di balik semua itu.
Dibalik kesedihan, kekecewaan, juga kehilangan.

Tanpa Rian sadari, seorang gadis berkuncir satu itu menatap punggunya dengan sendu.

Kehilangan memang membuat seseorang menjadi menyedihkan. Dan di tinggalkan Membuat seseorang menjadi makhluk yang paling malang.

Anya menghela napasnya, dia merasakan apa yang Rian rasakan.

"Asalamualaikum, Rian." Suara Anya memecah keheningan ruangan itu. Rian menoleh, mendapati Anya berdiri tidak jauh dari nya.

Anya terkejut, penampilan Rian kacau sekali, kemeja putihnya di gulung sampai lengan, rambutnya berantakan, wajahnya pucat, matanya sembab, hidungnya merah.

Perlahan langkah kaki Anya bergerak mendekatinya.

"Walaikum salam,"

"Gue turut berduka ya."

"Makasih."

"Jangan sedih Rian, Ayah lo udah tenang disana, kalo lo sedih dia juga pasti ikut sedih."

Rian terdiam.

"Walaupun berat Lo harus belajar iklas."

"Gue-Gue cuma belum siap kehilangan dia."

"Hidup harus terus berjalan Rian."

Mata sendu Rian menatap masuk tepat di retina Sevanya.

Tangan gadis itu memegang kedua bahu Rian.

"Lo mesti ikhlas ya, tuhan punya rencana yang lebih baik di balik ini semua.
Waktu akan membawa semuanya pada perubahan."

"Tapii, itu juga tergantung ke diri lo sendiri, gue yakin lo bisa Rian."

Anya tersenyum, memberikan kekuatan pada pemuda itu.

Tubuh Anya mematung saat tiba tiba Rian memeluknya.

Dapat dia rasakan bahwa pundak Rian bergetar, isakan terdengar di telinga Anya.
Pemuda itu menangis dalam diam.

.....
Sehari berlalu, acara pengajian untuk Almarhum Ayahnya sudah selesai, teman teman dekat Rian dari pelatnas pun sudah pulang sejak tadi pagi. Sebenarnya mereka juga tidak tega untuk meninggalkan Rian yang sedang berduka, tapi ada rutinitas yang tidak bisa mereka tinggal.
Bagaimanapun Mereka harus bertanggung jawab dan profesional.

Sevanya dan ibunya juga hendak pamit,
Rian dan kakaknya mengantar mereka hingga teras. tapi saat Seva ingin pergi, Rian menahan lengan nya.

"Jangan pergi, seva."
"Plis."

Rian menatap Sevanya dengan memohon.

Gadis itu kemudian memandang ibu nya, meminta izin.
Kemudian Sita mengangguk mengiyakan.

"Gue gak bakal pergi, tapi dengan satu syarat."

"Apa?"

"Jangan sedih lagi,"

"Semuanya butuh waktu."

"Gue tauu, gue pahan, tapi lo mesti janji kalau lo mesti bangkit lagi."

"Ibu Sita juga menginap lagi disini ya."
Pinta Kakak perempuan Rian.

"Maaf, saya ingin sekali meningap disini nemenin ibu kamu, tapi Nenek nya Anya sendirian di rumah, tidak ada yang menjaga, jadi saya harus pulang."

"Oh begitu, baiklah."

"Apa tidak merepotkan jika Anya meningap disini?"

"Sama sekali engga bu, kami malah senang, Karena Sevanya, kesedihan Rian perlahan berkurang."

"Baiklah, sudah sore, saya harus pamit pulang ke jakarta."
....
Wanita paruh baya itu duduk pada kuesi kayu kesukaan almarhum suami nya,

Hati nya memang mulai mengikhlaskan kepergian suami nya beberapa hari lalu, tapi dirinya merasakan hampa yang teramat.

Angin malam menyapu kulit wanita itu. menciptakan rasa dingin yang lebih dingin dari biasanya.

Anya melangkahkan kakinya mendekati Ibu Rian, sambil membawa segelas teh hangat di tangan nya.

"Di minum dulu teh nya bu."

"Terimakasih nak."

"Sama sama bu."

"Sevanya, ibu boleh peluk kamu?"

Gadis itu mengangguk.

"Sini nak."

Pelukan nyaman itu menghangatkan tubuhnya.

Kedua tangan wanita itu menangkup pipi Anya.

"Kamu cantik, lebih cantik dari foto yang sering dikirimi Rian lewat hape."

"Maksudnya bu?"

"Rian sering cerita soal kamu ke ibu. Dia semangat sekali kalo membicarakan tentang kamu. Kalau di tanya dia suka kamu atau ndak, pasti muka nya langsung merah kayak tomat."

"Hahahahah, ibu bisa aja."

"Ibu, Jangan diluar kelamaan, nanti masuk angin, Anya antar ke kamar ya."

Anya menuntun wanita paruh baya utu masuk ke kamarnya.

Sevanya membenarkan posisi bantal dan selimut agar nyaman.
Perlahan mata Wanita itu terpejam, dan napasnya teratur.

Anya berjalan keluar kamar dan menutup pintu.

Anya berjalan keluar kamar dan menutup pintu.

Saat membalikan badan, gadis itu mendapati Rian sedang berdiri di dekatnya.

"Belum tidur?"

Rian menggeleng,

"Kamu sendiri kenapa belum tidur?"

"Gak bisa tidur." Balas Anya.

Rian melirik jam dinding, masih pukul 9 malam.
"Mau Jalan jalan ga?"

The way I love You [Rian Ardianto] TAMATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang